Sabtu, 07 April 2012

Banyak yang tidak Layak Masuk Penjara


Banyak yang tidak Layak Masuk Penjara
Baharuddin Aritonang, Pengamat Sosial
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 07 April 2012



Penyelesaian kelebihan kapasitas di penjara ini akan mencakup aspek yang luas, terutama melalui penataan kehidupan masyarakat dan sistem hukum di masyarakat."

MEMBAHAS penjara tidak bakal ada habis-habis nya. Pemahaman kita tentang penjara pun mungkin tidak pernah sama. Namanya saja berubah-ubah, dari penjara sampai lembaga pemasyarakatan. Begitu juga nama penghuninya, bila dahulu narapidana, kini berubah menjadi warga binaan.

Persepsi kita terhadap keadaan di penjara pun bisa bermacam-macam. Tambahan pula, sebagian anggota masyarakat suka menonton film tentang keadaan penjara di negara lain. Misalnya, penghuni baru diuji dulu kejagoannya.
 
Dengan begitu, dia bisa dikelompokkan, menjadi jagoan atau sekadar pesuruh. Tak jarang terjadi perlakuan yang tidak senonoh.

Untungnya saya sudah dua kali mengalami kehidupan di tahanan. Rumah tahanan (rutan) untuk mereka yang belum diputus perkaranya (inkracht).
Untuk yang sudah inkracht, tempatnya di lembaga pemasyarakatan (LP). Yang per tama, saya menjadi penghuni tahanan `militer' tatkala masih menjadi mahasiswa. 

Yang kedua, dalam kasus `cek Miranda' ditahan di rutan negara. Ketika pertama kali masuk Rutan Salemba di Jakarta, persoalan utama yang saya lihat dalam penjara itu ialah kapasitasnya yang tidak sebanding dengan jumlah tahanan. Anda bisa bayangkan kapasitasnya 900 orang diisi sekitar 3.000 orang tahanan. Artinya, itu lebih dari tiga kali jumlah yang semestinya. Ke mana kita melangkah akan ketemu manusia. Akibatnya, banyak hal yang bisa terjadi.

Tentang daya tampung tahanan tersebut, Media Indonesia pada Minggu 26 Februari 2012 melaporkan berbagai penjara di Tanah Air. Kelebihan kapasitas penjara itu umumnya berada di atas 200%. Di Jakarta, misalnya, mencapai 236%, di Riau 248%, bahkan di Kalimantan Selatan mencapai 264%. Memang ada juga LP yang mengalami kekurangan penghuni. Misalnya di DIY hanya mencapai 78%, bahkan di Maluku Utara hanya 38% dari kapasitas yang tersedia. Mungkin di kota-kota kecil M kapasitasnya juga rendah. Nak mun fasilitas yang tersedia juga terbatas.

Secara teknis, kelebihan daya tampung penjara-penjara tersebut mungkin dapat disiasati dengan membagi para warga binaan ke berbagai penjara (LP) yang penghuninya berada di bawah kapasitas sebenarnya. Tampaknya itu pulalah yang dilakukan pemerintah dengan memindahkan 1.900 narapidana dari Jakarta ke beberapa daerah (lihat Kompas, 26 Maret 2012). Di samping itu, dengan mengalihkan para warga binaan kasus penggunaan narkoba untuk menjalani rehabilitasi saja. Secara khusus, penghuni penjara akibat kasus narkoba itu memang perlu dibahas tersendiri.

Anda bisa bayangkan, bila ada sekitar 80% penghuni Rutan Salemba menyangkut kasus narkoba, baik sebagai pengguna maupun sebagai pengedar. Setelah di Rutan Salemba, saya baru tahu pengguna narkoba, termasuk psikotropika, bisa diganjar 4 tahun penjara. Padahal, mereka sesungguhnya merupakan korban juga. Penghuni awal yang saya kenal di situ adalah empat mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat yang terjaring ketika berpesta barang haram itu. Padahal, mereka tinggal menyelesaikan skripsi. Apakah mereka tidak cukup diberi peringatan keras dan dipantau dengan baik? Penerapan UU Narkotika dan UU Psikotropika itu tampaknya terlalu kaku. Keras terhadap pengguna, tetapi `lembek' terhadap para pengedar, bahkan kepada para pembuatnya.

Penyiapan Perangkat

Sesungguhnya penyelesaian masalah penjara ini menyangkut aspek yang luas. Itu bahkan tidak sekadar manajemen penjara dan narapidana, tetapi juga menyangkut aspek hukum secara luas. Di antaranya, penyiapan perangkat peraturan perundang-undangan yang di samping untuk menegakkan hukum, sekaligus memenuhi rasa keadilan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara konsisten, termasuk di lingkungan peradilan.

Saya merasakan sendiri lemahnya peradilan di Indonesia. Ketidakadilan itu diberlakukan kepada saya. Itu pula yang dikatakan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, lembaga yang memenjarakan saya. “Tidak semua yang dipenjara bersalah!“ ucapnya tatkala diwawancarai Media Indonesia pada 11 Maret 2012. Keadaan seperti itu baru kita sadari kalau kita mengalaminya sendiri.

Karena itu, betul sekali yang dikemukakan seorang anggota DPR tatkala persoalan remisi dan pembebasan bersyarat ramai dibicarakan, yang penting sesungguhnya bagaimana menegakkan hukum dengan baik. Menindak orang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah, bukan hukum yang dipaksakan atau penerapan hukum karena tekanan publik yang tidak objektif.

Kalau Anda punya kesempatan untuk menginap di lembaga pemasyarakatan dan mendalami kasus-kasus yang dihadapi para narapidana, penerapan hukum yang tidak adil itu pulalah yang dapat kita temui. Seorang teman saya ditahan hampir 2 tahun karena tertangkap memperdagangkan CD porno di saat razia di daerah kota. Padahal, orang menonton video porno lumrah ditemukan di mana-mana. Warnet laku karena bisnis tersebut. Bahkan ada anggota DPR yang tertangkap kamera televisi sedang menikmati gambar-gambar syur itu tatkala mengikuti sidang.
Lain lagi dengan cerita dua orang narapidana yang saya temui di masjid rutan. Mereka ditahan karena tertangkap bermain judi di daerah Kemayoran. Taruhan mereka antara Rp1.000 dan Rp5.000. Padahal, orang bermain judi dengan mudah kita temukan di mana-mana, termasuk di kalangan petugas yang menangkap mereka. Juga, di rutan itu sendiri. Kenapa mereka tidak diwajibkan melapor saja sehingga penghuni rutan itu akan berkurang dua orang?

Contoh di masyarakat lebih banyak lagi. Yang terakhir kasus anak remaja yang mencuri sandal jepit seorang polisi di Sulawesi Tengah. Juga, kasus Nenek Rasminah. Dan masih banyak yang lainnya. Kenapa muncul kasus-kasus yang tidak layak itu? Karena para penegak hukum mencari-cari kesalahan agar mereka yang tidak layak itu dimasukkan juga ke penjara. Para penegak hukum sering dinilai berhasil kalau mampu menangkap orang dan membawanya ke pengadilan. Mereka pula yang dapat menyelesaikannya melalui 86 alias sogok-menyogok sehingga tidak perlu masuk penjara.

Banyak sekali kasus tidak layak itu yang saya temui di dalam rutan. Bahkan kalau Anda baca buku saya, Cek Miranda dan Korban-korbannya (PP, 2012), saya pernah berucap kepada teman-teman di rutan itu, kalaulah saya memiliki kekuasaan yang mampu melakukannya, saya akan bebaskan kalian semua. “Karena saya tahu, di luar sana jauh banyak orang yang lebih jahat,“ tambah saya. Mereka tertawa, bisa jadi mereka menganggap saya bergurau. Yang jelas, mereka senang.

Karena itu, penyelesaian ke lebihan kapasitas di penjara ini akan mencakup aspek yang luas, terutama melalui penataan kehidupan masyarakat dan sistem hukum di masyarakat. Lagi pula penjara hanyalah salah satu perangkat dalam penegakan hukum. Jika aspek lain tidak diselesaikan, percuma kita melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke penjara. Juga, percuma setiap kali mengganti kepala penjara atau kepala pengamanannya kalau terjadi keributan. Persoalan di penjara merupakan dampak dari persoalan di masyarakat secara keseluruhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar