Politik dan
Kekuasaan dalam Islam :
Membaca
Kembali Sejarah Syiah
Luthfi Assyaukanie, Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
SUMBER : JIL, 16 April 2012
Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam
yang kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula
dari absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia
meninggal. Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik,
pastilah sejarah Islam akan berjalan lain. Ketiadaan wasiat ini memunculkan
persoalan besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan
menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang
pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya
berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.
Perundingan yang hampir menumpahkan darah di
Saqifah yang terkenal itu, sesungguhnya adalah permufakatan untuk mencari
pengganti Muhammad sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin spiritual.
Semua sahabat Nabi sadar bahwa secara spiritual tak ada yang bisa menggantikan
Muhammad. Juga, mereka tahu diri bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad. Bahwa
pilihan kemudian jatuh kepada Abu Bakar, sepenuhnya berdasar pertimbangan primus
inter pares, yakni karena Abu Bakar dianggap sebagai orang paling senior,
paling dekat dengan Nabi, dan punya sedikit jiwa kepemimpinan.
Dari perspektif tata-pemerintahan (polity) yang berlaku saat itu, pilihan
kepada Abu Bakar sebetulnya menyalahi aturan umum, yakni jika seorang pemimpin
politik meninggal, maka yang akan menggantikannya adalah keturunannya atau
famili terdekatnya. Karena Muhammad tidak memiliki anak laki-laki, yang berhak
menggantikannya seharusnya adalah anak perempuannya, sebagaimana yang pernah
terjadi pada kerajaan-kerajaan di sekitar Mediterania saat itu. Ada opsi lain,
jika warisan kekuasaan tidak jatuh ke tangan anak perempuan, maka ia akan jatuh
ke tangan saudara laki atau perempuan (adik). Masalahnya, Nabi Muhammad tak memiliki
adik, karena dia anak tunggal. Satu-satunya famili terdekatnya adalah Ali bin
Abi Thalib, sepupunya yang sekaligus juga menantunya.
Tapi, mengapa para petinggi di Saqifah
memilih Abu Bakar dan bukan Ali? Bukankah lebih masuk akal dan bisa diterima
publik jika Ali yang menggantikan Nabi? Bukankah Fatimah, anak Nabi, layak
dijadikan Ratu, penerusnya, mengikuti tradisi tata-pemerintahan yang berlaku di
kawasan itu? Apalagi Fatimah adalah isteri Ali, yang juga sepupu Nabi. Adalah
tidak masuk akal mengikuti logika para pembesar di Saqifah yang memilih Abu
Bakar dan melupakan Ali sama sekali. Dalam perdebatan sengit antara Faksi
Madinah dan Faksi Mekah, yang muncul adalah nama-nama seperti Umar bin Khatab
(Mekah), Abu Ubaydah bin Jarrah (Mekah), Sa’ad bin Ubadah (Madinah/ Khazraj),
dan Bashir bin Sa’d (Madinah/Aws).
Nama Ali atau Fatimah tak disebut sama
sekali. Keduanya tak hadir di Saqifah, tapi lebih memilih mengurusi jenazah
Nabi, yang menurut al-Tabari (Tarikh), hampir tak dipedulikan para sahabat
besar yang tengah memperdebatkan siapa pengganti Nabi kelak. Bagi Ali dan
keluarganya, mengurusi jenazah Nabi dan mempersiapkan pemakamannya jauh lebih
penting ketimbang meributkan kandidat pengganti Nabi. Mungkin, Ali dan Fatimah
juga berpikir bahwa kekuasaan tak akan pergi ke mana-mana, toh menurut tradisi
politik yang berlaku, kekuasaan selalu jatuh ke tangan anak atau famili
terdekat.
Asumsi Ali dan Fatimah bahwa kekuasaan ayah
mereka akan jatuh ke tangan mereka terbukti keliru. Setelah upacara penguburan
Nabi selesai, pengganti Nabi tetaplah Abu Bakar. Satu persatu kaum Muslim
melakukan bay’at (sumpah) kepada Abu Bakar sebagai pengganti Nabi (khalifah).
Bashar bin Sa’ad, pemimpin Suku Aws yang sempat berminat menggantikan Nabi,
mengurungkan niatnya dan berbalik mendukung Abu Bakar. Dukungannya kepada Abu
Bakar bukan karena dia suka kepada mertua Nabi itu, tapi karena rival beratnya,
Sa’ad bin Ubadah (pemimpin Khazraj) bisa berpeluang besar, jika kaum Anshar
tidak mendukung Abu Bakar. Maka, terjadilah apa yang pernah terjadi dalam
Pilkada DKI 2007, warga Jakarta memilih Fauzi Bowo bukan karena mereka suka
dengan pria berkumis itu, tapi karena mereka tidak suka jika Jakarta dipimpin
oleh calon yang didukung PKS.
Tidak semua orang mendukung Abu Bakar menjadi
pengganti Nabi. Abu Bakar dan timnya (di antaranya Umar bin Khattab yang
paling antusias) harus melakukan kampanye dari Jum’at ke Jum’at untuk
meyakinkan kaum Muslim di Madinah bahwa dia layak menjadi pengganti Nabi.
Bay’at (sumpah setia) harus segera dikumpulkan agar Abu Bakar mendapatkan
legitimasi dan lancar dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik.
Sayangnya, bay’at tidak diperoleh dengan mulus. Sebagian suku di Madinah
(misalnya Banu Ghatafan dan Khawazin) menolak Abu Bakar dan tak bersedia
memberikan bay’at. Untuk menunjukkan perlawanan, mereka menolak membayar upeti
(zakat), yang kemudian memicu apa yang dalam sejarah Islam dikenal dengan
”Perang Apostasi” (hurub al-riddah).
Yang mengejutkan adalah bahwa penolakan
bay’at bukan hanya dilakukan oleh sebagian suku Anshar, tapi juga beberapa
tokoh Muhajirin. Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, juga tak bersedia
melakukan bay’at kepada Abu Bakar. Tentu saja, Ali bukanlah satu-satunya
sahabat besar Nabi yang menolak Abu Bakar. Ada Sa’ad bin Ubadah (perunding
Saqifah dan pemimpin Khahzraj), yang sampai wafatnya tak mau memberikan bay’at
kepada Abu Bakar. Dia juga tak mau memberikan bay’at kepada Umar bin Khattab,
dan karena merasa nyawanya terancam, dia hijrah ke Suriah hingga meninggal di
sana. Ada Hubab bin al-Mundzir, pahlawan dan ahli strategi yang mengantarkan
kemenangan perang Badar. Demikian juga, ada al-Abbas, Salman Al-Farisi, Abu
Dzar al-Ghifari, dan Khuzaimah bin Tsabit; semua sahabat besar ini pada mulanya
enggan memberikan bay’at kepada Abu Bakar.
Ali baru memberikan bay’atnya kepada Abu
Bakar setelah enam bulan peristiwa Saqifah. Menurut Bukhari dan Muslim, Ali
melakukan bay’at setelah Fatimah, isteri tercintanya, meninggal. Tidak ada yang
tahu pasti mengapa Ali kemudian memberikan bay’atnya. Bagi para pengikutnya
yang 25 tahun kemudian dikenal dengan sebutan ”pengikut Ali” (syi’at Ali),
bay’at Ali dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam tekanan situasi politik
di Madinah ketika itu. Bagi mereka, Ali adalah pewaris yang sah dari kekuasaan
yang ditinggalkan Nabi. Bukan hanya karena Ali merupakan isteri Fatimah, tapi
menurut ”Syi’at Ali,” karena Nabi telah mengumumkan di Ghadir Khum bahwa Ali
adalah calon penggantinya kelak jika dia wafat.
Ghadir Khum adalah episode lain yang penting
dalam sejarah Syi’ah. Kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah berbeda
pendapat, bukan hanya apakah Nabi secara eksplisit memberikan wasiat kepada Ali
di sana, tapi apakah peristiwa Ghadir Khum itu benar-benar ada. Ghadir Khum
adalah sebuah lembah tempat para pesiar dan saudagar Mekah beristirahat dalam
perjalanan panjang mereka ke Syam. Lokasinya persis berada di tengah-tengah,
sekitar 180 Km jarak antara Mekah dan Madinah. (di Google Earth, lokasinya
terletak di bujur ini: 22°49′30″N 39°4′30″E). Nabi dan para sahabatnya
beristirahat di tempat itu dalam perjalanan dari Mekah usai menunaikan haji
wada. Di tempat itulah Nabi diyakini memberikan khutbah dan wasiatnya soal
siapa penggantinya kelak.
Para perawi Sunni (termasuk Bukhari dan
Muslim) membenarkan bahwa Nabi pernah istirahat di situ dan—tentu
saja—memberikan khutbahnya. Namun, mereka menolak kalau isi khutbah Nabi secara
eksplisit menyebutkan wasiat untuk Ali. Sebagaimana di tempat-tempat lain, Nabi
selalu memberikan khutbah dan seperti juga kebiasaannya, beliau memuji
sahabat-sahabatnya. Kadang memuji Abu Bakar, kadang memuji Bilal, kadang memuji
Umar, dan kadang memuji Utsman. Nah, di Ghadir Khum itu, Nabi memuji Ali.
Sebetulnya pujian biasa saja, yang sering ia lontarkan juga kepada para
sahabatnya yang lain. Sanjungan itu adalah ucapan Nabi bahwa Ali adalah seorang
pemimpin yang sama dengan dirinya (man kuntu mawlah, fa ali mawlah). Oleh para
pengikut Ali, pernyataan Nabi ini kemudian ditafsirkan sebagai wasiat kepada
kaum Muslim bahwa setelah Nabi meninggal nanti yang menjadi penggantinya adalah
Ali.
Seperti Cak Nur yang kerap memuji orang, Nabi
juga selalu memuji sahabat-sahabatnya. Suatu kali Nabi memuji Abu Bakar sebagai
”pemimpin kaum Muslim di surga,” ”pintu surga akan memanggilnya untuk
memasukinya,” dan ”orang Islam pertama yang akan masuk surga.” Nabi juga pernah
memuji Umar dengan ungkapan yang terkenal ini: ”andaikata sesudahku ada Nabi,
dialah Umar.” Di Ghadir Khum, yang mendapat pujian kebetulan adalah Ali.
Orang-orang Sunni sama sekali tidak menganggap pernyataan Nabi itu sebagai
sebuah wasiat. Nabi biasa memuji sahabat-sahabatnya. Tidak ada yang unik dengan
itu. Tapi, bagi para pengikut fanatik Ali, pernyataan Nabi itu adalah sebuah
wasiat penting. Bahkan, Ghadir Khum adalah sebuah peristiwa besar, bukan hanya
tempat. Ghadir Khum adalah sebuah perjanjian suci yang dilanggar, yang
akibatnya memunculkan rangkaian peristiwa berdarah dalam tubuh umat Islam, dari
pemberontakan terhadap Abu Bakar, pembunuhan Umar, pembunuhan Uthman, dan
puncaknya pembunuhan Ali.
Dari perspektif politik, Ghadir Khum hanyalah
sebuah justifikasi belakangan para pengikut Ali untuk mendukung suatu niat
lebih besar yang sudah ada sejak awal: warisan kekuasaan. Menurut tradisi
politik yang berlaku pada saat itu, tidak ada orang yang paling berhak untuk
menggantikan Nabi kecuali Ali bin Abi Thalib. Tidak ada presedennya bahwa
kekuasaan politik jatuh kepada sahabat terdekat atau kepada seorang mertua.
Yang selalu terjadi adalah kekuasaan jatuh kepada adik atau anak. Nabi memiliki
banyak anak dan mestinya salah satu anaknya yang paling berhak meneruskan
kekuasaannya. Pun, jika anak-anaknya dianggap kurang layak, famili terdekatnya,
yakni Ali, bisa menjadi kandidat kuat. Apalagi Ali bukan sekadar sepupu, tapi
juga seorang menantu yang mengawini anak kesayangannya.
Syi’ah adalah sebuah sekte Islam yang muncul
karena dorongan politik. Kepemimpinan dinastik, yakni sistem pemerintahan
turun-temurun, adalah obsesi tertingginya. Sejak awal, para pengikut Ali
memproyeksikan keluarga Nabi (ahl al-bayt) sebagai poros dari kekuasaan yang
mereka dukung. Buat mereka, setelah Nabi meninggal, orang yang paling berhak
untuk mewarisi kekuasaan adalah anaknya, yakni Fatimah (kalaulah Nabi punya
anak laki-laki, pastilah anak itu yang akan jadi kandidat kuat). Setelah
Fatimah/Ali meninggal, kekuasaan politik harus turun kepada anak-cucunya.
Karena alasan inilah mereka menolak Muawiyah bin Abi Sufyan yang pada saat itu
menjadi kompetitor Ali paling kuat. Perang berdarah-darah yang dilakukan
pengikut Ali kepada Mua’wiyah dan anaknya (Yazid) adalah perang mempertahankan
dinasti Ali. Pun, ketika Yazid berkuasa, bagi para pengikut Ali, pemimpin yang
sah tetaplah anak Ali, yakni Hasan dan Husein.
Obsesi mempertahankan dinasti Ali terus
tumbuh dalam diri pengikut fanatik Ali yang sejak tahun 661 M, disebut sebagai
”Syi’at Ali.” Setelah peristiwa Karbala yang oleh Ali Shari’ati, salah seorang
tokoh Syi’ah modern, disamakan dengan peristiwa penyaliban Yesus, obsesi
dinastik kaum Syi’ah terus dipelihara. Pembunuhan Husein bukan berarti kematian
dinasti Ali. Kaum Syi’ah meneruskannya dengan ”raja virtual” yang mereka sebut
”imam.” Kekuasaannya pun diperluas, bukan hanya kekuasaan politik, tapi juga
kekuasaan spiritual. Sejak Husein terbunuh, imamah menjadi fondasi penting
dalam ajaran Syi’ah. Ketika seseorang kalah di dunia, maka dia akan membaw-bawa
akhirat untuk memperkuat dirinya. Persis seperti yang dikatakan Hamid Dabashi,
sarjana Iran yang menulis banyak buku tentang Syi’ah, kaum Syi’ah mengidap
gejala neurosis sejak pertama kali mereka kehilangan ”Yesus” mereka, yakni
Husein bin Ali yang mati dimutilasi oleh Yazid bin Muawiyah.
Obsesi dinastik ini terus berkelanjutan. Apa
yang tak bisa diwujudkan dalam kenyataan, diwujudkan dalam angan-angan. Dari
sini, para pengikut fanatik Ali kemudian membangun konsep ”imamah” yang lebih
tepat disebut sebagai ”kerajaan virtual.” Setelah Husein wafat, kaum Syi’ah
menunjuk anaknya Husein, yakni Ali atau yang lebih dikenal dengan Zayn
al-Abidin. Setelah Ali wafat, digantikan oleh puteranya, yakni Muhammad yang
lebih dikenal dengan Muhammad al-Baqir.
Kerajaan virtual ini terus berlangsung
secara turun-temurun sampai pewaris ke-12, yakni: Muhammad bin Hasan bin Ali
bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin
Ali bin Abi Thalib. Kesebelas orang ini plus Hasan bin Ali, menjadi ”raja”
dalam dinasti yang dibangun oleh orang Syi’ah. Mereka menyebutnya Syi’ah
Imamiyah atau Syi’ah Istna Asyariah (Syi’ah 12 Imam).
Sama seperti kerajaan atau sistem dinasti lainnya,
”kerajaan virtual” yang dibangun orang-orang Syi’ah pun tidak maksum dari
pertengkaran. Pada awal abad ke-8 M, pengikut Syi’ah bertengkar siapa yang
patut menggantikan Ali bin Husein. Satu kelompok meyakini bahwa Muhammad
al-Baqir, anak tertua Ali yang patut menggantikan ayahnya. Tapi kelompok lain
menganggap anak Ali yang lain, yakni Zayd, lebih cocok. Kelompok kedua ini
kemudian memisahkan diri dan kelak disebut sebagai ”Syi’ah Zaydiyah.” Sedangkan
kelompok pertama disebut sebagai ”Syi’ah Imamiyah.” Perpecahan ini masih
berlanjut. Pada pertengahan abad ke-8, pertengkaran soal siapa yang layak
menjadi pewaris kerajaan kembali mencuat. Satu kelompok menjagokan Ismail bin
Ja’far, sementara kelompok lain mendukung Musa bin Ja’far. Kelompok pertama kemudian
memisahkan diri dan membangun sekte independen yang disebut ”Syi’ah
Ismailiyah.”
Sejak berdiri, kaum Syi’ah terobsesi
membangun kekuasaan dinastik, bukan pemerintahan republik. Karena alasan inilah
mereka menolak mengakui pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Uthman. Buat mereka,
pemerintahan yang sah adalah pemerintahan turun-temurun, dari Nabi, ke Fatimah
dan Ali, lalu ke anak-cucu mereka. Perjuangan orang-orang Syi’ah menuai hasil
pada awal abad ke-10 ketika salah seorang keturunan Husein, yakni Abdullah
al-Mahdi, berhasil membangun sebuah kerajaan besar yang disebut Dinasti
Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah (909-1171) adalah pengikut sekte Syi’ah
Ismailiyah. Abdullah sendiri adalah keturunan kelima dari Ismail bin Ja’far,
pendiri sekte Ismailiyah. Sekte Imamiyah pada akhirnya juga mampu mendirikan
kerajaan besar di Iran, yakni Dinasti Safawiyah (1501-1736). Dua dinasti ini,
Fatimiyah dan Safawiyah merupakan kerajaan-kerajaan yang sukses dan menjadi
salah satu mercusuar peradaban Islam.
Penutup
Sejak runtuhnya dinasti Safawiyah pada abad
ke-18, tidak ada lagi kerajaan Syi’ah yang muncul. Para pemeluk Syi’ah lebih
memilih menjadi rakyat yang dipimpin oleh orang non-Syi’ah seperti yang terjadi
di Iraq, Lebanon, dan Bahrain, atau oleh orang-orang Syi’ah yang tak menganut
ideologi politik ahlul bayt. Di Mesir, pengaruh Syi’ah semakin hilang sejak
dinasti Ayubiyah (1171-1341) mengambil alih kekuasaan dari tangan Fatimiyah. Di
Iran, dinasti Usmaniyyah yang Sunni menguasai pemerintahan selama lebih dari satu
abad yang kemudian diteruskan oleh dinasti Pahlevi (1925-1979) yang tak peduli
dengan ideologi ahlul bayt. Ideologi Syi’ah baru bangkit pada tahun 1980an,
menyusul keberhasilan ”revolusi Islam” yang dipimpin Ayatullah Khomeini
menumbangkan dinasti Pahlevi.
Tapi, seperti dikatakan Hamid Dabashi,
teologi politik Syi’ah tidak kompatibel dengan dunia modern. Sebagai sebuah
agama, Syi’ah sangat melankolis. Teologinya dibangun berdasarkan penderitaan
dan kesedihan. Masa silamnya mencengkeram dan menghantui terus para pemeluknya
yang kini hidup di dunia yang berbeda. Sikap seperti ini terus terbawa, bahkan
ketika mereka berkuasa. Kata Dabashi, dendam dan semangat perlawanan selalu
mendominasi kehidupan orang Syi’ah, ”sejak Imam Husein di Karbala, Ayatullah Khomeini
di Iran, Muqtada al-Sadr di Iraq, hingga Hassan Nasrallah di Lebanon… Syi’ah
adalah mayoritas dengan kompleks minoritas.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar