Kamis, 19 April 2012

Berhentinya Akal Sehat


Berhentinya Akal Sehat
Mudji Sutrisno SJ, Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia 
SUMBER : SINDO, 19 April 2012



Terdapat tiga kemampuan yang menjadi sumber perkembangan kebudayaan umat manusia yang bila dibangun terus akan menjadi peradaban. Yang pertama adalah kemampuan akal sehat budi manusia yang menjadi sumber dinamika perkembangan ilmu pengetahuan atau epistemologi.

Yang kedua adalah potensi kreatif intuisi manusia yang dengan rasa menjadi oase perkembangan estetika.Yang ketiga rasa religius sebagai kemampuan religiositas rasa manusia yang membuatnya mampu berkontak dengan Sang Pencipta atau Yang Ilahi. Mengapa ketiganya bila ditapaki dengan proses berkeringat dan “berdarah-darah penuh keterlibatan” membuahkan “peradaban”?

Lantaran pembudayaan itu bila dengan sadar dan terarah diperjuangkan demi semakin berharkatnya manusia dan bermarbatnya orang dalam relasi dengan Yang Ilahi, sesama manusia, dan alam semesta, semakin ia menapak dalam proses mencapai keadaban yaitu peradaban. Tiga kemampuan yang ada pada masing-masing pribadi individu manusia ini menjadi sumber dalam peradaban semesta untuk mencari terus-menerus dalam hidup ini mengenai apa yang benar.Yaitu apa yang baik dalam etika dan apa yang indah dalam estetika serta religiositas sebagai kesadaran religius dalam religi.

Perhatian tulisan ini mau mengarah pada “akal sehat”. Mengapa? Karena inilah petunjuk apakah kita di jalan benar dalam rasionalitas, berpikir rasional dalam arti, memakai akal sehat untuk menapaki kehidupan ini.Ada tiga gejala akhir-akhir ini yang amat mengganggu akal sehat kita bersama dan nyaris membuatnya “berhenti”. Gejala pertama, hasil sidang paripurna DPR mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sampai larut malam yang lalu.

Gelora sidang yang memanas dan digiring setelah gagal lobi hanya pada pilihan voting untuk memutuskan setuju atau tidak pada ayat-ayat tambahan di mana kalimat yang satu bertentangan secara logis dengan ayat kalimat yang kedua. Di sini akal sehat berhenti karena logika penalaran tidak dipakai karena yang dipakai adalah gelora desakan penggiringan untuk hanya memilih lewat voting tanpa debat argumentasi akal sehatnya.

Berhentinya akal sehat biasanya baru disadari setelah kontrol akal budi sehabis sidang mengendap dalam hening lalu berpikir dan ternyata “ada kontradiksi dan inkonsistensi dalam jalan pikiran yang dikalimatkan seolah-olah benar itu”. Di sinilah Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tempat meluruskan kembali akal sehat berkonstitusi kita.Hanya sayang sekali, wilayah atau ranah hukum MK sudah menyempit dalam argumentasi apa-apa saja yang diperbolehkan dan dilarang menurut logika konstitusi.

Mengapa akal sehat sampai berhenti di dalam sidang para wakil terhormat ini? Analisis pertama karena tidak sabar dengan proses mufakat untuk sebuah realitas keragaman pikiran dan kemajemukan bangsa ini. Tidakkah disadari mengapa dalam Panca Sila sejak awal pendiri bangsa sudah menimba kebijaksanaan logis kehidupan berbangsa yang majemuk ini dengan mau dan sadar untuk menomorsepuluhkan voting manakala berproses deliberasi menimbang demi kepentingan seluruh bangsa.

Dan akal sehatlah yang harus dipakai untuk menalar bahwa voting selalu akan memenangkan kepentingan kuantitas jumlah suara kuat dan mengalahkan yang kecil. Andaikan logika kehidupan yang dengan akal sehat pertama- tama harus melalui dialog panjang dan debat akal budi argumentasi lalu dengan sabar diambil mufakatnya tidak Anda lakukan untuk salah satu anak Saudara di keluarga ada yang “cacat” atau yang bungsu terhambat karena “disabled”?

Apa yang terjadi? Ketidakadilan lantaran kuantitas suara mayoritas selalu tega untuk “mengalahkan dan mematikan” yang tak kuat, yang kecil, dan yang minoritas. Gejala kedua, berhentinya akal sehat adalah menjamurnya “rasionalisasi”. Apa itu? Rasionalisasi adalah membenar- benarkan sebuah argumentasi atau posisi pikiran dengan alasan yang seakanakan masuk akal, namun intinya “fake” atau palsu.

Karena penalaran yang seolah-olah rasional itu dipakai untuk menyelubungi kepentingan sendiri yang dalam pepatah dikalimatkan gejala ini sebagai “ada udang di balik batu”. Ujian bahwa benar-benar ada kepentingan tersembunyi dengan cepat muncul keluar ketika akal sehat membongkarnya. Seperti catatan kritis para mahasiswa sesudah hasil sidang DPR, mereka teriak di mana-mana bahwa hasil ini adalah kongkalikong antara Aburizal Bakrie (Ical) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbukti dari APBN-P yang asumsinya BBM naik 1 April 2012, tetapi nyatanya tidak naik dan toh dipakai terus sampai hari ini?

Mana akal sehatnya? Terlebih lagi ada pasal bahwa pemerintah harus membayar ganti rugi soal Lumpur Lapindo. Mengapa kok pemerintah? Siapa penyebab bencana lumpur Lapindo? Bagaimana pertanggung jawabannya? Rasionalisasi merupakan keseolah-olahan atau kemasukakalan yang “semu” yang dibentang ke publik untuk membenar-benarkan posisi kekuasaan dengan kepentingannya.

Sesederhana orang yang keliru lidah keceplosan salah ucap atau bicara, yang jujur akan langsung minta maaf dan “fair” mengatakan salah ucap. Sementara yang rasionalisasi akan mengatakan: “Wah, pikiran saya tadi akan bilang kalimat ini, tetapi mulut keluar yang lain, maklumlah sudah lelah rapat berjam-jam.” Gejala ketiga, macetnya akal sehat adalah debat kusir yang dipuncakkan dengan gebrak meja atau protes maju dan teriak-teriak maki-memaki.

Pada zaman republik ini masih menomorsatukan akal sehat dan berargumentasi kita dibuat terpana dalam lembarlembar esai Bung Hatta di Daulat Rakjat ketika mengkritik Bung Karno perihal “persatuan” versus “persatean”. Kita juga dibuat terkagum-kagum lantaran di ranah pikiran mereka bisa tajam sekali berdebat, namun sesudahnya tetap menghormati sebagai sesama pemimpin dan tetap sebagai sahabat atau rekan.

Mengapa kita dengan mudah menuruti hasrat yang ingin memenangkan kepentingan ego dan bukan rasionalitas akal budi yang berani berisiko sabar berproses untuk mufakat? Pertanyaan ini mendasar sekali karena mengandaikan bahwa dengan pendidikan kesadaran rasional atau akal budi, ditanamlah “kontrol akal sehat” pada hasrat-hasrat dan yang serbairasional dalam diri kita.

Di sini pula kita diajak mengingat dalam kesadaran sejarah betapa pendiri bangsa terutama Bung Hatta sudah memberikan jangka panjang prosesnya yaitu melalui “pendidikan kesadaran akal budi” bangsa ini. Untuk apa? Untuk menaklukkan mentalitas minder dan koeli inlander karena penjajahan.

Dalam studi sejarah diuraikan bahwa mentalitas dan budaya digarap dalam “poskolonialisme”, melalui pendidikan menyadari kerendahdirian kita untuk diangkat ke budi kesadaran sehat melalui pendidikan watak dan pencerdasan. Bung Hatta mengalami sekali betapa amat menghancurkan pembuangan di Biven Digoel dan penindasan penghancuran diri di masa pembuangan.

Karena itulah, Bung Hatta memberikan buku sebagai mas kawin melalui Rahmi Hatta untuk kita semua yang masih suka bermental inlander ini dengan buku yang ditulisnya di saat pembuangan dahsyat itu yaitu Alam Pikiran Yunani (Moh Hatta, cetak baru 1980, Tinta Mas). Dalam buku ini seolah Hatta mau menjawab persoalan mendasar bangsa “pernah terjajah” yang berjuang untuk merdeka ini yaitu bagaimana bisa mendidik “diri sendiri” untuk merdeka dari mentalitas budak atau “hamba”dan mentalitas kuli hingga menjadi diri merdeka dengan akal budi sehat dan menjadi rakyat yang berdaulat.

Itu pula sebabnya perjuangan Hatta untuk berakal sehat dia praktikkan sejak di Perhimpunan Indonesia dan bahkan korannya pun dinamai Daulat Rakjat. Detak jantung serta nafas perjuangan untuk menjadi bangsa yang dalam mufakat memakai akal budinya yang sadar dan sehat untuk mengemudikan hasrat, kepentingan, secara kata per kata, dan kalimat per kalimat tertuang dahsyat dalam preambule konstitusi yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Perjalanan peradaban bangsa pada ranah akal sehat memang baru merupakan salah satu dari ketiga kemampuan lainnya untuk mengukurnya. Namun, kerendah-hatian untuk berani berhening diri lagi di tengah hiruk-pikuk dan kegaduhan hasrat kuasa sangat diperlukan. Kerasnya pengedepanan kekuatan maupun jalan-jalan pintas dipilihnya secara marah jalan-jalan kekerasan yang disebabkan oleh krisis paling mendalam dalam berbangsa kita yaitu “distrust” mesti secepatnya dicarikan jalan keluarnya.

Solusi pertama, untuk mengatasi krisis ini adalah dibukanya dialog akal sehat dengan proses sabar untuk jujur membuka kepentingan dan aspirasi. Istana harus membukanya tulus tanpa rumor atau komunikasi remang-remang bocor yang makin mengeruhkan akal sehat bangsa untuk berani dialog terbuka demi kemaslahatan bangsa.

Solusi kedua, setiap wewenang yang berbentuk ke-menterian dan departemennya mesti kembali ke tampilan melayani dengan akal sehat dan bukan main kekuasaan begitu memegang wewenang. Solusi ketiga, mengembalikan rasionalitas akal budi karena setiap sistem atau apa saja yang berwujud struktur merupakan proses mufakat dan deliberasi yang berupa          a rational ordering of life society”.

Sebuah proses berdiskusi dan menimbang secara akal sehat (baca: rasional) untuk mengatur kehidupan bersama bernama masyarakat ini merupakan “sistem” agar hidup bersama sebagai warga lebih baik.Karena itu, penghambat proses peradaban dimulai dengan gejala berhentinya pemakaian akal sehat bahkan dihentikannya budi manusia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar