Ujian Sejati
dalam UN
Benni E Matindas, Peneliti Institut Pfdeia,
Anggota Dewan Pelaksana Balitbang DPP Golkar
Anggota Dewan Pelaksana Balitbang DPP Golkar
SUMBER : SUARA KARYA, 16 April 2012
Ujian Nasional (UN) 2012 dimulai hari ini. Tetapi, keliru apabila
menganggap persoalan konseptual UN sudah selesai. Problematika UN sesungguhnya
bersifat mendasar. Untuk membereskannya tidak dapat dilakukan dengan segala
metode serta aturan yang hanya bersifat tambal sulam seperti selama ini.
Kebuntuan permasalahan UN karena pemerintah bersikukuh
melaksanakan sistem ujian yang seragam merata secara nasional. Sementara
sejumlah ahli pendidikan menolak karena melihat UN tidak saja salah, tetapi
juga berbahaya.
Paling sedikit, ada dua alasan pokok mengapa mereka menolak UN.
Pertama, adanya hal-hal yang bersifat incommensurable dalam pendidikan. Kedua,
ketidakmerataan fasilitas antarsekolah dan antardaerah.
Adanya hal-hal yang tidak bisa diperbandingkan antara para siswa
hasil pendidikan suatu perguruan berlatar budaya serta berkondisi historis dan
hasil pendidikan sekolah lainnya yang berlatar dan berkondisi lain, memang
sangat asasi. Sudah sejak hampir seabad silam, para ahli sepakat bahwa sistem
kognisi manusia yang sebelumnya dianggap bersifat objektif universal ternyata
tidak.
Kita dapat menunjuk masalah ketidakmerataan kedekatan bahasa ibu (mother tongue) setiap siswa dengan
bahasa nasional. Padahal, bahasa sangat menentukan pertum kecerdasan dan
kecakapan mental siswa pada umumnya.
Dengan demikian, memaksakan sistem ujian yang seragam tentu
merupakan pelanggaran HAM dalam bidang kultural. Lagi pula, ini adalah satu
implikasi negatif. Upaya menerapkan sesuatu secara seragam atas keberagaman
yang sangat banyak tentu harus menetapkan greatest
common divisor yang terpaksa jadi sangat umum dan minimal, dan itu
diwujudkan melalui soal ujian berbentuk pilihan ganda. Padahal, model multiple choice cuma menyuburkan
pembelajaran yang serba menghafal belaka. Tidak mengembangkan daya pengertian.
Begitu juga keberatan para penolak UN berdasarkan fakta
ketidakmerataan fasilitas pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Pengujian
bersifat seragam berarti ketidakadilan dan bahkan berpotensi menghancurkan masa
depan sebagian besar anak bangsa.
Tetapi, pihak pemerintah, yang tentu saja ditopang pula sederet
ahli pendidikan, bukan bertujuan salah. Pemerintah sebagai penanggung jawab
pembangunan pendidikan tentu membutuhkan indikator standar hasil pendidikannya,
yang dapat diperoleh melalui ujian nasional. Lagi pula, mutlak bahwa hasil
pendidikan tidak boleh tanpa nilai. Tak boleh tanpa kelulusan. Sebab, para
siswa akan berhubungan dengan lembaga pendidikan jenjang berikutnya atau
instansi yang hendak menerima mereka sebagai pekerja, yang tentu membutuhkan
nilai. Lebih salah lagi kalau penolakan terhadap UN hanya untuk menyembunyikan
ketakbecusan sekolah dalam mengupayakan pendidikan yang andal.
Prof Alfred North Whitehead, filsuf dan pakar pedagogi, sudah lama
mengajukan solusi atas masalah ujian: anak didik hanya boleh diuji gurunya
sendiri. Tapi, tak ada jaminan gurunya bisa sedemikian objektif dan jujur
sehingga tidak malu (dan tak takut sekolahnya tidak laku) apabila tidak
meluluskan para murid yang memang payah.
Problem kebuntuan mendasar ini jelas hanya dapat diselesaikan
dengan memindahkan paradigma penilaian. UN harus ada, tapi yang diuji harus
hanya tingkat kreativitas peserta didik. Ini akan mengatasi semua problem,
termasuk masalah ketakmerataan fasilitas antarsekolah. Yang terpenting, kita
harus membawa sistem pendidikan pada satu hakikat intinya: memampukan manusia
untuk belajar secara mandiri selamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar