Politisasi
dan Dramatisasi BBM
Pri Agung Rakhmanto, Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer
Institute
SUMBER : KORAN TEMPO, 18 April 2012
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan secara terbuka harga bahan bakar minyak mau tidak mau harus naik
pada 20 Februari 2012, sebagian besar masyarakat berpikir dan berekspektasi hal
itu pasti akan dilakukan pada 1 April 2012. Meskipun sebagian masyarakat juga
tahu bahwa hal itu memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, tidak banyak
yang menduga persetujuan itu bakal sedemikian politis dan dramatis. Proses
pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan 2012 yang diakhiri dengan pemungutan suara pada Sidang Paripurna DPR,
31 Maret lalu, mempertontonkan begitu luar biasa politisasi dan dramatisasi BBM
yang dilakukan para elite politik kita. Politisasi dan dramatisasi yang bukan
hanya minim substansi dan esensi, tapi pada tingkatan tertentu sejatinya juga
mengelabui, dan pada gilirannya menyusahkan khalayak luas.
Proses politik yang ada tidak benar-benar
menyentuh substansi dan esensi yang sesungguhnya dari perdebatan tentang
perlu-tidaknya menaikkan harga BBM. Pihak pemerintah sebagai pengusung kenaikan
harga BBM ataupun partai koalisi pendukungnya di parlemen sejak awal tampak
tidak benar-benar memperjuangkan kebijakan menaikkan harga BBM sebagai sebuah
instrumen untuk realokasi anggaran (subsidi BBM) ke hal-hal yang lebih
produktif dan memberi kemanfaatan jangka panjang, seperti pembangunan
infrastruktur yang jelas dan terukur, tapi (seperti biasa) hanya menggunakannya
sebagai instrumen untuk mengurangi tekanan APBN sesaat.
Angka-angka makro dari postur APBN-P 2012
yang diajukan ataupun kemudian dibahas dan disepakati parlemen mengindikasikan
dengan jelas hal itu. Dari Rp 41 triliun anggaran yang secara hitungan dapat
dihemat dengan penaikan harga BBM, Rp 30,6 triliun atau sekitar 75 persen habis
dialokasikan hanya untuk program kompensasi yang berpotensi rawan penyimpangan
dan sarat kepentingan politik. Dari jumlah ini, Rp 17,8 triliun dialokasikan
untuk bantuan langsung tunai--kini disebut bantuan langsung sementara
masyarakat-–dan Rp 7,8 triliun dikompensasikan dalam bentuk anggaran
pengembangan infrastruktur pedesaan yang belum jelas, baik konsep, bentuk,
maupun mekanismenya. Hanya Rp 2,2 triliun atau sekitar 5,3 persen yang relatif
jelas dialokasikan untuk pengembangan 54 buah stasiun pengisian bahan bakar gas
di Jawa dan Bali.
Dari komposisi angka tersebut, naik-tidaknya
harga BBM sebenarnya relatif sudah tidak lagi substansial untuk membuat
anggaran menjadi lebih produktif, tapi hanya relevan dalam kaitan dengan
sedikit mengurangi tekanan defisit APBN tahun berjalan (defisit menjadi lebih
rendah hanya sekitar 0,15 persen jika dibanding tidak menaikkan harga BBM).
Panggung Pencitraan
Karena sejak awal sejatinya mengesampingkan
substansi dan esensi, materi yang dijadikan dasar pengambilan suara dalam
sidang paripurna lalu akhirnya juga tidak secara tegas berkaitan langsung
dengan apa yang menjadi keinginan rakyat, baik yang menolak maupun menunggu
kepastian naik-tidaknya harga BBM. Pilihan yang ditawarkan lebih merupakan instrumen
bagi elite politik untuk tampil dan menampilkan citra yang seolah-olah membela
rakyat, terutama dengan memposisikan diri menolak penaikan harga BBM.
Maka tak mengherankan jika menjelang dan
dalam sidang paripurna, partai politik, baik yang tergabung dalam koalisi
maupun yang berada di luar, berlomba menyatakan sikap politik bahwa mereka
menolak penaikan harga BBM (pada saat ini). Bagi partai di luar koalisi dan
yang sudah berhitung siap dikeluarkan dari koalisi, pilihannya dalam
"membela rakyat" di panggung sidang paripurna menjadi relatif jelas,
yaitu mempertahankan pasal yang mengunci tidak boleh ada penaikan harga BBM
(pasal 7 ayat 6), tanpa ada embel-embel lain.
Bagi mayoritas partai yang tergabung dalam
koalisi, pilihan "membela rakyat" kemudian diwujudkan dengan
memunculkan pasal 7 ayat 6a, yang secara prinsip mengembalikan kewenangan
penaikan harga BBM kepada pemerintah dan memberikan persetujuan untuk melakukan
itu, tapi dengan syarat harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian
crude price/ICP) selama enam bulan mencapai 15 persen lebih tinggi daripada
US$ 105 per barel--asumsi yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. Jadi terlihat
seperti menentang, tapi sesungguhnya membolehkan, dengan syarat.
APBN Spekulatif
Elite politik boleh berdalih bahwa keputusan
itu merupakan kompromi politik yang realistis demi menjaga kestabilan politik
dan pemerintahan. Tapi argumen ini sejatinya hanya benar bagi mereka, karena
dalam praktek mereka pulalah yang sebenarnya lebih memainkan peran dalam
membuat pemerintahan ini stabil atau tidak stabil, efektif atau tidak efektif,
sedangkan rakyat hanya dijadikan obyek.
Yang jelas, dari sudut pandang politik
pengelolaan APBN yang sehat dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
munculnya pasal 7 ayat 6a tersebut, meskipun seolah tampak rasional, sejatinya
telah menjadikan pengelolaan APBN-P 2012 menjadi sangat spekulatif, yang pada
tingkatan tertentu bahkan mengarah pada perjudian APBN-P 2012.
Sebagaimana diketahui, alokasi anggaran
subsidi BBM yang telah disepakati dalam pembahasan di Badan Anggaran DPR untuk
APBN-P 2012 adalah Rp 137,4 triliun. Ini berarti skenarionya ada penaikan harga
BBM Rp 1.500 per liter karena, jika tidak ada alokasi, anggarannya paling tidak
Rp 178 triliun. Dengan syarat yang ditetapkan dalam pasal 7 ayat 6a itu, tak
ada yang bisa menjamin penaikan harga BBM dapat dilakukan tahun ini, karena
juga tak ada yang bisa menjamin rata-rata ICP selama enam bulan berjalan akan
mencapai 15 persen lebih tinggi daripada asumsi APBN-P 2012, atau berarti
melebihi US$ 120,75 per barel.
Harga minyak pada 2012 memang cenderung akan
stabil tinggi, di atas US$ 100 per barel. Namun hal itu lebih digerakkan oleh
faktor ketegangan geopolitik Iran-Amerika Serikat di Timur Tengah yang sifatnya
temporer, dan bukan karena faktor fundamental kesetimbangan pasokan serta
permintaan. Faktor fundamentalnya sendiri cenderung akan melemahkan harga
minyak, terutama karena ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Artinya,
bisa saja rata-rata harga minyak pada 2012 hanya akan bergerak, katakanlah,
menggantung di rentang US$ 115–120 per barel, tapi tidak pernah melebihi US$
120,75 per barel.
Jika kondisi ini terjadi, itu adalah yang
"terburuk" bagi APBN-P 2012. Di satu sisi, realisasi ICP jauh lebih
tinggi daripada asumsi yang ditetapkan, yaitu US$105 per barel, tapi tetap
tidak bisa menaikkan harga BBM. Sementara itu, di sisi lain, anggaran yang
dialokasikan adalah anggaran dengan skenario penaikan harga BBM Rp 1.500 per
liter. Jika realisasi rata-rata ICP nantinya US$ 105 per barel, tambahan
anggaran yang perlu dialokasikan setidaknya mencapai Rp 41 triliun. Jika
realisasi rata-rata ICP menggantung di kisaran US$ 115-120 per barel, tambahan
alokasi anggaran yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 70–85 triliun. Dengan kata
lain, keputusan elite politik tentang BBM ini pada dasarnya menjadikan
pemerintah menjalankan roda pemerintahan dengan anggaran yang tidak sejalan.
Lalu apa yang rakyat dapatkan dari semua itu?
Yang paling jelas adalah ketidakpastian ekonomi. Harga-harga yang sudah
telanjur naik cenderung tetap akan bertahan, karena ekspektasi terhadap
kenaikan harga BBM yang dapat terjadi sewaktu-waktu tetap ada. Daya beli
masyarakat tetap akan tergerus akibat inflasi yang menggantung. Menjadi
pertanyaan, dengan politisasi dan dramatisasi BBM yang begitu hebat, rakyat
mana sesungguhnya yang dibela oleh para elite politik tersebut? Entahlah.
Tampaknya hanya mereka sendiri yang tahu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar