Memilih
Regulator Penyiaran Terbaik
Sabam Leo Batubara, Mantan Anggota Dewan Pers
SUMBER : KORAN TEMPO, 09 April 2012
Untuk memilih regulator penyiaran Indonesia
yang terbaik, publik, pemangku kepentingan, dan pengambil keputusan memerlukan
pencerahan paling tidak menyangkut tiga hal. Siapa penentu regulator penyiaran,
apa opsi yang tersedia, dan dari beberapa pilihan tersebut, opsi mana yang
terbaik? Menurut konstitusi, dalam agenda perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, penentuan siapa regulator penyiaran dilakukan
berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah.
Merujuk pada model UU Penyiaran mancanegara,
termasuk Indonesia, tercatat empat model regulator penyiaran. Pertama,
pemerintah sebagai regulator penyiaran. Negara-negara berparadigma otoriter,
seperti Korea Utara, Cina, Kuba, Malaysia, dan Indonesia, pada era Orde Baru
menempatkan pemerintah sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas, serta
pengendali penyiaran.
Kedua, sesuai dengan Pasal 62 UU Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama
pemerintah menjadi regulator penyiaran. Ketentuan itu kemudian, berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 22 Juli 2004, dinilai sebagai tidak
konstitusional. Menurut putusan itu, sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan
negara hukum, KPI tidak boleh bersama pemerintah menyusun peraturan pemerintah
dalam penyelenggaraan penyiaran. Dengan putusan MK itu, pemerintah--dalam hal
ini Kementerian Komunikasi dan Informatika-–menjadi regulator penyiaran.
Ketiga, memilih KPI sebagai regulator
penyiaran. Dalam tulisan bertajuk "Regulator
Penyiaran", Amir Effendi Siregar, pengamat penyiaran dan dosen
komunikasi Universitas Islam Indonesia (Koran Tempo, 2 April 2012)
mempertanyakan: "Siapakah regulator
utama penyiaran Indonesia? Apakah pemerintah atau KPI?" Amir Siregar
berpendapat, sangat tepat bila regulator utama penyiaran Indonesia yang sudah
memilih demokrasi adalah KPI. Untuk memperkuat pendapat itu, salah satu
referensinya adalah "KPI"
Amerika Serikat yang bernama Federal
Communications Commission (FCC). Badan negara yang independen tersebut
memiliki kekuasaan sebagai regulator penyiaran, pemberi izin, dan berwenang
mencabut serta tidak memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran.
Keempat, dalam perubahan UU Penyiaran
mendatang, DPR dan pemerintah merumuskan semua regulasi penyiaran yang
diperlukan. Semua pasal yang memerlukan peraturan pelaksanaan (dalam UU
Penyiaran disebut peraturan pemerintah) dibahas oleh DPR dan pemerintah dibantu
pakar serta keikutsertaan wakil-wakil organisasi penyiaran, KPI, Dewan Pers, dan
aktivis demokratisasi penyiaran. Hasilnya menjadi bagian dari UU Penyiaran.
Wewenang KPI terutama memfasilitasi komunitas penyiaran dan pers serta pemangku
kepentingan lainnya untuk menyusun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3SPS) dan menjadi penegak P3SPS (P3SPS enforcer).
Dengan model seperti itu, UU Penyiaran
Australia terdiri atas 561 halaman (UU Penyiaran 63 halaman), yang di satu sisi
mengakomodasi demokratisasi penyiaran, demokratisasi ekonomi, dan prinsip
ekonomi media. Adapun di sisi lain, udang-undang seperti itu bebas dari
sengketa kewenangan.
Pilihan Terbaik
Dari empat model tersebut, opsi mana yang
terbaik? Karena empat amendemen konstitusi telah menegaskan Indonesia memilih
demokrasi, bagi DPR dan pemerintah tinggal memilih KPI atau DPR bersama
pemerintah sebagai regulator penyiaran.
Memilih KPI sebagai regulator penyiaran,
pertanyaannya adalah apakah keindependenan, integritas, dan paham demokrasi
sembilan komisioner KPI serta bakal anggota KPI mendatang sudah setara dengan
komisioner FCC Amerika?
Menurut saya, KPI belum siap mengadopsi
konsep FCC Amerika. Dengan kewenangan yang telah diamputasi MK saja, rekam
jejak KPI dua tahun terakhir ini menunjukkan performa yang belum taat asas good
governance, seperti beberapa contoh berikut ini.
Pertama, dalam putusannya (1 Juli 2010), KPI
menghentikan sementara rubrik Headline News di Metro TV selama
tujuh hari berturut-turut, dan menyatakan media itu telah melanggar Pasal 36
ayat 5 huruf b UU Penyiaran. Pelanggaran itu berdasarkan Pasal 57 huruf d, yang
berarti media tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar. Karena rubrik itu adalah
produk pers, seyogianya KPI berkoordinasi dengan Dewan Pers. Menurut UU Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers, KPI tidak berwenang mengenakan pelarangan
penyiaran. Juga KPI hanya berwenang menyatakan media itu diduga melanggar Pasal
36 ayat 5 huruf b UU Penyiaran.
Kedua, menyikapi tayangan infotainment
Silet di RCTI tentang bencana Gunung Merapi pada 7 November 2010,
KPI juga melakukan kesalahan yang sama: (1) menghentikan program Silet
sementara waktu, dan (2) menyatakan media itu melanggar pasal 36 ayat 5 huruf
a. Menyikapi gugatan RCTI, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
mencabut sanksi KPI, dan Markas Besar Kepolisian RI menolak pengaduan KPI bahwa
media itu melakukan kejahatan.
Ketiga, Pasal 8 ayat 2 huruf b dan penjelasan
UU Penyiaran menyebutkan: "KPI
berwenang menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (P3). P3
tersebut diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI."
Mempedomani ketentuan itu, Dewan Pers memfasilitasi pertemuan jurnalis
penyiaran untuk menyusun "Draf P3SPS
Bidang Jurnalistik". Merespons soal pertemuan itu, KPI dalam suratnya
(12 Maret 2012) menyatakan Dewan Pers telah melakukan tindakan di luar
kewenangan yang dimiliki (abuse of power) dengan empat alasan, antara
lain, "KPI adalah lembaga negara
yang bersifat independen yang diberi otoritas penuh mengatur hal-hal mengenai
penyiaran."
Padahal, mempedomani UU Pers, salah satu
fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers. Dalam operasional, Dewan
Pers perlu menjaga agar P3SPS bidang jurnalistik tidak bertentangan dengan UU
Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Tidak mengherankan jika Sasa Djuarsa Sendjaja
yang kaya pengalaman tentang kinerja KPI (karena pernah enam tahun menjadi
komisioner KPI, termasuk tiga tahun Ketua KPI Pusat) menyatakan (20 Februari
2012): "Memberi tambahan kewenangan
kepada KPI bakal memunculkan sengketa kewenangan. Jika KPI memiliki mandat
sebagai regulator sekaligus pemberi izin, bakal muncul sengketa kewenangan. Di
mana-mana lembaga yudikatif dan eksekutif tidak boleh menjadi satu."
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di
atas, memilih KPI dengan kewenangan sebagai regulator penyiaran, pemberi izin,
dan berwenang membatalkan izin penyelenggaraan penyiaran dikhawatirkan akan
mengantar KPI ke pintu gerbang korupsi. Negarawan Inggris Lord Acton
mengingatkan, "Power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely."
Tidakkah lebih demokratis dan lebih aman jika
DPR dan pemerintah membuat revisi UU Penyiaran lengkap dengan regulasi
penyiaran, kemudian KPI sebagai pelaksana P3SPS? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar