Kamis, 19 April 2012

Pertarungan Pencapresan di Partai Beringin


Pertarungan Pencapresan di Partai Beringin
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta
SUMBER : INILAH.COM, 18 April 2012



Paska kepemimpinan Akbar Tanjung sebagai ketua umum, Partai Golkar tidak lagi memiliki pemikiran bernas dan gebrakan politik cemerlang mengenai pemilihan bakal calon presiden dari partai berlambang beringin ini.

Jika di masa Akbar Tanjung Partai Golkar pernah mengadakan konvensi nasional untuk memilih calon presiden, sejak kepemimpinan Jusuf Kala dan berlanjut pada era Aburizal Bakrie sistem itu dihapuskan dan Golkar kembali ke sistem penentuan capres melalui rapat pimpinan nasional (Rapimnas).

Ini menunjukkan bahwa Partai Golkar kembali ke gaya berpolitik yang konservatif, tak ada lagi geliat politik yang membangkitkan semangat bertarung yang fair. Tak ada lagi greget politik di Partai Golkar terkait dengan pencapresan, karena semua bagaikan koor menyetujui keinginan sang ketua umum agar dirinya menjadi calon tunggal capres dari Partai Golkar.

Kita semua tahu, gaya kepemimpinan di Partai Golkar saat ini ditentukan oleh oligarki politik yang bertumpu di sekitar kekuasaan sang ketua umum Aburizal Bakrie. Ical, panggilan akrab Aburizal Bakrie, bukan saja membangun kemaharajaan di tubuh Partai Golkar di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP), melainkan juga mengokohkan sistem Patron-Client Relationship antara dirinya dan ketua-ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

Jangan heran jika hingga kini sudah ada 26 atau 27 dari 33 DPD yang merekomendasikan percepatan pelaksanaan rapimnas khusus pada Juni 2012 ini. Angka itu sudah melebihi persyaratan kuorum untuk melaksanakan rapimnas khusus.

Kita belum tahu bagaimana sikap DPD-DPD Partai Golkar dari Aceh, Riau, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku apakah sudah memberikan rekomendasi untuk melaksanakan rapimnas khusus pada Juni ini. Kita juga belum tahu bagaimana sikap dari DPD-DPD Golkar pada tingkat kabupaten dan kota.

Syahwat kekuasaan dari sang Ketua Umum tampaknya didasari oleh suatu kenyataan bahwa Partai Golkar saat ini sudah memenangi 58 persen pemilukada. Menurut laporan Kompas (15/4/2012), Golkar berhasil menempatkan sembilan kadernya sebagai gubernur, tujuh wakil gubernur, 131 bupati, 75 wakil bupati, 26 wali kota, dan 15 wakil wali kota.

Oligarki kekuasaan di tubuh partai beringin ini lupa bahwa pemilukada tidak sama dan sebangun dengan pemilu presiden/wakil presiden. Politik lokal tidak sama dengan politik nasional karena isyu-isyu yang dilontarkan berbeda satu sama lain.

Di AS atau di Australia pun partai yang menguasai gubernur atau premier di negara-negara bagian, belum tentu dapat menggerakkan kekuatan untuk meraih kursi presiden atau perdana menteri.

Sampai artikel ini ditulis, kita masih menyaksikan bahwa hasil berbagai survei mengenai elektabilitas para tokoh Partai Golkar masih menempatkan Jusuf Kalla di posisi teratas. Bahkan nama Akbar Tanjung kadang menduduki peringkat lebih tinggi daripada sang ketua umum.

Namun, melalui polesan lembaga konsultan politik yang sekaligus menjadi lembaga survei, bisa saja nama Ical melesat ke atas, seperti terjadi pada Alex Nurdin pada pemilukada di Sumatera Selatan beberapa waktu lalu.

Persoalannya adalah, apakah dukungan DPD Partai Golkar Jawa Timur atas pencalonan Ical Bakrie didasari realitas politik di lapangan atau hanya sekedar “Asal Bos Senang.”

Tak dapat dipungkiri nama Ical tidak laku dijual di Jawa Timur terkait dengan kasus Lapindo. Nama Ical memang dapat terdongkrak jika pemerintah melalui APBN-P 2012 benar-benar menggelontorkan dana Rp1,6 Triliun untuk membayari para korban Lapindo, termasuk di tiga desa yang dulu masuk kategori daerah tidak terdampak langsung.

Dari berbagai survei juga menunjukkan bahwa nama Ical masih jeblok elektabilitas politiknya di tanah Jawa. Dalam sistem politik Indonesia modern kita memang tidak dapat menerima masih kuatnya politik etnik. Tapi pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa orang Indonesia beretnik Jawa masih sebesar 43% dari seluruh penduduk Indonesia.

Pencalonan Ical sebagai calon presiden akan didukung secara penuh jika hasil survei menunjukkan tanda-tanda positif mengenai elektabilitasnya. Jika tidak, ini hanyalah syahwat kekuasaan yang tidak realistik yang didukung oleh gaya berpolitik “Asal Bapak Senang” dari DPD-DPD Partai Golkar. Suara DPR Golkar belum tentu sebangun dengan suara konstituen Golkar di daerahnya.

Kita juga masih menunggu apakah ucapan-ucapan Ical Bakrie yang membuka kesempatan bagi tokoh-tokoh Golkar lain seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Agung Laksono untuk menjadi capres benar adanya atau hanya untuk meningkatkan citranya sebagai pemimpin yang demokratik di mata rakyat, sementara di dalam Golkar ia melakukan tekanan dan atau ancaman politik ke DPD-DPD agar mendukungnya.

Politik di internal partai kadang jauh dari pengamatan masyarakat, seakan ada jarak antara partai-partai politik dan rakyat, khususnya konstituen partai.

Mari kita lihat apakah pencapresan di partai beringin ini akan berlangsung penuh intrik-intrik politik ataukah akan berjalan mulus. Jika tak ada debat yang mencerdaskan di dalam pencapresan pada rapimnas khusus Partai Golkar mendatang, kita dapat menyimpulkan bahwa oligarki kekuasaan di Partai Golkar semakin kokoh.

Golkar kembali menjadi partai yang konservatif, bahkan lebih konservatif dibandingkan dengan di era Orde Baru. Beringin bukan lagi tempat bernaung kaum intelektual dan aktivis muda yang punya greget, melainkan tempat berlindung para penjilat politik yang menghamba pada kekuasaan dan uang! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar