Kamis, 19 April 2012

Sengkarut Dana Politik


Sengkarut Dana Politik
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 18 April 2012



Pemilihan umum menjadi satu-satunya pintu masuk terbangunnya relasi kekuasaan dengan perilaku koruptif. Partai politik tentu saja menjadi aktor utama dalam kontestasi demokrasi tersebut, termasuk sebagai aktor utama yang memicu dan melanggengkan praktek korupsi. Korupsi sejatinya memang berakar dari buruknya pengelolaan kehidupan politik. Partai politik sebagai agregator dan akselerator kehidupan politik yang demokratis dan berbasis kesejahteraan publik justru menjadi predator yang memasung kehidupan politik itu sendiri.

Partai politik memang ditakdirkan sebagai instrumen untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politik. Sejalan dengan peran tersebut, Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya, II Principle, mengungkapkan, untuk mencapai tujuan politik tersebut, penguasa dapat berbuat apa pun asalkan tujuannya tercapai.

Machiavelli mengembangkan ajaran dengan apa yang disebut dengan het doel heiligt de middelen (menghalalkan segala cara), bahkan dalam kondisi tertentu penguasa dapat mengesampingkan kepentingan individu. Fenomena perebutan kekuasaan politik di Indonesia telah menggambarkan ajaran Machiavelli ini. Ajaran yang sesungguhnya bertentangan dengan ideologi demokrasi yang sesungguhnya.

Mesin Korupsi

Aktivitas di kalangan internal partai politik belakangan menjadi pemicu terungkapnya kasus korupsi yang diduga melibatkan banyak aktor. Kongres Partai Demokrat menjadi salah satu contoh yang paling konkret saat ini. Setelah terungkapnya suap di lingkup internal Partai Demokrat tersebut telah memicu munculnya kecurigaan terhadap sumber uang yang digunakan dalam aktivitas tersebut. Perebutan kekuasaan ternyata telah dimulai di tingkat internal dengan "mengamalkan" ajaran Machiavelli, menghalalkan segala cara, termasuk politik uang, untuk memenangi tampuk kekuasaan di partai politik.

Ini tentu saja menjadi pertanda buruk bagi pengelolaan dana politik, baik dari sisi pendanaan partai maupun kampanye pemilu. Sebagai aktivitas partai, pendanaan kongres seharusnya menjadi bagian dari pelaporan keuangan partai politik. Namun, faktanya, ada pendanaan siluman, yang tentu saja lemah akuntabilitasnya.

Dari sisi jumlah, partai politik memang mengalami perkembangan yang luar biasa sejak bergulirnya reformasi. Namun, dalam konteks akuntabilitas dan transparansi partai, hampir bisa dipastikan tidak ada perubahan, atau bahkan bisa dianggap mengalami kemunduran. Hal ini tidak terlepas dari minimnya pengaturan dana politik, baik yang berkaitan dengan pendanaan partai politik maupun pendanaan kampanye.

UU Partai Politik mengatur terlalu sumir soal sumber pendanaan partai dan pertanggungjawabannya. Ada ruang yang sengaja dibiarkan kosong dan tidak diatur. Misalnya tentang batasan sumber pendanaan, undang-undang tidak secara spesifik mengatur pembatasan jumlah sumbangan yang berasal dari individu anggota partai politik.

Hal yang sama juga terjadi dalam kaitannya dengan akuntabilitas pendanaan partai, laporan keuangan dianggap sebagai barang tabu dan rahasia. Walhasil, semua aktivitas partai dan pendanaannya tertutup bagi publik. Terbukti dalam uji keterbukaan informasi terhadap laporan keuangan partai politik yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Transparency International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch, memperlihatkan partai belum mau terbuka soal laporan keuangannya.

Sejumlah partai politik memang telah mulai menyajikan laporan keuangan partainya sebagaimana yang diwajibkan undang-undang. Namun hasilnya selalu saja tidak memenuhi kualitas atau standar akuntansi laporan keuangan partai politik yang telah ditetapkan (Koran Tempo, 5 April 2012). Buruknya pengelolaan keuangan partai ini bisa disandingkan dengan fakta setelah terungkap adanya aliran uang hingga miliaran rupiah untuk pemenangan calon tertentu dalam Kongres Demokrat. Seharusnya menjadi catatan partai untuk melakukan pembenahan dalam setiap kegiatan dan pengelolaan keuangannya. Tentu saja ini juga berlaku bagi semua partai politik.

Di sisi lain juga patut diwaspadai partai politik berpotensi besar menjadi tempat yang paling aman untuk melakukan pencucian uang (money laundering). Membiayai kegiatan partai yang bermasalah akuntabilitasnya adalah ruang yang bisa digunakan untuk menyamarkan sumber uang.

Fakta persidangan atas kasus yang melibatkan Nazaruddin jelas mengungkap sumber pembiayaan pemenangan calon tertentu dalam Kongres Demokrat yang diduga berasal dari beberapa proyek pemerintah, sebut saja proyek Wisma Atlet dan Hambalang. Bahkan bukan tidak mungkin sumber pembiayaan ilegal ini tidak hanya berasal dari APBN, tapi juga dari aktivitas kejahatan lainnya. Sebut saja perdagangan narkoba hingga aktivitas pembalakan liar.

Uang dan Politik

Relasi uang dan politik memang tidak bisa dipisahkan, keduanya punya keterkaitan yang saling melengkapi. Dalam politik memang diperlukan uang, tapi uang tentu bukanlah segalanya dalam politik. Jika uang justru digunakan untuk membeli kepercayaan, pada titik itulah politik (kekuasaan) akan digunakan untuk mendapatkan keuntungan (uang) dari pendanaan publik.

Di negara yang kualitas demokrasinya sangat mapan, seperti Jerman, pendanaan partai politik ataupun pendanaan kampanye bersumber dari publik, dan itu dilakukan secara terbuka. Hal ini berimplikasi secara langsung terhadap transparansi dan akuntabilitas partai. Maka, dengan sendirinya tingkat partisipasi politik publik terhadap proses politik akan semakin baik.

Hal yang sama tidak akan pernah terjadi jika partai dibiayai dari sumber-sumber yang tidak sah, misalnya dari hasil korupsi. Implikasinya tentu saja terlihat dari ketertutupan pengelolaan keuangan partai karena memang dibiayai dari sumber pendanaan yang ilegal. Partai politik pada akhirnya hanya akan menjadi alat bagi pemodal untuk mengeruk keuntungan dari pendanaan publik. Di sinilah partai justru menjadi mesin korupsi yang paling ganas hanya karena dikooptasi oleh pendanaan ilegal.

Pada masa mendatang, sengkarut dana politik ini harus menjadi prioritas tidak hanya dari sisi perbaikan regulasi, tapi partai politik sendiri secara institusi hendaknya sudah harus melakukan pembenahan terhadap sumber-sumber dan akuntabilitas terhadap sumber pendanaannya. Jika tidak, apatisme publik terhadap partai politik akan menjadi ancaman yang sangat serius terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar