Selasa, 17 April 2012

Studi Tidak Sebanding DPR

Studi Tidak Sebanding DPR
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
SUMBER : JAWA POS, 17 April 2012



STUDI banding atau kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukan oleh anggota DPR dari tahun ke tahun selalu kontroversial. Meski dikecam publik, para politikus Senayan tetap saja nekat ke sejumlah negara. Padahal, saat reses (libur sidang), seharusnya anggota dewan berada di daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi masyarakat, bukan jalan-jalan di luar negeri.

Sejak 2004, sedikitnya 163 studi banding ke luar negeri mereka lakukan. Selain anggota dewan, sejumlah staf dan bahkan anggota keluarga sering diikutsertakan.

Contoh terbaru adalah perjalanan anggota DPR ke berbagai negara pada masa reses April 2012 ini. Komisi I DPR siap ke empat negara; Jerman, Ceko, Polandia, dan Afrika Selatan. Sedangkan, Komisi VIII DPR berangkat ke dua negara Eropa, yaitu Denmark dan Norwegia. Rakyat mengongkosi mereka Rp 4,8 miliar.

Awal tahun ini, anggota Komisi III DPR juga ke Prancis dan Australia. Mereka bilang dalam rangka pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kegiatan studi banding ke luar negeri itu tidak sebanding dengan kinerja mereka. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebut, setiap tahun proses legislasi (pembuatan undang-undang) selalu tidak optimal dan jauh dari target. Kinerja wakil rakyat di Senayan dapat dikatakan buruk, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas.

Pada 2005, DPR hanya mampu membuat 14 di antara target 55 UU. Tahun 2006 membuat 39 di antara target 76 UU; 2007 membuat 40 di antara target 78 UU, pada 2008 membuat 61 di antara target 81 UU; dan 2009 menghasilkan 39 di antara target 76 UU. Pada 2010, dewan menghasilkan 16 di antara target 70 UU (23 persen). Sedangkan pada 2011, DPR -dan pemerintah- hanya menghasilkan 24 di antara target 93 UU (26 persen).

Lebih buruk lagi, sekitar 450 UU diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan dimintakan pembatalan. Padahal, amat mahal biaya pembuatan UU itu.

Sebagai evaluasi, setidaknya ada lima hal yang penting dicermati. Pertama, metode studi banding. Sesungguhnya, studi banding tidaklah selalu berupa kunjungan ke luar negeri sebagaimana yang dipraktikkan DPR selama ini. Misal, kajian melalui internet atau menggunakan diskusi video teleconference dengan pihak yang berkompeten di luar negeri.

Ahli dari luar negeri dapat diundang untuk berbicara di hadapan anggota dewan. DPR juga dapat memanfaatkan jalur diplomatik dengan meminta bantuan perwakilan negara asing atau kedutaan Indonesia di luar negeri untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan.

Kedua, transparansi kegiatan studi banding. Selama ini, semua proses yang berkaitan dengan kegiatan studi banding ke luar negeri terkesan sangat tertutup. Belum terlihat inisiatif dari DPR maupun fraksi atau anggota dewan untuk mengumumkan tujuan studi banding, negara mana yang dikunjungi, siapa saja rombongan yang berangkat, jadwal kunjungan, dan siapa yang akan ditemui. Padahal, agenda ini bisa saja diumumkan melalui website resmi DPR secara gratis.

Ketiga, anggaran studi banding. Tidak pernah ada penjelasan yang masuk akal soal besaran biaya dan mengapa setiap tahun meningkat. Tahun 2010 sebesar Rp 162 miliar atau naik hingga 700 persen jika dibandingkan dengan 2005 yang hanya Rp 23 miliar.  Pada 2011, nilainya memang turun, tetapi masih sangat fantastis, yakni Rp 125 miliar.

Jumlah anggaran sebesar itu tidak masuk dan dapat dikategorikan pemborosan keuangan negara. Jika digunakan dengan metode dan melalui seleksi ketat, anggaran studi banding yang disediakan bisa lebih hemat lagi.

Keempat, efektivitas. Kajian yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegak Citra DPR menyebutkkan, studi banding juga ternyata tidak diolah dan didesain untuk mampu menjawab kebutuhan data dan informasi terkait pembahasan suatu RUU. Sering kali terjadi pengulangan kunjungan ke luar negeri untuk isu yang sama. Sebagai contoh, komisi III studi banding ke Swiss dan Rusia pada 2009 untuk membahas RUU Pencucian Uang. RUU tersebut mangkrak di DPR periode 2004-2009. Pada 2010, kembali diprogramkan studi banding ke Prancis dan Australia.

Kelima, akuntabilitas. Sebagai bentuk akuntabilitas, suatu keharusan bagi anggota dewan memublikasikan laporan hasil studi banding mereka. Sayangnya, dari ratusan kali kunjungan ke luar negeri tersebut, hanya sedikit laporan yang dipublikasikan DPR. Itu pun laporan sederhana dan sangat tidak komprehensif. Pada aspek anggaran, semua komponen biaya studi banding  harus dapat dipertanggungjawabkan masing-masing anggota dewan yang berangkat. Badan Pemeriksa Keuangan juga sebaiknya secara periodik mengaudit anggaran studi banding DPR dan hasilnya diumumkan secara terbuka kepada publik.

Ketika kecaman publik soal studi banding ke luar negeri begitu menguat, sejumlah pimpinan fraksi dan DPR pernah menyatakan untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Tetapi, Ketua DPR Marzuki Alie pada Kamis lalu (5/4) menyatakan tidak melarang anggota Komisi I dan Komisi VII DPR ke luar negeri. Pimpinan sejumlah fraksi di DPR juga bersikap ambigu dengan memberikan kebebasan bagi anggotanya untuk ikut atau tidak ikut studi banding ke luar negeri.

Di tengah kondisi perekonomian yang belum stabil, lebih baik dilakukan moratorium (penghentian sementara) studi banding itu hingga diadakan evaluasi dan rekomendasi secara komprehensif. Dukungan dari pimpinan DPR dan partai politik sangat dibutuhkan untuk mendukung pembatasan atau penghentian sementara studi banding yang menggunakan uang rakyat. Apalagi citra institusi parlemen semakin buruk di mata publik. Sampai kini, DPR tidak berhasil meyakinkan bahwa studi banding itu beda dengan jalan-jalan atau pelesir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar