Transparansi Kebijakan BBM
Kesi Widjajanti, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Semarang
(USM)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 02 April 2012
TERKAIT dengan hasil rapat
paripurna DPR yang menyepakati harga BBM tidak naik per 1 April 2012 seperti
rencana pemerintah (SM, 31/03/12), semua pihak perlu mencermati banyak hal.
Sebelum rapat, penyelenggara negara, wakil rakyat, pakar, hingga akademisi,
sudah menganalisis dari berbagai sisi pandang. Bahkan sejak awal, seandainya
harga bahan bakar itu dinaikkan Bappenas sudah mengalkulasi dampaknya terhadap
kemiskinan dan pengangguran, serta isu-isu aktual pembangunan dari sisi makro.
Mengacu masih adanya beda pendapat terkait kemungkinan dinaikkannya harga BBM menyesuaikan harga minyak dunia, hal itu karena masing-masing pihak mendasarkan pada asumsi yang berbeda, plus derivat argumennya. Misalnya, menghitung harga pokok produksi minyak, bisa dilakukan dengan banyak metode dan asumsi tertentu. Bahkan tiap pihak menganggap hasil perhitungannya paling benar.
Munculnya berbagai perhitungan itu sejatinya bisa diselaraskan bila sejak awal diperdebatkan dulu dalam forum profesi yang membidangi, misalnya Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Peran organisasi profesi itu sangat siginifikan karena beranggotakan banyak pakar independen. Publik menunggu rekomendasi mereka guna menyeimbangkan dengan pendapat pemerintah dan DPR.
Sebagaimana diketahui, subsidi yang digunakan untuk investasi akan meningkatkan kemakmuran masyarakat mengingat negara bisa membangun infrastruktur yang lebih baik, menggali pengganti BBM seperti batu bara, gas, biodiesel dan sebagainya. Subsidi BBM yang digunakan adalah untuk konsumsi, bukan untuk investasi, dan hal ini jelas akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kalau ada data valid, masing-masing pihak bisa menganalisis siapa sebenarnya paling banyak mengonsumsi energi listrik. Perhitungan itu nantinya bisa menyimpulkan pihak-pihak mana yang patut menerima subsidi, termasuk besarannya. Apakah benar rakyat kecil menikmati subsidi tersebut? Fenomena yang ada menunjukkan di pedesaan rakyat kecil membayar listrik dengan tertib, dan tingkat konsumsinya pun tidak seberapa. Begitu juga dengan tingkat konsumsi BBM.
Transparansi Kebijakan
Kini, pemerintah perlu kembali memperhitungkan berbagai dampak terkait keputusan tidak naiknya harga BBM, baik efek langsung maupun tidak langsung (efek psikologis dan efek rantai). Misalnya, mengkaji kembali dampaknya terhadap beban anggaran, inflasi, angka pengangguran dan kemiskinan, serta gizi buruk balita. Hasil kajian penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap kenaikan inflasi.
Seandainya harga BBM jadi naik, pemerintah pun sudah menyiapkan bantuan langsung untuk masyarakat, utamanya yang berpenghasilan rendah, dalam format bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) guna mengurangi beban mereka, yang selama ini sudah terimpit kemiskinan. Menjelang rapat paripurna DPR pun, publik merasakan dampak psikologis terkait dengan merebaknya demonstrasi yang mengganggu roda perekonomian.
Pedagang mengeluhkan turunnya omzet mereka karena masyarakat takut keluar rumah untuk berbelanja atau menghindari kemacetan karena ada unjuk rasa. Sorotan lebih dalam tentunya tertuju kepada rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya. Termasuk di antara mereka adalah buruh industri dan UMKM di Jateng.
Guna menjaga kondusivitas, pemerintah perlu menyiapkan beberapa alternatif solusi terkait dampak seandainya di masa mendatang memutuskan menaikkan harga BBM. Misalnya pemerintah harus bisa menjelaskan bahwa harga dasar minyak dan tarif dasar listrik (TDL) di Indonesia termurah di ASEAN, dan misalnya harus segera dinaikkan, menyesuaikan dengan harga minyak di pasar intrenasional. Tentunya, pemerintah perlu terus menyosialisasikan rencana itu supaya rakyat bisa memahami dan lebih siap.
Dengan membangun kesamaan persepsi akan terbentuk pemahaman yang sama dan hal itu secara otomatis menghadirkan suasana kondusif. Sebaliknya, bila hanya mengkritisi kebijakan tanpa alasan rasional, hanya semata-mata demi kepentingan politik, justru kontraproduktif karena hanya memperumit permasalahan. Sudah saatnya pemerintah lebih mengedepankan transparansi kebijakan terkait dengan harga BBM.
Keterbukaan itu, misalnya dengan memublikasikan perhitungan yang dipakai sebagai acuan, akan menghilangkan prasangka negatif. ●
Mengacu masih adanya beda pendapat terkait kemungkinan dinaikkannya harga BBM menyesuaikan harga minyak dunia, hal itu karena masing-masing pihak mendasarkan pada asumsi yang berbeda, plus derivat argumennya. Misalnya, menghitung harga pokok produksi minyak, bisa dilakukan dengan banyak metode dan asumsi tertentu. Bahkan tiap pihak menganggap hasil perhitungannya paling benar.
Munculnya berbagai perhitungan itu sejatinya bisa diselaraskan bila sejak awal diperdebatkan dulu dalam forum profesi yang membidangi, misalnya Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Peran organisasi profesi itu sangat siginifikan karena beranggotakan banyak pakar independen. Publik menunggu rekomendasi mereka guna menyeimbangkan dengan pendapat pemerintah dan DPR.
Sebagaimana diketahui, subsidi yang digunakan untuk investasi akan meningkatkan kemakmuran masyarakat mengingat negara bisa membangun infrastruktur yang lebih baik, menggali pengganti BBM seperti batu bara, gas, biodiesel dan sebagainya. Subsidi BBM yang digunakan adalah untuk konsumsi, bukan untuk investasi, dan hal ini jelas akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kalau ada data valid, masing-masing pihak bisa menganalisis siapa sebenarnya paling banyak mengonsumsi energi listrik. Perhitungan itu nantinya bisa menyimpulkan pihak-pihak mana yang patut menerima subsidi, termasuk besarannya. Apakah benar rakyat kecil menikmati subsidi tersebut? Fenomena yang ada menunjukkan di pedesaan rakyat kecil membayar listrik dengan tertib, dan tingkat konsumsinya pun tidak seberapa. Begitu juga dengan tingkat konsumsi BBM.
Transparansi Kebijakan
Kini, pemerintah perlu kembali memperhitungkan berbagai dampak terkait keputusan tidak naiknya harga BBM, baik efek langsung maupun tidak langsung (efek psikologis dan efek rantai). Misalnya, mengkaji kembali dampaknya terhadap beban anggaran, inflasi, angka pengangguran dan kemiskinan, serta gizi buruk balita. Hasil kajian penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap kenaikan inflasi.
Seandainya harga BBM jadi naik, pemerintah pun sudah menyiapkan bantuan langsung untuk masyarakat, utamanya yang berpenghasilan rendah, dalam format bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) guna mengurangi beban mereka, yang selama ini sudah terimpit kemiskinan. Menjelang rapat paripurna DPR pun, publik merasakan dampak psikologis terkait dengan merebaknya demonstrasi yang mengganggu roda perekonomian.
Pedagang mengeluhkan turunnya omzet mereka karena masyarakat takut keluar rumah untuk berbelanja atau menghindari kemacetan karena ada unjuk rasa. Sorotan lebih dalam tentunya tertuju kepada rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya. Termasuk di antara mereka adalah buruh industri dan UMKM di Jateng.
Guna menjaga kondusivitas, pemerintah perlu menyiapkan beberapa alternatif solusi terkait dampak seandainya di masa mendatang memutuskan menaikkan harga BBM. Misalnya pemerintah harus bisa menjelaskan bahwa harga dasar minyak dan tarif dasar listrik (TDL) di Indonesia termurah di ASEAN, dan misalnya harus segera dinaikkan, menyesuaikan dengan harga minyak di pasar intrenasional. Tentunya, pemerintah perlu terus menyosialisasikan rencana itu supaya rakyat bisa memahami dan lebih siap.
Dengan membangun kesamaan persepsi akan terbentuk pemahaman yang sama dan hal itu secara otomatis menghadirkan suasana kondusif. Sebaliknya, bila hanya mengkritisi kebijakan tanpa alasan rasional, hanya semata-mata demi kepentingan politik, justru kontraproduktif karena hanya memperumit permasalahan. Sudah saatnya pemerintah lebih mengedepankan transparansi kebijakan terkait dengan harga BBM.
Keterbukaan itu, misalnya dengan memublikasikan perhitungan yang dipakai sebagai acuan, akan menghilangkan prasangka negatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar