Sinergi MK
dan MUI
M Nurul Irfan, Saksi Ahli dalam Judicial Review UU
No 1 Tahun 1974,
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 09 April 2012
Sejak
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 17 Februari 2012, tentang status
anak di luar nikah, “perseteruan“
antara MK dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tampaknya belum berakhir. Demikian
luas implikasi putusan MK ini, sebagai saksi ahli dalam judicial review perkara dimaksud, penulis merasa agak “terbebani“ secara moral dengan keputusan
MK yang kontroversial ini.
Pada
Senin, 2 April 2012, dalam sebuah diskusi terbatas di Kantor Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), Wakil Menteri Agama
Prof Dr Nasaruddin Umar sebagai salah seorang narasumber dalam diskusi itu,
antara lain, menyampaikan perlunya segera dibuat peraturan pemerintah (PP).
Tentu saja PP ini akan membawa maslahat jika didahului oleh sebuah penjelasan
MK tentang makna “hubungan perdata“
yang dimaksudkan dalam putusannya.
Pada
mulanya, logika penulis mengatakan bahwa sudah selayaknya jika Kementerian
Agama dan Kementerian PP dan PA mendukung sepenuhnya putusan MK. Tetapi, dalam
diskusi terbatas itu berkembang pembicaraan bahwa untuk segera menyatakan
dukungan, perlu diadakan sebuah ishlah
atau mengompromikan pendapat MK dan MUI.
Hal
ini sangat diperlukan, mengingat kedua lembaga ini sama-sama memiliki dasar
pijakan yang sangat kuat. Terlebih lagi jika mencermati penjelasan pasal 10 UU
No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU
No 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 24 Tahun 2003 yang menyebutkan
bahwa putusan MK bersifat final. Putusan MK langsung memperoleh kekuatan tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
Sifat
final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Penjelasan pasal
inilah yang menuai kritik dari MUI bahwa seolah-olah putusan MK bak firman
Tuhan yang absolut dan tidak bisa diubah. Bahkan, pada saat kritikan ini
mengemuka, MK merasa pihak MUI banyak ngrecokin kebijakan MK. Sebuah ketegangan
pola pikir yang harus segera dilerai agar putusan MK ini banyak membawa
maslahat, bukan mafsadat (kerusakan).
Tawaran Solusi
Takzir adalah jenis hukuman atas tindak
pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang
berwenang menetapkan hukuman). Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan
laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan
harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya. Inilah dua rekomendasi MUI dalam
rangka menawarkan konsep kemaslahatan bagi umat.
Dalam
kaitannya dengan putusan MK, MUI merekomendasikan pula agar pemerintah
berwenang menjatuhkan hukuman takzir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mewajibkannya mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan
memberikan harta setelah ia meninggal dunia melalui wasiat wajibah.
Takzir
bagi bapak biologis dan wasiat wajibah bagi anak yang lahir di luar nikah
akibat perzinaan merupakan solusi yang sangat arif. Hal ini dimaksudkan agar
hak keperdataan anak tetap bisa dipenuhi tanpa menabrak ketentuan baku syariat
Islam.
Konsep
wasiat wajibah ini pada dasarnya
telah disebutkan secara gamblang dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dengan istilah ahli waris pengganti. Yaitu, cucu perempuan yatim yang oleh
Wamenag disebut sebagai anak yang “patah
titian“. Sebab, ia telah ditinggal mati ayah kandungnya dan menurut ilmu fara'id (waris) ia terhalang
paman-pamannya. Padahal, menurut akal sehat, seorang cucu perempaun ini harus
mendapat hak peninggalan dari sang kakek atau nenek. Dalam kasus seperti ini,
di Mesir, Yordania, Aljazair, dan beberapa negeri Muslim lainnya disebut dengan
istilah wasiat wajibah.
Pada
saat MUI merekomendasikan agar anak zina memperoleh jatah harta dari bapak
biologisnya dengan nama wasiat wajibah merupakan sebuah kebijakan hukum baru
yang sangat baik untuk direspons oleh pemerintah.
PP Kata “hubungan perdata“
Idealnya,
Kementerian Agama, Kementerian PP dan PA, Kementerian Hukum dan HAM, serta
Kementerian Dalam Negeri mendukung putusan MK ini. Tetapi, itu sangat sulit dan
dilematis. Terlebih, posisi Kemenag yang di dalamnya banyak para ulama dan
bahkan sengat dekat dengan MUI.
Wamenag
menyatakan bahwa posisinya cukup dilematis, antara setuju mutlak dengan putusan
MK dan atau setuju 100 persen dengan fatwa MUI.
Berkenaan dengan hal ini, penjelasan secara gamblang tentang makna “hubungan perdata“ oleh MK sangat diperlukan dalam rangka penentuan sikap jelas beberapa kementerian sebagai pelaksana undang-undang.
Berkenaan dengan hal ini, penjelasan secara gamblang tentang makna “hubungan perdata“ oleh MK sangat diperlukan dalam rangka penentuan sikap jelas beberapa kementerian sebagai pelaksana undang-undang.
Sebagai
catatan akhir, penulis sampaikan bahwa sebagai saksi ahli dalam judicial review
UU Perkawinan merasa agak sedikit “terbebani“
terkait putusan MK yang menuai pro dan kontra ini. Hal ini perlu penulis
ungkapkan agar tidak terjadi salah persepsi bahwa putusan MK yang mengundang
polemik berkepanjangan ini disebabkan karena informasi dari saksi ahli yang
tidak benar. Barangkali hal mendasar lain yang perlu dijadikan sarana i'tibar (peringatan) bagi MK adalah
bahwa judicial review atas
perkara-perkara pelik terkait hukum keluarga Muslim di Indonesia seyogianya MK
mendengar masukan dari MUI dan ormas Islam.. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar