Sabtu, 07 April 2012

Sikap Seniman terhadap Alam dan Masyarakat


Sikap Seniman terhadap Alam dan Masyarakat
Restoe Prawironegoro Ibrahim, Seniman
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 07 April 2012



SIKAP objektif seni man terhadap alam dan masyarakat ialah adanya bukti tindak kebudayaan yang mengalir dari ciptaannya. Tindakan kebudayaan itu sebaiknya tak perlu diuraikan sebagai suatu kerangka pengetahuan ilmiah, sebab sering dipengaruhi pandangan empiris sederhana. Fakta-fakta tidaklah mengorganisasi diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Sesungguhnya, kecuali dalam kerangka gagasan-gagasan dan teori-teori, tidak akan ada fakta-fakta ilmiah kecuali hanya kekacauan.

Terdapat suatu unsur apriori yang tak dapat dielakkan dalam semua usaha menguraikan secara ilmiah. Soalsoal apakah kebudayaan harus dipertanyakan sebelum jawaban-jawaban diberikan, itu pada dasarnya merupakan penilaian juga. Jadi, penilaianpenilaian dengan sendirinya ada pada tahap ketika kita mengamati fakta-fakta dan melakukan analisis teoretis dan bukan hanya pada tahap ketika kita menarik kesimpulan-kesimpulan empiris dari fakta-fakta dan penilaianpenilaian.

Tindak kebudayaan tiada lain ialah tindak akal sehat yang bertaktik-taktik (sophisticated common sense) dan itu sangat berguna bagi kita untuk memulai pembahasan dengan mencoba memberi corak pada pandangan para seniman atau budayawan ketika mereka membentuk pengertian-pengertian tentang kebudayaan itu sendiri, baik lewat karya maupun pandangan-pandangannya. Mereka pada umumnya berkehendak untuk menjadi orisinal dan memiliki penalaran dalam mengartikan dan memberi reaksi terhadap kenyataan alam dan kemasyarakatan yang mengelilingi.

Terdapat dua macam konsepsi tentang kenyataan yang mereka anut; dalam bentuknya yang murni sebagai kepercayaan (belief) dan `penilaian' (valuation). Kepercayaan dan penilaian itu selanjutnya bercampur dalam pendapat (opinion) mereka. Walau pun tak ada batas yang jelas dan tegas di antara kedua macam konsepsi tersebut dalam proses mental manusia, itu berguna bagi pembahasan ini untuk membedakan keduanya karena pengertian logis di antara keduanya pun berbeda.

Penilaian diberi tanda kutip. Itu untuk mengelakkan istilah `nilai' yang begitu terkenal dalam semua pembicaraan kebudayaan. Penggunaan istilah `nilai' secara umum mengundang kekacauan dalam pengertian di antara penilaian-penilaian dalam arti subjektif--sasaran penilaianpenilaian tersebut dengan seluruh keadaan objektif. Penggunaan istilah `nilai', khususnya dalam pembicaraan-pembicaraan kebudayaan, biasan ya mengandung ketentuan nilai yang tersembunyi, yakni suatu `nilai' co ipse: bernilai dalam beberapa pengertian yang objektif. Itu berarti suatu pandangan yang memihak kepada bentuk laissez faire. Istilah `nilai' akhirnya menunjuk suatu yang utuh, seragam, dan mantap, sedangkan dalam kenyataannya penilaian bersifat berbenturan dan tidak mantap--khususnya dalam masyarakat modern saat ini.

Kepercayaan seseorang menuntut adanya pengetahuan. Konsekuensinya, ia harus selalu bisa menilai kebenaran dari kepercayaan itu dengan mengenakan ukuran apakah itu benar atau salah, dan dalam hal salah, dengan mengukur beberapa jauh, bagaimanakah arah penyimpan gan dari kebenaran.

Oportunis

Dalam kehidupan, perbuatan, pemikiran, dan pembicaraan sehari-hari, seseorang akan memusatkan perhatiannya pada penilaian-penilaian tentang kepribadian moralnya di satu pihak, sambil membiarkan penilaian-penilaian yang sering berselisih berlalu di pihak lain. Dasar dari pemusatan yang selektif semacam itu jelas bersifat oportunis.

Kita makhluk yang tidak sempurna dan sangat sering penilaian yang lebih tinggi disingkirkan ke belakang dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian itu disimpan untuk dinyatakan dalam saat-saat yang lebih bersifat upacara atau dengan satu dan lain cara dikucilkan dari hidup sehari-hari, di saat penilaian-penilaian yang `lebih rendah' sering kali menonjol. Ini faktual.

Risiko dari fakta semacam itu mem buat kita tak mam pu bersikap objektif. Seniman pun tak bakal mungkin melahirkan karya orisinal karena ientasi moralnya secara orientasi moralnya secara tak sadar tidak mengarah ke situ, tapi kepada tujuantujuan lain yang lebih bersifat `aneh'. Dengan demikian, permasalah an menjadi sangat jelas, bahwa orisinalitas dalam kesenian hanya dapat dicapai bila seniman memiliki kejujuran dalam menanggapi, menyerap, dan menyampaikan penilaiannya tanpa diganduli minat-minat di luar cita-cita mengungkapkan penilaian objektifnya itu. Inilah inti tindak kebudayaan.

Inti tindak kebudayaan ialah sikap mandiri dalam mengarungi proses elan vital manusia. Bagi seniman, itu diartikan sebagai tindak yang meloloskan kehendak-kehendak di luar orientasi untuk berorientasi tadi. Kemencengan sikap untuk meraih kebutuhan-kebutuhan (pamrih) lain di luar tindak kebu dayaan akan mendorongnya untuk berbalik menjadi oportunistis. Secara nyata, itu bisa dilihat dari beberapa seniman yang tak mampu eksis, kendati ia telah `merasa' melakukan tindak kebudayaan yang besar. Ia hanya berpurapura bersikap kritis terhadap realisme.

Realisme ialah suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu sikap objektif terhadap realitas alam dan sosial--padahal nyatanya cuma kamuflase doang. Ia sering berkoar tentang adanya sistem kemasyarakatan yang rusak, tentang ekosistem alam yang terancam, tapi di belakang berkoar itu tersungging hasrat-hasrat pribadi yang menggelikan.

Kita tahu pembohongan semacam itu melahirkan kemencengan lain dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat merasakannya sebagai hasil dari perjuangan murni dari manusia yang dipujikan, `nilai' yang begitu terkenal dalam pembicaraan kebudayaan mendadak menjadi penting untuk diperhatikan. Padahal, `nilai' itu sendiri sebenarnya nol, kosong, akrobat, gombal. Masyarakat jadi terkecoh, si seniman dielu-elukan! Besar kepalanya.
Ia pun berpetualang.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar