Ironi Negeri Kaya Minyak
Susidarto, Pengamat
Ekonomi dan Praktisi Perbankan
SUMBER : SUARA KARYA, 02 April 2012
Indonesia "ditakdirkan"
menjadi sebuah negara yang unik. Di tengah kekayaan hasil tambangnya berupa
minyak dan gas bumi, ternyata terus mengalami gejolak yang berkaitan dengan
pasokan dan harga bahan bakar minyak (BBM). Seperti dikemukakan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), kenaikan harga BBM akan dilakukan apabila kondisi
ekonomi nasional cukup berat.
Alasannya, antara lain, untuk mengurangi beban subsidi BBM yang
sangat tinggi, karena kenaikan harga minyak dunia yang sudah mencapai 116 dolar
AS per barel. Sementara asumsi APBN sebesar 95 dolar AS per barel.
Tentu saja, rencana ini (kenaikan harga BBM dengan mengikuti
gejolak harga internasional) membuat masyarakat menjadi resah, pasrah, dan
panik. Masalahnya, kenaikan harga BBM akan mendorong harga komoditas lain ikut
melambung tinggi, alias terjadi inflasi akibat tekanan harga.
Bagi masyarakat awam, kenaikan harga BBM rasa-rasanya memang sulit
untuk diterima akal sehat. Bagaimana negara penghasil minyak harus menaikkan
harga BBM-nya di tengah krisis yang masih membelit ini? Masyarakat bingung, apa
yang menjadi latar belakang di balik kenaikan BBM?
Inilah pertanyaan yang perlu dituntaskan, agar masyarakat semakin
bisa mengerti sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya kenaikan harga BBM ini.
Menaikkan harga BBM sebenarnya memang tidak bisa ditunda lagi.
Masyarakat harus menelan pit pahit ini, agar "perekonomian" nasional bisa terhindar dari penyakit. Kendati
demikian, hal ini tetap sulit untuk dipahami dan merupakan ironi dari sebuah
negara penghasil minyak bumi. Setidaknya, ada beberapa hal yang mendasari
pemikiran ini.
Pertama, Indonesia merupakan negara penghasil minyak mentah dan
hasilnya diekspor. Cadangannya di perut bumi, masih cukup besar.
Cekungan-cekungan sumber minyak belum semuanya dieksplorasi (diteliti) secara
mendetail, terlebih untuk di eksploitasi (ditambang), masih memerlukan waktu
yang panjang. Cekungan-cekungan minyak bumi ini merupakan persediaan yang cukup
aman untuk jangka panjang ke depan. Artinya, potensi minyak bumi Indonesia
masih sangat besar dan merupakan tabungan masa depan.
Penyelundupan?
Melihat kenyataan ini, kenaikan harga BBM merupakan hal yang aneh
bin ajaib. Kalau hal ini terjadi di negara yang tidak memiliki cadangan minyak
bumi sama sekali, barangkali masih bisa dipahami. Namun, Indonesia ternyata
masih menempuh kebijakan menaikkan harga BBM. Alasan klasiknya untuk
meningkatkan pendapatan negara selain juga harga BBM di dalam negeri masih
kalah jauh di bawah harga internasional, sehingga menyuburkan berbagai bentuk
praktik perdagangan ilegal seperti penyelundupan BBM ke luar negeri.
Kedua, sungguh ironis kalau negara penghasil minyak bumi masih mengimpor
minyak matang (BBM) akibat terbatasnya kilang pengolahan minyak milik
pemerintah (Pertamina) dan juga production sharing dari para kontraktor asing
akibat pembagian hasil yang tidak seimbang. Sementara di saat yang sama, yakni
di balik kekurangan pasokan minyak matang (BBM) ini, berbagai bentuk
penyelundupan minyak matang (BBM) ke luar negeri, diduga masih sangat subur dan
berjalan dengan aman akibat dukungan oknum aparat.
Yang luar biasa, berdasarkan temuan di lapangan, lokasi tempat
berlangsungnya penyelundupan BBM ini sangat dekat dengan kantor aparat penegak
hukum, yakni kantor kepolisian. Yang lebih sungguh luar biasa adalah
keterkaitan antara penyelundupan (berarti kelebihan pasokan BBM) dengan
fenomena kelangkaan (berarti kekurangan) yang akibatnya menyebabkan kenaikan
harga BBM dalam negeri. Jelas, penyelundupan semacam ini tidak bisa dibenarkan
di tengah kurangnya pasokan minyak matang (BBM) dalam negeri.
Ketiga, ironisitas lain yang muncul adalah sebagai bangsa yang
dikaruniai berkat minyak bumi yang melimpah, ternyata sangat miskin di dalam
strategi manajerialnya. Fenomena kelangkaan BBM yang sering kita alami, dan
juga gejolak kenaikan harga BBM yang akan datang, bisa disebut pula sebagai
buruknya manajemen pencadangan BBM, sebagai komoditas yang strategis. Negara AS
memiliki cadangan BBM untuk satu tahun ke depan. Di Indonesia, dengan konsumen
yang demikian banyaknya, cadangan BBM yang disimpan ternyata tidak berbilangan
bulan atau tahun, namun hanya untuk beberapa hari. Kondisi semacam ini sungguh
amat mencemaskan kita bersama.
Oleh sebab itu, apabila pemerintah berniat menaikkan harga BBM
dalam beberapa bulan ke depan, maka harus bisa menjelaskan secara jernih
matematika dari komoditas BBM. Selama ini berapa produksi maksimal per hari
dari kilang yang ada, tidak begitu jelas, dan juga penggunaannya. Kalau
semuanya dibuka secara transparan, maka masyarakat akan bisa berhitung, dan
kalau perlu ikut berhemat, agar subsidi BBM bisa berkurang drastis. Sebab,
langkah penghematan sejatinya merupakan langkah paling tepat, sembari mencari
energi alternatif lain, yang nantinya bisa menggantikan peran dominan minyak
dan gas bumi.
Langkah cerdas semacam inilah yang perlu dicermati bersama
belakangan ini. Kita semua tidak mau terus-menerus "dikerjain" oleh
komoditas BBM, yang sejatinya sudah tidak murni lagi harganya. Maklum,
transaksi derivative (pasar komoditas) sudah memberikan peluang bagi para
pemilik modal besar tak bermoral (bloodied investor) untuk memainkan harga
minyak dunia. Bayangkan, di tengah menurunnya konsumsi minyak seperti sekarang
ini, ternyata harga minyak tetap bertahan pada kisaran di atas 110 dolar AS per
barelnya. Itu berarti ada sesuatu yang harus dibereskan dengan para komoditas
yang sungguh sangat strategis ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar