Sengkarut
Dana Politik
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency
International Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 18 April 2012
Pemilihan umum menjadi satu-satunya pintu
masuk terbangunnya relasi kekuasaan dengan perilaku koruptif. Partai politik
tentu saja menjadi aktor utama dalam kontestasi demokrasi tersebut, termasuk
sebagai aktor utama yang memicu dan melanggengkan praktek korupsi. Korupsi sejatinya
memang berakar dari buruknya pengelolaan kehidupan politik. Partai politik
sebagai agregator dan akselerator kehidupan politik yang demokratis dan
berbasis kesejahteraan publik justru menjadi predator yang memasung kehidupan
politik itu sendiri.
Partai politik memang ditakdirkan sebagai
instrumen untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politik. Sejalan dengan
peran tersebut, Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya, II Principle,
mengungkapkan, untuk mencapai tujuan politik tersebut, penguasa dapat berbuat
apa pun asalkan tujuannya tercapai.
Machiavelli mengembangkan ajaran dengan apa
yang disebut dengan het doel heiligt de middelen (menghalalkan segala
cara), bahkan dalam kondisi tertentu penguasa dapat mengesampingkan kepentingan
individu. Fenomena perebutan kekuasaan politik di Indonesia telah menggambarkan
ajaran Machiavelli ini. Ajaran yang sesungguhnya bertentangan dengan ideologi
demokrasi yang sesungguhnya.
Mesin Korupsi
Aktivitas di kalangan internal partai politik
belakangan menjadi pemicu terungkapnya kasus korupsi yang diduga melibatkan
banyak aktor. Kongres Partai Demokrat menjadi salah satu contoh yang paling
konkret saat ini. Setelah terungkapnya suap di lingkup internal Partai Demokrat
tersebut telah memicu munculnya kecurigaan terhadap sumber uang yang digunakan
dalam aktivitas tersebut. Perebutan kekuasaan ternyata telah dimulai di tingkat
internal dengan "mengamalkan" ajaran Machiavelli, menghalalkan segala
cara, termasuk politik uang, untuk memenangi tampuk kekuasaan di partai
politik.
Ini tentu saja menjadi pertanda buruk bagi
pengelolaan dana politik, baik dari sisi pendanaan partai maupun kampanye
pemilu. Sebagai aktivitas partai, pendanaan kongres seharusnya menjadi bagian
dari pelaporan keuangan partai politik. Namun, faktanya, ada pendanaan siluman,
yang tentu saja lemah akuntabilitasnya.
Dari sisi jumlah, partai politik memang
mengalami perkembangan yang luar biasa sejak bergulirnya reformasi. Namun,
dalam konteks akuntabilitas dan transparansi partai, hampir bisa dipastikan
tidak ada perubahan, atau bahkan bisa dianggap mengalami kemunduran. Hal ini
tidak terlepas dari minimnya pengaturan dana politik, baik yang berkaitan
dengan pendanaan partai politik maupun pendanaan kampanye.
UU Partai Politik mengatur terlalu sumir soal
sumber pendanaan partai dan pertanggungjawabannya. Ada ruang yang sengaja
dibiarkan kosong dan tidak diatur. Misalnya tentang batasan sumber pendanaan,
undang-undang tidak secara spesifik mengatur pembatasan jumlah sumbangan yang
berasal dari individu anggota partai politik.
Hal yang sama juga terjadi dalam kaitannya
dengan akuntabilitas pendanaan partai, laporan keuangan dianggap sebagai barang
tabu dan rahasia. Walhasil, semua aktivitas partai dan pendanaannya tertutup
bagi publik. Terbukti dalam uji keterbukaan informasi terhadap laporan keuangan
partai politik yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti
Transparency International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch,
memperlihatkan partai belum mau terbuka soal laporan keuangannya.
Sejumlah partai politik memang telah mulai
menyajikan laporan keuangan partainya sebagaimana yang diwajibkan
undang-undang. Namun hasilnya selalu saja tidak memenuhi kualitas atau standar
akuntansi laporan keuangan partai politik yang telah ditetapkan (Koran Tempo,
5 April 2012). Buruknya pengelolaan keuangan partai ini bisa disandingkan
dengan fakta setelah terungkap adanya aliran uang hingga miliaran rupiah untuk
pemenangan calon tertentu dalam Kongres Demokrat. Seharusnya menjadi catatan
partai untuk melakukan pembenahan dalam setiap kegiatan dan pengelolaan
keuangannya. Tentu saja ini juga berlaku bagi semua partai politik.
Di sisi lain juga patut diwaspadai partai
politik berpotensi besar menjadi tempat yang paling aman untuk melakukan
pencucian uang (money laundering). Membiayai kegiatan partai yang
bermasalah akuntabilitasnya adalah ruang yang bisa digunakan untuk menyamarkan
sumber uang.
Fakta persidangan atas kasus yang melibatkan
Nazaruddin jelas mengungkap sumber pembiayaan pemenangan calon tertentu dalam
Kongres Demokrat yang diduga berasal dari beberapa proyek pemerintah, sebut
saja proyek Wisma Atlet dan Hambalang. Bahkan bukan tidak mungkin sumber
pembiayaan ilegal ini tidak hanya berasal dari APBN, tapi juga dari aktivitas
kejahatan lainnya. Sebut saja perdagangan narkoba hingga aktivitas pembalakan
liar.
Uang dan Politik
Relasi uang dan politik memang tidak bisa
dipisahkan, keduanya punya keterkaitan yang saling melengkapi. Dalam politik
memang diperlukan uang, tapi uang tentu bukanlah segalanya dalam politik. Jika
uang justru digunakan untuk membeli kepercayaan, pada titik itulah politik
(kekuasaan) akan digunakan untuk mendapatkan keuntungan (uang) dari pendanaan
publik.
Di negara yang kualitas demokrasinya sangat
mapan, seperti Jerman, pendanaan partai politik ataupun pendanaan kampanye
bersumber dari publik, dan itu dilakukan secara terbuka. Hal ini berimplikasi
secara langsung terhadap transparansi dan akuntabilitas partai. Maka, dengan
sendirinya tingkat partisipasi politik publik terhadap proses politik akan
semakin baik.
Hal yang sama tidak akan pernah terjadi jika
partai dibiayai dari sumber-sumber yang tidak sah, misalnya dari hasil korupsi.
Implikasinya tentu saja terlihat dari ketertutupan pengelolaan keuangan partai
karena memang dibiayai dari sumber pendanaan yang ilegal. Partai politik pada
akhirnya hanya akan menjadi alat bagi pemodal untuk mengeruk keuntungan dari
pendanaan publik. Di sinilah partai justru menjadi mesin korupsi yang paling ganas
hanya karena dikooptasi oleh pendanaan ilegal.
Pada masa mendatang, sengkarut dana politik
ini harus menjadi prioritas tidak hanya dari sisi perbaikan regulasi, tapi
partai politik sendiri secara institusi hendaknya sudah harus melakukan
pembenahan terhadap sumber-sumber dan akuntabilitas terhadap sumber
pendanaannya. Jika tidak, apatisme publik terhadap partai politik akan menjadi
ancaman yang sangat serius terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar