Dilema
Perguruan Swasta
Ki Sugeng Subagya, Sekretaris
Badan Musyawarah Perguruan Swasta Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 19 April 2012
SD dan SMP sebagai pelaksana program wajib
belajar dilarang memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik,
orangtua atau wali peserta didik. Demikian Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011. Larangan ini tak terkecuali bagi sekolah
swasta.
Sejak bantuan operasional sekolah (BOS)
digulirkan pada 2009, lambat laun pungutan dari orangtua murid dikurangi untuk
menuju program pendidikan gratis dalam rangka wajib belajar sembilan tahun.
Pemahaman terhadap kebijakan ini menimbulkan
dilema. Masyarakat menuntut layanan pendidikan berkualitas tanpa harus dibebani
pembiayaan. Sementara itu, sekolah tak dapat menyelenggarakan pendidikan
berkualitas karena besaran dana BOS tak cukup untuk menopang kebutuhan
operasionalnya.
Bagi swasta, sekolah gratis hampir mustahil.
Selain dana BOS belum memadai, mekanisme penetapan besaran dana satuan
pendidikan, perhitungan unit cost, dan analisis komponen pembiayaannya belum
tepat.
Pembiayaan pendidikan di swasta, juga sekolah
pada umumnya, mencakup: (1) biaya operasi; (2) biaya investasi; dan (3) biaya
personal. Biaya operasi pendidikan mencakup gaji/tunjangan pendidik dan tenaga
kependidikan. Bagi sekolah swasta, sumber biaya untuk gaji/tunjangan pendidik
dan tenaga kependidikan selama ini mengandalkan pungutan dari orangtua murid.
Peruntukan
BOS
Program sekolah gratis dengan pemberian BOS
dimaksudkan agar orangtua murid tidak lagi dibebani biaya operasi. Dalam hal
ini terbangun kesan, pemerintah melalui BOS mampu membiayai semua kebutuhan
operasional sekolah.
Padahal, dengan besaran dana BOS tahun 2012
Rp 580.000 per siswa per tahun untuk SD dan Rp 710.000 per siswa per tahun
untuk SMP, hanya dapat menopang biaya operasi dengan standar minimal
berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP). Artinya, besaran dana itu tak
cukup untuk membiayai program sekolah yang melampaui standar minimal SNP. Dalam
konteks ini, larangan memungut biaya pendidikan sama halnya mempertaruhkan
kualitas pendidikan.
Ketentuan pemanfaatan dana BOS untuk
gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan tak boleh
lebih dari 20 persen dari jumlah dana yang diterima sekolah mustahil dapat
diterapkan di swasta. Jika dana BOS satu-satunya sumber pembiayaan,
gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan jauh dari
layak. Jangan heran jika kemudian ada pendidik/tenaga kependidikan menerima
honorarium kurang dari Rp 100.000 per bulan.
Jika subkomponen gaji/honorarium serta
tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan dikeluarkan dari biaya operasi,
membebaskan orangtua murid sekolah swasta dari pungutan masih dimungkinkan.
Persoalannya, apakah pemerintah sudah mampu menyediakan anggaran untuk membayar
gaji/honorarium serta tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan swasta
yang lebih dari 700.000 orang? Ini belum termasuk guru tidak tetap dan pegawai
tidak tetap.
Dalam konteks satuan pendidikan, mekanisme
penetapan besaran BOS berdasarkan variabel jumlah siswa kurang tepat. Sekolah
yang siswanya lebih banyak menerima dana banyak, sedangkan sekolah yang siswanya
sedikit memperoleh dana sedikit. Padahal, pembiayaan satuan pendidikan lebih
banyak dipengaruhi oleh basis rombongan belajar. Artinya, dalam satu rombongan
belajar biaya operasionalnya relatif sama, baik dengan jumlah murid banyak
maupun sedikit.
Pengaturan
vs Pelarangan
Tampaknya, saat ini yang diperlukan bukan
pelarangan memungut biaya dari orangtua murid, melainkan mekanisme dan
peruntukannya yang perlu diatur. Pelarangan dapat dilakukan apabila pemerintah
mampu mencukupi semua biaya pendidikan yang dibutuhkan satuan pendidikan, baik
sekolah negeri maupun swasta, dengan semua komponen pembiayaannya.
Pengaturan pungutan memberi peluang kepada
masyarakat berperan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pemanfaatan
dana masyarakat secara optimal. Bukankah dalam hal ini pemerintah telah
menetapkan manajemen berbasis sekolah dengan mengedepankan perencanaan
pengembangan satuan pendidikan.
Tak kalah penting, dalam hal pengaturan itu
harus diberikan jaminan terhadap warga yang kurang beruntung secara ekonomi
harus dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Sistem subsidi silang adalah
alternatif yang dapat dipilih untuk memberi jaminan kepada mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar