Surat,
Demonstrasi, Puisi
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
SUMBER : KORAN TEMPO, 08 April 2012
Nasib rezim kerap bergantung pada politik
harga bahan bakar minyak (BBM). Narasi politik Orde Lama memuat soal harga
sebagai pertaruhan utopia dan petaka. Mohamad Hatta dalam sepucuk surat (19
Januari 1962) untuk Sukarno menulis kalimat-kalimat sindiran: "Tiap pejabat negeri mendengung-dengungkan
bahwa kita sedang menuju ke sosialisme. Tujuan sosialisme ialah memurahkan
ongkos rakyat. Berbagai tindakan pemerintah sebaliknya, memahalkan."
Kontradiksi rezim Orde Lama diungkapkan Hatta sebagai ikhtiar mengingatkan
Sukarno agar melakukan koreksi atas politik harga.
Peringatan itu terus dilanjutkan oleh Hatta
di ujung kekuasaan Sukarno. Hatta (1 Desember 1965) menerangkan: "Harga bensin Rp 4 seliter terlalu murah.
Sejak dari 1961, saya sarankan kepada beberapa pejabat yang bersangkutan,
supaya dinaikkan berangsur-angsur." Saran itu diabaikan oleh
pemerintah. Politik Orde Lama pun terus limbung oleh kegagalan mengurusi
politik harga. Pemerintah justru semakin mengeruhkan politik atas nama "amanat penderitaan rakyat" dengan
harga bensin 6,5 kali lipat. Politik harga bensin ini memicu kenaikan harga
pelbagai kebutuhan pokok dan transportasi. Hatta mengajukan kritik keras dengan
surat. Mahasiswa pun turut mengajukan kritik untuk menanggungkan petaka politik
harga. Demonstrasi adalah jawaban ampuh atas ulah rezim.
Demonstrasi adalah dramaturgi politik.
Demonstrasi digelar oleh mahasiswa di pelbagai kota. Epilog Orde Lama adalah
ritus demonstrasi (hampir) setiap hari. Indonesia menjelma negeri demonstrasi.
So Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (1983) menulis pelbagai
narasi demonstrasi. Gie menjelaskan bahwa kenaikan harga bensin dari Rp 4
menjadi Rp 250 telah menguak kebobrokan rezim dan petaka politik. Gie (25
Januari 1966) mencatat adegan dramatis aksi mahasiswa di Salemba: "Semua mobil distop sehingga lalu lintas
macet. Mereka menulisi mobil dengan slogan: dekat jauh dua ratus; turunkan
harga bensin; DPR banci; ritul menteri-menteri goblok." Demonstrasi
menjelma kritik eksplisit demi perubahan nasib di bawah naungan politik
otoriter.
Gie bergerak bersama ribuan mahasiswa
meladeni ulah rezim dengan demonstrasi dan tulisan. Gie rajin menulis dan
memberi orasi untuk menggairahkan kritik untuk rezim. Demonstrasi memang
melelahkan dan mengandung risiko. Elite mencurigai demonstrasi "ditunggangi neokolim", "liar", "subversif". Demonstrasi pun memerlukan dramaturgi agar tak
mendapati stigmatisasi picisan di mata rezim. Gie "mengolah" demonstrasi dengan pamrih mengundang perhatian
rakyat melalui adegan berjalan, bersepeda, orasi. Adab demonstrasi ini lekas
menjelmakan kehendak rakyat. Gairah dan lelah dalam menggerakkan demonstrasi
tampak dalam komentar ibu saat melihat Gie pulang ke rumah: "Kau kelihatan tua sekarang: kotor, bau, dan
degil."
Hatta bergerak dengan kalimat-kalimat di
surat. Gie bergerak dengan tubuh-keringat dan tulisan. Dua tokoh ini memilih
jalan berbeda untuk turut menanggung derita rakyat. Politik harga bensin dan
situasi politik pelik membuat Hatta dan Gie menghadirkan kritik demi nasib
Indonesia. Kritik saat itu kerap diartikan "musuh" dari lakon revolusi.
Hatta memang menulis surat sebagai prosedur
menentang rezim Orde Lama. Pertentangan pendapat ini seolah "keharusan" tanpa merusak relasi
diri dengan Sukarno sebagai penggerak bangsa. Politik menghendaki kritik dan
"persahabatan" memerlukan
ingatan-peringatan. Hatta mengajarkan adab kritik dalam nalar demokrasi. Gie
juga mengikhtiari diri untuk menjadikan demonstrasi sebagai aksi merawat
demokrasi dan mengubah nasib rakyat Indonesia. Gie menulis: "kenang-kenangan demonstrasi akan tetap
hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia; batu
tapal dalam revolusi Indonesia; batu tapal dalam sejarah Indonesia karena yang
dibelanya adalah keadilan dan kejujuran."
Memori demonstrasi ala Gie juga dilengkapi
dengan memori dalam bentuk puisi. Taufiq Ismail dengan puisi Dari Ibu
Seorang Demonstran (1966) mengantarkan ingatan akan makna demonstrasi di
episode akhir Orde Lama: "Ibu telah
merelakan kalian/ Untuk demonstrasi/ Karena kalian pergi menyempurnakan/
Kemerdekaan ini." Penggalan puisi ini mengartikan ada tirani di masa
Orde Lama. Demonstrasi pun dianggap jawaban mumpuni.
Lakon demonstrasi terus berlanjut di masa
Orde Baru. Politik harga BBM pun jadi sebab. Rezim mengumandangkan misi
kesejahteraan dan kemakmuran. Misi ini mengandung ilusi dan manipulasi. Gugatan
dan kritik muncul saat Orde Baru membuat eufemisme politik. Kenaikan harga BBM
dibahasakan secara halus dan represif. Nalar tertib dan kontrol mengkondisikan
rakyat melancarkan kritik dalam "bisik".
Demonstrasi seolah "haram".
Rezim pun melabeli demonstrasi dengan sangkaan anarkistik, subversif,
inkonstitusional.
Wiji Thukul tampil dengan puisi melawan
kebisuan. Orde Baru dengan politik harga BBM telah memberi nestapa. Wiji Thukul
(1984) menulis puisi dalam teriak dan gugatan: jika bbm kembali menginjak/
namun juga masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan/ maka aku tidak akan
lagi memohon pembangunan nasib. Pujangga asal Solo ini dalam puisi Peringatan
(1986) menulis: kalau rakyat tidak berani mengeluh/ itu artinya sudah gawat/
dan bila omongan penguasa/ tidak boleh dibantah/ kebenaran pasti terancam.
Puisi jadi suguhan perlawanan.
Pembisuan dan pelemahan kritik pecah saat
Orde Baru mengalami sakit akut oleh deraan krisis ekonomi-politik (1997-1998).
Politik harga diajukan oleh rezim untuk mengatasi "kebangkrutan" dan apologi mempertahankan kekuasaan. Y.B.
Mangunwijaya (13 Mei 1998) menganggap kenaikan harga BBM merupakan penciptaan
"titik-tanpa-balik". Harga
bisa menjatuhkan rezim dan harga diri penguasa. Ironi politik seolah terulang
dengan jawaban demonstrasi. Indonesia saat itu menjadi negeri demonstrasi. Y.B.
Mangunwijaya mengingatkan: "Jika
demonstrasi teratur dilabrak keras akan tumbuhlah demonstrasi rakyat: mengamuk
anarkistis". Pengharapan juga dimunculkan agar demonstrasi membuat
"fajar kearifan historis akan
menyingsing". Orde Baru bisa dijatuhkan meski meninggalkan luka dan
petaka.
Narasi sejarah politik harga BBM dan nasib
rezim itu bisa jadi rujukan untuk membaca nasib Indonesia hari ini. Hatta
mengingatkan dengan surat. Gie bergerak dengan demonstrasi. Taufiq Ismail dan
Wiji Thukul menggugat dengan puisi. Kita cuma meramal nasib Indonesia saat
harus mengisahkan diri dalam naluri pengulangan sejarah. Kita pun menghendaki
Indonesia tak terluka dan nestapa. Begitu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar