Pertarungan
Pencapresan di Partai Beringin
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor
Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta
SUMBER : INILAH.COM, 18 April 2012
Paska kepemimpinan Akbar Tanjung sebagai
ketua umum, Partai Golkar tidak lagi memiliki pemikiran bernas dan gebrakan
politik cemerlang mengenai pemilihan bakal calon presiden dari partai berlambang
beringin ini.
Jika di masa Akbar Tanjung Partai Golkar
pernah mengadakan konvensi nasional untuk memilih calon presiden, sejak
kepemimpinan Jusuf Kala dan berlanjut pada era Aburizal Bakrie sistem itu
dihapuskan dan Golkar kembali ke sistem penentuan capres melalui rapat pimpinan
nasional (Rapimnas).
Ini menunjukkan bahwa Partai Golkar kembali
ke gaya berpolitik yang konservatif, tak ada lagi geliat politik yang
membangkitkan semangat bertarung yang fair. Tak ada lagi greget politik di
Partai Golkar terkait dengan pencapresan, karena semua bagaikan koor menyetujui
keinginan sang ketua umum agar dirinya menjadi calon tunggal capres dari Partai
Golkar.
Kita semua tahu, gaya kepemimpinan di Partai
Golkar saat ini ditentukan oleh oligarki politik yang bertumpu di sekitar
kekuasaan sang ketua umum Aburizal Bakrie. Ical, panggilan akrab Aburizal
Bakrie, bukan saja membangun kemaharajaan di tubuh Partai Golkar di tingkat
Dewan Pimpinan Pusat (DPP), melainkan juga mengokohkan sistem Patron-Client
Relationship antara dirinya dan ketua-ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD).
Jangan heran jika hingga kini sudah ada 26
atau 27 dari 33 DPD yang merekomendasikan percepatan pelaksanaan rapimnas
khusus pada Juni 2012 ini. Angka itu sudah melebihi persyaratan kuorum untuk
melaksanakan rapimnas khusus.
Kita belum tahu bagaimana sikap DPD-DPD
Partai Golkar dari Aceh, Riau, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku apakah
sudah memberikan rekomendasi untuk melaksanakan rapimnas khusus pada Juni ini.
Kita juga belum tahu bagaimana sikap dari DPD-DPD Golkar pada tingkat kabupaten
dan kota.
Syahwat kekuasaan dari sang Ketua Umum
tampaknya didasari oleh suatu kenyataan bahwa Partai Golkar saat ini sudah
memenangi 58 persen pemilukada. Menurut laporan Kompas (15/4/2012), Golkar
berhasil menempatkan sembilan kadernya sebagai gubernur, tujuh wakil gubernur,
131 bupati, 75 wakil bupati, 26 wali kota, dan 15 wakil wali kota.
Oligarki kekuasaan di tubuh partai beringin
ini lupa bahwa pemilukada tidak sama dan sebangun dengan pemilu presiden/wakil
presiden. Politik lokal tidak sama dengan politik nasional karena isyu-isyu
yang dilontarkan berbeda satu sama lain.
Di AS atau di Australia pun partai yang
menguasai gubernur atau premier di negara-negara bagian, belum tentu dapat
menggerakkan kekuatan untuk meraih kursi presiden atau perdana menteri.
Sampai artikel ini ditulis, kita masih
menyaksikan bahwa hasil berbagai survei mengenai elektabilitas para tokoh
Partai Golkar masih menempatkan Jusuf Kalla di posisi teratas. Bahkan nama
Akbar Tanjung kadang menduduki peringkat lebih tinggi daripada sang ketua umum.
Namun, melalui polesan lembaga konsultan
politik yang sekaligus menjadi lembaga survei, bisa saja nama Ical melesat ke
atas, seperti terjadi pada Alex Nurdin pada pemilukada di Sumatera Selatan
beberapa waktu lalu.
Persoalannya adalah, apakah dukungan DPD
Partai Golkar Jawa Timur atas pencalonan Ical Bakrie didasari realitas politik
di lapangan atau hanya sekedar “Asal Bos Senang.”
Tak dapat dipungkiri nama Ical tidak laku
dijual di Jawa Timur terkait dengan kasus Lapindo. Nama Ical memang dapat
terdongkrak jika pemerintah melalui APBN-P 2012 benar-benar menggelontorkan
dana Rp1,6 Triliun untuk membayari para korban Lapindo, termasuk di tiga desa
yang dulu masuk kategori daerah tidak terdampak langsung.
Dari berbagai survei juga menunjukkan bahwa
nama Ical masih jeblok elektabilitas politiknya di tanah Jawa. Dalam sistem
politik Indonesia modern kita memang tidak dapat menerima masih kuatnya politik
etnik. Tapi pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa orang Indonesia
beretnik Jawa masih sebesar 43% dari seluruh penduduk Indonesia.
Pencalonan Ical sebagai calon presiden akan
didukung secara penuh jika hasil survei menunjukkan tanda-tanda positif
mengenai elektabilitasnya. Jika tidak, ini hanyalah syahwat kekuasaan yang
tidak realistik yang didukung oleh gaya berpolitik “Asal Bapak Senang” dari
DPD-DPD Partai Golkar. Suara DPR Golkar belum tentu sebangun dengan suara
konstituen Golkar di daerahnya.
Kita juga masih menunggu apakah ucapan-ucapan
Ical Bakrie yang membuka kesempatan bagi tokoh-tokoh Golkar lain seperti Jusuf
Kalla, Akbar Tanjung, Agung Laksono untuk menjadi capres benar adanya atau
hanya untuk meningkatkan citranya sebagai pemimpin yang demokratik di mata
rakyat, sementara di dalam Golkar ia melakukan tekanan dan atau ancaman politik
ke DPD-DPD agar mendukungnya.
Politik di internal partai kadang jauh dari
pengamatan masyarakat, seakan ada jarak antara partai-partai politik dan
rakyat, khususnya konstituen partai.
Mari kita lihat apakah pencapresan di partai
beringin ini akan berlangsung penuh intrik-intrik politik ataukah akan berjalan
mulus. Jika tak ada debat yang mencerdaskan di dalam pencapresan pada rapimnas
khusus Partai Golkar mendatang, kita dapat menyimpulkan bahwa oligarki kekuasaan
di Partai Golkar semakin kokoh.
Golkar kembali menjadi partai yang
konservatif, bahkan lebih konservatif dibandingkan dengan di era Orde Baru.
Beringin bukan lagi tempat bernaung kaum intelektual dan aktivis muda yang
punya greget, melainkan tempat
berlindung para penjilat politik yang menghamba pada kekuasaan dan uang! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar