Banyak yang
tidak Layak Masuk Penjara
Baharuddin Aritonang, Pengamat
Sosial
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 07 April 2012
“Penyelesaian kelebihan kapasitas di penjara ini akan
mencakup aspek yang luas, terutama melalui penataan kehidupan masyarakat dan
sistem hukum di masyarakat."
MEMBAHAS
penjara tidak bakal ada habis-habis nya. Pemahaman kita tentang penjara pun
mungkin tidak pernah sama. Namanya saja berubah-ubah, dari penjara sampai
lembaga pemasyarakatan. Begitu juga nama penghuninya, bila dahulu narapidana,
kini berubah menjadi warga binaan.
Persepsi
kita terhadap keadaan di penjara pun bisa bermacam-macam. Tambahan pula,
sebagian anggota masyarakat suka menonton film tentang keadaan penjara di
negara lain. Misalnya, penghuni baru diuji dulu kejagoannya.
Dengan begitu, dia bisa dikelompokkan, menjadi jagoan atau sekadar pesuruh. Tak
jarang terjadi perlakuan yang tidak senonoh.
Untungnya
saya sudah dua kali mengalami kehidupan di tahanan. Rumah tahanan (rutan) untuk
mereka yang belum diputus perkaranya (inkracht).
Untuk yang sudah inkracht, tempatnya di lembaga pemasyarakatan (LP). Yang per tama, saya menjadi penghuni tahanan `militer' tatkala masih menjadi mahasiswa.
Untuk yang sudah inkracht, tempatnya di lembaga pemasyarakatan (LP). Yang per tama, saya menjadi penghuni tahanan `militer' tatkala masih menjadi mahasiswa.
Yang kedua, dalam kasus `cek
Miranda' ditahan di rutan negara. Ketika
pertama kali masuk Rutan Salemba di Jakarta, persoalan utama yang saya lihat
dalam penjara itu ialah kapasitasnya yang tidak sebanding dengan jumlah
tahanan. Anda bisa bayangkan kapasitasnya 900 orang diisi sekitar 3.000 orang tahanan.
Artinya, itu lebih dari tiga kali jumlah yang semestinya. Ke mana kita
melangkah akan ketemu manusia. Akibatnya, banyak hal yang bisa terjadi.
Tentang
daya tampung tahanan tersebut, Media Indonesia pada Minggu 26 Februari 2012
melaporkan berbagai penjara di Tanah Air. Kelebihan kapasitas penjara itu
umumnya berada di atas 200%. Di Jakarta, misalnya, mencapai 236%, di Riau 248%,
bahkan di Kalimantan Selatan mencapai 264%. Memang ada juga LP yang mengalami
kekurangan penghuni. Misalnya di DIY hanya mencapai 78%, bahkan di Maluku Utara
hanya 38% dari kapasitas yang tersedia. Mungkin di kota-kota kecil M
kapasitasnya juga rendah. Nak mun fasilitas yang tersedia juga terbatas.
Secara
teknis, kelebihan daya tampung penjara-penjara tersebut mungkin dapat disiasati
dengan membagi para warga binaan ke berbagai penjara (LP) yang penghuninya
berada di bawah kapasitas sebenarnya. Tampaknya itu pulalah yang dilakukan
pemerintah dengan memindahkan 1.900 narapidana dari Jakarta ke beberapa daerah
(lihat Kompas, 26 Maret 2012). Di samping itu, dengan mengalihkan para warga
binaan kasus penggunaan narkoba untuk menjalani rehabilitasi saja. Secara
khusus, penghuni penjara akibat kasus narkoba itu memang perlu dibahas
tersendiri.
Anda
bisa bayangkan, bila ada sekitar 80% penghuni Rutan Salemba menyangkut kasus
narkoba, baik sebagai pengguna maupun sebagai pengedar. Setelah di Rutan
Salemba, saya baru tahu pengguna narkoba, termasuk psikotropika, bisa diganjar
4 tahun penjara. Padahal, mereka sesungguhnya merupakan korban juga. Penghuni
awal yang saya kenal di situ adalah empat mahasiswa perguruan tinggi swasta di
Jakarta Barat yang terjaring ketika berpesta barang haram itu. Padahal, mereka
tinggal menyelesaikan skripsi. Apakah mereka tidak cukup diberi peringatan keras
dan dipantau dengan baik? Penerapan UU Narkotika dan UU Psikotropika itu
tampaknya terlalu kaku. Keras terhadap pengguna, tetapi `lembek' terhadap para pengedar, bahkan kepada para pembuatnya.
Penyiapan Perangkat
Sesungguhnya
penyelesaian masalah penjara ini menyangkut aspek yang luas. Itu bahkan tidak
sekadar manajemen penjara dan narapidana, tetapi juga menyangkut aspek hukum
secara luas. Di antaranya, penyiapan perangkat peraturan perundang-undangan
yang di samping untuk menegakkan hukum, sekaligus memenuhi rasa keadilan.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara konsisten, termasuk di lingkungan
peradilan.
Saya
merasakan sendiri lemahnya peradilan di Indonesia. Ketidakadilan itu
diberlakukan kepada saya. Itu pula yang dikatakan Antasari Azhar, mantan Ketua
KPK, lembaga yang memenjarakan saya. “Tidak
semua yang dipenjara bersalah!“ ucapnya tatkala diwawancarai Media
Indonesia pada 11 Maret 2012. Keadaan seperti itu baru kita sadari kalau kita
mengalaminya sendiri.
Karena
itu, betul sekali yang dikemukakan seorang anggota DPR tatkala persoalan remisi
dan pembebasan bersyarat ramai dibicarakan, yang penting sesungguhnya bagaimana
menegakkan hukum dengan baik. Menindak orang bersalah dan membebaskan orang
yang tidak bersalah, bukan hukum yang dipaksakan atau penerapan hukum karena
tekanan publik yang tidak objektif.
Kalau
Anda punya kesempatan untuk menginap di lembaga pemasyarakatan dan mendalami
kasus-kasus yang dihadapi para narapidana, penerapan hukum yang tidak adil itu
pulalah yang dapat kita temui. Seorang teman saya ditahan hampir 2 tahun karena
tertangkap memperdagangkan CD porno di saat razia di daerah kota. Padahal,
orang menonton video porno lumrah ditemukan di mana-mana. Warnet laku karena
bisnis tersebut. Bahkan ada anggota DPR yang tertangkap kamera televisi sedang
menikmati gambar-gambar syur itu tatkala mengikuti sidang.
Lain
lagi dengan cerita dua orang narapidana yang saya temui di masjid rutan. Mereka
ditahan karena tertangkap bermain judi di daerah Kemayoran. Taruhan mereka
antara Rp1.000 dan Rp5.000. Padahal, orang bermain judi dengan mudah kita
temukan di mana-mana, termasuk di kalangan petugas yang menangkap mereka. Juga,
di rutan itu sendiri. Kenapa mereka tidak diwajibkan melapor saja sehingga
penghuni rutan itu akan berkurang dua orang?
Contoh
di masyarakat lebih banyak lagi. Yang terakhir kasus anak remaja yang mencuri
sandal jepit seorang polisi di Sulawesi Tengah. Juga, kasus Nenek Rasminah. Dan
masih banyak yang lainnya. Kenapa muncul kasus-kasus yang tidak layak itu?
Karena para penegak hukum mencari-cari kesalahan agar mereka yang tidak layak
itu dimasukkan juga ke penjara. Para penegak hukum sering dinilai berhasil
kalau mampu menangkap orang dan membawanya ke pengadilan. Mereka pula yang
dapat menyelesaikannya melalui 86 alias sogok-menyogok sehingga tidak perlu
masuk penjara.
Banyak
sekali kasus tidak layak itu yang saya temui di dalam rutan. Bahkan kalau Anda
baca buku saya, Cek Miranda dan Korban-korbannya (PP, 2012), saya pernah
berucap kepada teman-teman di rutan itu, kalaulah saya memiliki kekuasaan yang
mampu melakukannya, saya akan bebaskan kalian semua. “Karena saya tahu, di luar sana jauh banyak orang yang lebih jahat,“
tambah saya. Mereka tertawa, bisa jadi mereka menganggap saya bergurau. Yang
jelas, mereka senang.
Karena itu, penyelesaian ke lebihan kapasitas
di penjara ini akan mencakup aspek yang luas, terutama melalui penataan
kehidupan masyarakat dan sistem hukum di masyarakat. Lagi pula penjara hanyalah
salah satu perangkat dalam penegakan hukum. Jika aspek lain tidak diselesaikan,
percuma kita melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke penjara. Juga, percuma
setiap kali mengganti kepala penjara atau kepala pengamanannya kalau terjadi
keributan. Persoalan di penjara merupakan dampak dari persoalan di masyarakat
secara keseluruhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar