Senin, 16 April 2012

Saatnya Berpikir Energi Alternatif


Saatnya Berpikir Energi Alternatif
Berly Martawardaya, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER : SUARA KARYA, 16 April 2012


Indonesia berada di ambang krisis energi. Betapa tidak, berdasarkan data pemerintah, cadangan minyak mentah Indonesia status per 1 Januari 2012 hanya sekitar 3,9 miliar barel. Bandingkan angka tersebut dengan negara seperti Arab Saudi yang memiliki cadangan minyak mentah sebanyak 256 miliar barel. Cadangan Indonesia sangatlah tidak pantas menjadi landasan untuk masih berpikir Indonesia kaya minyak.

Dengan tingkat produksi sekitar 900 ribu barel per hari, cadangan minyak mentah Indonesia akan habis hanya dalam waktu 12 tahun saja, dengan catatan tidak ada sumber minyak mentah baru yang ditemukan. Celakanya, penambahan cadangan-cadangan baru terus menyusut dari tahun ke tahun akibat minimnya kegiatan eksplorasi di lapangan-lapangan baru. Artinya, jika paradigma kita masih menganggap sumber energi hanya minyak, tidaklah salah kalau Indonesia berada di ambang krisis energi.

Namun, ancaman krisis energi tersebut sebenarnya bisa kita lupakan apabila bangsa Indonesia mulai memikirkan penggunaan energi alternatif non-minyak. Indonesia disebut-sebut punya potensi menjelma menjadi Timur Tengah-nya biofuel dunia. Indonesia mempunyai 40% total potensi panas bumi dunia mencapai 27.000 MW. Dengan hutan yang luas, dukungan geografis Indonesia sebagai negara tropis, Indonesia masih menyimpan potensi energi lainnya, seperti air, matahari, dan angin.

Energi alternatif non-minyak, tetapi masih berupa energi fosil, seperti batu bara dan gas bumi juga masih tersedia melampaui ketersediaan minyak. Indonesia masih punya batu bara untuk 80 tahun lagi, dan masih memiliki gas bumi sebanyak lebih dari 150 triliun kaki kubik, yang cukup untuk lebih dari 60 tahun ke depan. Dengan potensi yang luar biasa besar itu, Indonesia seharusnya berdiri sejajar, mengikuti langkah negara-negara yang menjadi pemimpin energi alternatif dunia, seperti AS, Jerman, Spanyol, China dan Brazil. Negara-negara tersebut merupakan motor penggunaan energi terbarukan yang tahun lalu masih sebesar 1,3 persen dari total pasokan energi dunia. Semakin tidak menentunya harga minyak mentah dunia serta ancaman pemanasan global, mendorong berbagai negara berlomba-lomba mengembangkan sumber energi alternatif, yang selain murah juga ramah lingkungan hingga pemanfaatannya pun diyakini semakin meningkat. Pemerintah sendiri sebenarnya bukannya tidak peduli dengan pengembangan energi alernatif berbasis energi terbarukan. Pertamina, sebagai perusahaan yang 100 persen milik negara, sudah mengembangkan potensi panas bumi di berbagai wilayah Tanah Air. 

Salah satunya melalui pusat pengembangan panas bumi di Kamojang, Garut. Saat ini Pertamina mampu menghasilkan energi panas bumi sebesar 1.194 MW dan ditargetkan angka tersebut berubah menjadi 1.889 MW pada tahun 2014 serta menjadikan Indonesia sebagai penghasil energi panas bumi terbesar di dunia.
Bukan tanpa alasan, pengembangan energi panas bumi menjadi penting. Masalahnya, energi jenis ini terbukti jauh lebih murah darupada harga BBM. Sebagai bahan bakar utama pusat pembangkit listrik di seluruh Indonesia, biaya per kwh listrik dengan menggunakan listrik sekitar 30 sen dolar AS. Bandingkan dengan biaya per kwh listrik berbahan dasar panas bumi yang hanya berkisar antara 10-20 sen dolar AS. Sayangnya, berbagai persoalan, seperti kepastian regulasi, tumpang tindih lahan, dan hambatan budaya, telah menjadi faktor penghambat bagi upaya percepatan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber listrik.

Pemerintah juga telah menetapkan aturan jelas dan tegas mengenai pemanfaatan biofuel. Berdasarkan Permen ESDM No.32/2008, seluruh badan usaha pengguna energi, baik sektor ketenagalistrikan, retail BBM transportasi, dan industri diwajibkan mencampurkan biofuel ke dalam BBM yang digunakannya. Seharusnya, biodiesel untuk dicampurkan dengan solar, kadarnya mencapai 5 persen pada tahun ini, sedangkan bioethanol sebesar 1 - 2,5 persen.

Kendati di dalam Permen ESDM tersebut telah secara tegas dicantumkan kewajiban-kewajiban pemenuhannya, sejauh ini baru Pertamina yang telah mematuhi ketentuan tersebut. Bahkan, perusahaan ini telah mencampurkan 7,5 persen FAME pada solar sejak pertengahan Februari 2012. Pemerintah konon memberi waktu hingga Mei agar badan-badan usaha memenuhi ketentuan yang berlaku. Namun, itu jelas perlu pembuktian, termasuk nyali pemerintah untuk konsisten menerapkan aturan yang ada.

Energi alternatif gas bumi dan batu bara juga bisa dimanfaatkan, terutama untuk sektor ketenagalistrikan, industri, transportasi dan rumah tangga. Gas bumi memberikan efisiensi 4 kali lipat dibandingkan BBM. Sedangkan batu bara dapat menghemat hingga 8 kali lipat dibandingkan BBM. Apalagi, Indonesia masih tercatat sebagai eksportir dan pemilik cadangan batu bara terbesar di dunia.

Jika pemanfaatan energi alternatif yang lebih murah dari BBM tersebut dapat dilakukan, rasanya dana itu bisa disisihkan untuk infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih pesat lagi. Sekaligus, untuk menjaga kestabilan ekonomi di masa depan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi ideal Indonesia, yakni berada di level 7 persen. Untuk menggapainya maka perlu optimalisasi sumber daya energi dan peningkatan infrastruktur secara signifikan.

Oleh karena itu, perubahan paradigma kita akan subsidi BBM merupakan sebuah langkah yang sangat strategis. Selain akan memberi kesempatan bagi berkembangnya energi alternatif, khususnya energi terbarukan yang baru ekonomis jika harga minyak atau BBM tinggi, perubahan paradigma itu diharapkan mampu mendatangkan kesadaran untuk menghemat penggunaan subsidi BBM yang di tahun ini diprediksikan setidaknya mencapai Rp 200 triliun. Apabila dana sebesar itu bisa dialihkan ke perbaikan infrastruktur, maka diharapkan laju pertumbuhan ekonomi pun akan lebih cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar