Senin, 16 April 2012

Ujian Mengukur Etos Bangsa


Ujian Mengukur Etos Bangsa
Saratri Wilonoyudho, Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Pengawas Ujian Nasional 2011 dan 2012
SUMBER : SUARA MERDEKA, 16 April 2012


HARAPAN makin majunya dunia pendidikan dari dampak ujian nasional (UN) yang untuk tingkat sekolah menengah dimulai hari ini hingga 19 April mendatang (untuk SMK hingga 18 April) masih dipertanyakan banyak orang. Argumennya, ujian itu hanya mengukur ranah kognitif, itupun yang paling rendah karena hanya dengan pilihan ganda. Padahal hakikat pembelajaran mestinya mampu membawa siswa kepada sikap inovatif, kritis, kreatif, dan selalu ingin tahu (curiosity), demikian kata yang kontra-UN.

Anak yang kampiun sejak kelas I bisa jadi tidak lulus gara-gara ketika ujian nasional terpeleset (karena berbagai sebab) sehingga nilai Matematikanya di bawah standar. Di mana letak keadilan kalau hanya soal nilai Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, kurang sepersekian nol koma di bawah standar? Padahal tiap siswa memiliki keunikan sendiri sehingga empat mata pelajaran itu bukan satu-satunya ukuran kesuksesannya.

Persoalan lain yang sering digugat dalam pelaksanaan UN adalah apakah ujian itu dapat dikatakan adil mengingat mutu tiap sekolah, utamanya Jawa-luar Jawa atau desa-kota berbeda. Dapatkah ditunjukkan secara ilmiah bahwa ujian nasional merupakan cara paling tepat mengukur prestasi siswa, meskipun tiap sekolah memiliki kemampuan berbeda? Dapatkah ditunjukkan bahwa meski sebuah sekolah di pelosok Papua minim sarana dan prasarana, mampu bertanding dengan sekolah di pusat kota Jakarta yang lengkap sarana dan fasilitas pendukungnya?

Karenanya, kembali kepada esensi ujian itu yang menimbulkan dampak psikologis dahsyat bagi siswa, guru, dan birokrat pendidikan di daerah maka masa depan negeri ini juga masih hadir dalam tanda tanya besar. Apakah UN sanggup melahirkan siswa-siswa yang kreatif dan mandiri, sementara mereka hanya disibukkan latihan menjawab soal dan lari kepada hal-hal yang sifatnya metafisis seperti doa bersama yang cenderung pragmatis belaka?
 
Kesibukan siswa untuk menghafal dan terampil mengerjakan soal, jelas akan berpengaruh terhadap gaya mengajar guru. Siswa akan makin jauh dari lingkungan yang merupakan modal awal untuk dikonstruksi menjadi pengetahuan lewat abstraksinya. Padahal kemampuan mengabstraksi lingkungan menjadi bekal berharga bagi siswa untuk membentuk struktur konsep dan menjadi cikal-bakal pengetahuan.

Etos Kerja

Kalau konsep-konsep pengetahuan ini sudah lemah maka hadirnya insan-insan kreatif, inovatif, kritis dan mampu mendayagunakan kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektifnya juga bakal terganggu. Tersebutlah seorang anak jenius yang bernama Ted Kaczynski. Dia masuk Harvard University pada usia 16 tahun dan menamatkan sarjananya dalam waktu 4 tahun, selanjutnya meraih gelar doktor Matematika.

Ted sangat tertarik pada teknologi bom sehingga profesi dosen di almamaternya ia tinggalkan. Ironisnya, ketika sukses membuat bom, justru ini awal kefrustrasiannya. Bom yang ia buat menewaskan 2 orang dan mencederai puluhan lainnya, yang mengakibatkan ia masuk penjara.

Cerita singkat itu dipaparkan dengan baik oleh Paul G Stoltz dalam bukunya Adversity Quotient (2000). Intinya Stoltz menegaskan tidak memadainya seseorang hanya memiliki intellectual quotient (IQ) yang unggul saja. Jika sekolah gagal menghasilkan murid-murid yang mampu berpikir kritis, kreatif dan tahan banting, pada masa mendatang negeri ini akan kesulitan dalam upayanya menyejajarkan diri dengan negara-negara maju.

Sekarang, bandingkan dengan umumnya siswa kita. Mereka kini dikepung kehidupan glamour, sebagian suka kongko di mal atau kebut-kebutan. Kalaupun ada yang rajin, dapat dihitung dengan jari. Ini masalah etos kerja (bangsa) bukan masalah potensi IQ. Setinggi apa pun IQ siswa jika etos kerjanya rendah maka hal itu juga akan memperlemah daya juangnya. Apalagi jika intelegensia itu hanya pada tingkatan paling rendah, yakni pandai menghafal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar