Senin, 09 April 2012

Menimbang Harga BBM


Menimbang Harga BBM
Marwan Batubara, Indonesian Resources Studies (IRESS)
SUMBER : REPUBLIKA, 09 April 2012



Sidang Paripurna DPR pada Jumat, 30 Maret 2012, memberi wewenang ke pada pemerintah menaik kan harga BBM. Dengan syarat jika Indonesia crude price (ICP) selama enam bulan terakhir naik melebihi 15 persen dari asumsi 105 dolar AS per barel. Artinya, pemerintah dapat menaikkan harga BBM bila rata-rata ICP telah mencapai 121 per barel dolar AS.

Besarnya kenaikan diperkirakan Rp 1.500 per liter. Tetapi, belum diketahui kapan waktunya. Yang jelas, kenaikan itu akan meningkatkan inflasi. Faktanya, meskipun saat ini harga BBM belum naik, harga-harga kebutuhan pokok telah naik dan menimbulkan inflasi pada Maret 2012 sekitar 0,08 persen.

Jika harga BBM naik Rp 1.500, Gubernur BI mengatakan, akan terjadi kenaikan inflasi 2,43 persen sehingga inflasi tahunan 2012 akan menjadi 6,75-6,8 persen. Inflasi yang tinggi jelas akan menambah beban hidup rakyat. Untuk itu, pemerintah telah merencanakan pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17,08 triliun kepada 18,5 juta keluarga miskin (74 juta jiwa).

Kegagalan Pemerintah

Selama tujuh tahun ini, pemerintah gagal menjalankan tugas-tugas kenegaraan sehingga dampak kenaikan harga BBM 2012 semakin berlipat ganda. Sedikitnya ada sembilan kebijakan dan program yang gagal dijalankan.

Pertama, pemerintah gagal mengentaskan kemiskinan. Buktinya, keluarga miskin terus meningkat pada 2005, 2008, dan 2012 yang jumlahnya masing-masing 14 juta, 15,6 juta, dan 18,5 juta sesuai program BLT/BLSM.

Kedua, pemerintah gagal meningkatkan penerimaan pajak. Dari tahun ke tahun, tax ratio (terhadap PDB) Indonesia hanya berkisar pada angka 12 persen (13 persen jika ditambah pajak daerah). Padahal, tax ratio negara ASEAN umumnya lebih tinggi, misalnya, Malaysia 20,17 persen, Singapura 21,4 persen, Brunei 18,8 persen, dan Thailand 17,28 persen.

Ketiga, pemerintah gagal memberantas korupsi sehingga terjadi pemborosan dan perampokan anggaran. Diperkirakan, minimal 20 persen dana APBN yang setiap tahun defisit dan ditutup dengan utang, dikorupsi.

Keempat, pemerintah gagal mereformasi birokrasi. Belanja pegawai dan TNI/Polri terus meningkat, tetapi produktivitas kerja rendah. Fasilitas dan perjalanan dinas terus meningkat seiring dengan pemborosan anggaran.

Kelima, pemerintah gagal menyediakan sistem transportasi publik yang memadai. Rencana pembangunan sistem transportasi publik dan komitmen pelaksanaan pun suram. Dengan begitu, penggunaan mobil pribadi dan motor terus meningkat sehingga terjadi pemborosan energi dan polusi secara massal.

Keenam, pemerintah gagal mewujudkan program konversi BBM ke BBG, meskipun telah dicanangkan sejak 1996 dan diperbarui pada 2006. Jangankan bertambah, justru jumlah kendaraan pengguna BBG berkurang dari 3.000an pada 2000 menjadi 2.000-an pada 2010.

Ketujuh, pemerintah gagal menyediakan infrastruktur yang memadai guna mendukung kegiatan ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan rakyat untuk memperoleh penghasilan atau meningkatkan kesejahteraan.

Kedelapan, pemerintah gagal merevisi UU Migas No 22/2001. Padahal, UU ini sangat merugikan, merupakan reinkarnasi UU kolonial Indische Mijn Wet 1899, dan dibuat di bawah tekanan IMF dan Bank Dunia saat krisis 1998.
Akibatnya, sektor migas dikuasai asing, cadangan terus berkurang dan ketahanan energi nasional terancam.

Kesembilan, pemerintah gagal menjalankan amanat konstitusi. Pasal 28 Ayat 2 UU Migas yang mengatur harga BBM dilepas ke mekanisme pasar telah ditolak MK. Pemerintah tidak menggubris putusan MK dan melalui Pasal 72 Ayat (2) PP No 36/2004 memberlakukan penjualan Pertamax sesuai harga pasar. Hal ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan merupakan kebijakan yang harus diproses lebih lanjut oleh MPR sesuai Pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Kelayakan BLSM

Anggaran BLSM hingga Rp 17,08 triliun sangat berlebihan dan perlu diuji kelayakannya. Untuk itu diperbandingkan data-data inflasi, keluarga miskin, dan besar BLSM/BLT yang dibayarkan pada kenaikan BBM 2005, 2008, dan 2012. Diasumsikan untuk 2012 ini harga BBM naik 33 persen menjadi Rp 6.000 dan sesuai BI inflasi tahunan naik menjadi tujuh persen.

Pada 2005, kenaikan BBM sebesar 87 persen menyebabkan inflasi 17 persen, keluarga miskin penerima BLT 14 juta dan anggaran BLT Rp 16,8 triliun. Pada 2008, kenaikan BBM 33 persen, inflasi 11 persen, jumlah keluarga miskin 15,6 juta, dan anggaran BLT Rp 4,9 triliun. Pada 2012, diperkirakan kenaikan harga BBM 33 persen, inflasi delapan persen, jumlah keluarga miskin 18,5 juta, dan BLSM mencapai Rp 17,08 triliun.

Dari data-data tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk miskin pada ketiga momen kenaikan BBM (2005, 2008 dan 2012) terus meningkat masing-masing 14 juta, 15,6 juta, dan 18,5 juta keluarga. Penurunan BLT dari Rp 15,6 triliun (2005) menjadi Rp 4,9 triliun (2008) cukup wajar karena inflasi pada kedua momen juga menurun dari 17 persen menjadi 11 persen.

Namun, untuk 2012, jika dibanding dengan 2008, jumlah BLSM Rp 17,08 triliun menjadi sangat berlebihan. Tingkat inflasi 2012 diperkirakan menjadi tujuh persen, lebih rendah dibanding inflasi 2008 yang besarnya 11 persen. Tapi, BLSM 2012 justru naik 3,5 kali lipat dibanding BLT 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar