Kamis, 19 April 2012

Sudomo di Tengah Lautan Jenderal


Sudomo di Tengah Lautan Jenderal
Salim Said, Salim Said Guru Besar Universitas Muhammadiyah, Guru Besar Luar Biasa di Universitas Pertahanan, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan Direktur Institut Peradaban
SUMBER : KOMPAS, 19 April 2012



Sudomo yang meninggal dunia kemarin adalah salah seorang tokoh terkemuka Orde Baru yang bertahan lama di pusat kekuasaan.

Berkat hubungan khususnya dengan Soeharto semasa Manda- la di Makassar, Sudomo satu-satunya perwira Angkatan Laut yang berperan penting di hampir sepanjang Orba. Ia memimpin AL dan Kopkamtib, jadi Menteri Perburuhan dan Menko Polkam, dan Ketua DPA.

Jauh sebelum jabatan penting tingkat pusat itu, kolonel (waktu itu) Sudomo merupakan komandan operasi yang melibatkan beberapa kapal motor torpedo AL pada operasi penyusupan pasukan ke daratan Irian Barat pada 1962.

Salah satu kapal yang dikomandoinya: Macan Tutul. Ikut berlayar Laksamana Pertama Jos Sudarso. Sang Laksamana tewas bersama sejumlah anak buahnya ketika Macan Tutul pada 15 Januari 1962 ditenggelamkan kapal perang Belanda di Laut Arafuru.

Sudomo kemudian ditarik ke Makassar membantu Panglima Mandala Mayor Jenderal TNI Soeharto. Kedudukannya di situ Panglima AL Mandala. Kolaborasi di Makassar itulah awal kerja sama yang berlangsung puluhan tahun dan membawa Sudomo pada posisi amat penting sepanjang pemerintahan Orba.

Meski lama jadi orang penting, Sudomo dalam tahun-tahun terakhir Orba bukan lagi pejabat yang diperhitungkan. Sebagai ketua DPA, ia bertugas menasihati pemerintah. Masukan itu bersifat rahasia, tidak untuk disebarkan kepada publik. Menurut beberapa mantan anggota DPA, kebanyakan masukan mereka tak dihiraukan Soeharto. Itu sebabnya banyak yang memelesetkan DPA jadi Dewan Pensiunan Agung.

Karena pernah lama jadi pejabat pemerintah dan sumber berita pers, Sudomo terbiasa berurusan dengan wartawan. Dalam persaingan pers yang kian ketat, wartawan tentu senang dapat berita dari siapa saja, terutama dari orang seterkenal Sudomo. Dengan latar seperti inilah muncul komentar Sudomo yang kerap bikin bingung publik menjelang rezim Orba berakhir.

Tentang DI/TII

Pada suatu hari menjelang krisis Orba, misalnya, Sudomo mendadak muncul secara dramatis di berbagai media. Waktu itu Tasikmalaya kalut sebagai bagian dari kerusuhan menjelang jatuhnya Orba. Mengulangi kebiasaan lamanya sebagai Pangkopkamtib atau Menko Polkam, Sudomo mengomentari kerusuhan itu dan menyebutnya didalangi DI/TII.

Menurut teman yang mendengarkan penjelasan Sudomo itu, gaya penjelasan itu santai tetapi meyakinkan. Persis seperti ketika Sudomo masih memimpin Kopkamtib dulu. ”Jangan-jangan beliau masih merasa berada di kantor Kopkamtib,” gurau teman saya itu. Namun, teman wartawan itu tiba-tiba serius bertanya kepada saya, ”Menurut Bung, apakah mungkin masih ada DI/TII yang potensial mengacau?”

Dari dulu saya tak yakin ada DI/TII yang mengacau di masa Orba. Bukti yang dikemukakan pemerintah saat itu kurang meyakinkan saya sebagai peneliti maupun sebagai wartawan. Yang saya dengar di sepanjang usia Orba sehubungan dengan DI/TII, terutama ketika Ali Moertopo masih hidup, soal itu rekayasa opsus pimpinan Ali Moertopo.

Seandainya ada bukti DI/TII otak kerusuhan di Tasikmalaya atau di mana saja dan Sudomo punya bukti, seyogiyanya mantan petinggi Kopkamtib itu melaporkan temuannya kepada Pangab/ Ketua Bakostranas yang bertanggung jawab waktu itu. Sudomo yang tak lagi pejabat keamanan tak wajar mengumumkannya sendiri. Bukan wewenangnya.

Keamanan dan ketertiban tak mungkin tercapai jika aturan main kita langgar semau kita saja. Saya yakin Sudomo tentu amat mafhum tata krama itu. Bukankah ia lama memimpin Kopkamtib yang bertujuan menciptakan keamanan dan ketertiban?

Lagi pula sebagai mantan perwira tinggi, sudah sepatutnya Sudomo memberi contoh bagaimana menghormati dan memercayai perwira ABRI yuniornya yang bertugas menangani urusan keamanan. Dengan mengumumkan langsung sinyalemennya kepada masyarakat, Sudomo memberi kesan kuat ia tak lagi percaya kepemimpinan ABRI.

Ironisnya pula, ketika aparat keamanan mencoba melacak sinyalemen yang diumumkan Sudomo, hasilnya ternyata berbeda. ”Tidak ada itu DI/TII dalam kerusuhan Tasik. Saya ini kan lurahnya di sini, yang lebih tahu tentang Tasik,” kata Mayor Jenderal Tayo Tarmadi, Pangdam Siliwangi waktu itu.

Beberapa tahun setelah Soeharto meninggal, di suatu sore saya berjumpa dengan Sudomo di kamar kecil Hotel Hilton, Jakarta. Sebagai wartawan, saya dulu sering mewawancarainya dalam kedudukannya selaku Pangkopkamtib maupun Menko Polkam. Yang saya ingat, dalam segala jabatan yang didudukinya, di mana pun saya jumpa, ia selalu ramah, hangat, dan bersahabat.

Tampaknya ia masih ingat saya. Tentu ceritanya kini sudah la- in. ”You umur berapa sekarang?” Setelah mendapat jawaban, ia mulai bercerita tentang kesibukannya menyelam dan main golf yang masih ia lakoni di usia tua. ”Pak Domo, mengapa Anda tidak menulis memoar?” tanya saya. Jawabnya dengan cepat: ”Saya ingin menikmati sisa hidup saya dengan tenang. Saya tidak mau ribut-ribut.” Katanya, ia tak ingin terlibat ribut seperti Jenderal (Purn) Sumitro dan Jenderal (Purn) Maraden Panggabean yang terpicu memoar Sumitro.

Berbeda dengan mantan pembesar yang dulu kerap ”mengorbankan” banyak orang di masa berkuasanya pada zaman Orba dan karena itu cenderung bertingkah serba salah pasca-Orba, Sudomo biasa-biasa saja. Ia seperti orang yang tak pernah bersalah meski pernah memimpin Kopkamtib, lembaga yang amat ditakuti di masa Soeharto.

Bantu Mahasiswa

Ketika fenomena Sudomo itu saya bicarakan dengan seorang purnawirawan AL, dia menjelaskan: ”Sudomo itu tahu diri. Sebagai perwira Angkatan Laut, ia tahu dirinya hanya alat bagi Soeharto. Jadi tidak pernah benar-benar merasa berkuasa.” Kendati demikian, laksamana purnawirawan yang pernah anak buah Sudomo itu menjelaskan bagaimana Sudomo diam-diam menyelamatkan sejumlah aktivis mahasiswa yang mestinya ditahan setelah Peristiwa Malari dan Peristiwa Bandung 1978.

Beberapa tokoh mahasiswa ia beri kesempatan menyelesaikan pendidikan di luar negeri meski berstatus orang yang harus dicekal. Konon Dr Sjahrir dan Dr Rizal Ramli diberi Sudomo kelonggaran menyelesaikan pendidikan tinggi di Amerika.

Sebagai perwira AL yang berada pada pusat kekuasaan di tengah lautan Jenderal Angkatan Darat, Sudomo bisa bercerita banyak bagaimana Soeharto mengelola dan memanfaatkan konflik di kalangan para perwira tinggi AD yang mengelilingi sang presiden. Adalah Sudomo, misalnya, yang kemudian memberi tahu Jenderal Kemal Idris bahwa mantan Pangkostrad dan Pangkowilhan itu terlempar jadi duta besar di Yugoslavia karena Ali Moertopo berhasil meyakinkan Soeharto mengenai apa yang disebutnya bahaya yang mengancam sang presiden dari Kemal.

Masih banyak kerumitan politik di masa Soeharto yang kita tak tahu hingga hari ini. Kalau punya sedikit keberanian jauh setelah Soeharto wafat, Sudomo bisa berbuat banyak menolong kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar