Kamis, 19 April 2012

Politisasi dan Dramatisasi BBM


Politisasi dan Dramatisasi BBM
Pri Agung Rakhmanto, Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute
SUMBER : KORAN TEMPO, 18 April 2012



Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan secara terbuka harga bahan bakar minyak mau tidak mau harus naik pada 20 Februari 2012, sebagian besar masyarakat berpikir dan berekspektasi hal itu pasti akan dilakukan pada 1 April 2012. Meskipun sebagian masyarakat juga tahu bahwa hal itu memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, tidak banyak yang menduga persetujuan itu bakal sedemikian politis dan dramatis. Proses pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 yang diakhiri dengan pemungutan suara pada Sidang Paripurna DPR, 31 Maret lalu, mempertontonkan begitu luar biasa politisasi dan dramatisasi BBM yang dilakukan para elite politik kita. Politisasi dan dramatisasi yang bukan hanya minim substansi dan esensi, tapi pada tingkatan tertentu sejatinya juga mengelabui, dan pada gilirannya menyusahkan khalayak luas.

Proses politik yang ada tidak benar-benar menyentuh substansi dan esensi yang sesungguhnya dari perdebatan tentang perlu-tidaknya menaikkan harga BBM. Pihak pemerintah sebagai pengusung kenaikan harga BBM ataupun partai koalisi pendukungnya di parlemen sejak awal tampak tidak benar-benar memperjuangkan kebijakan menaikkan harga BBM sebagai sebuah instrumen untuk realokasi anggaran (subsidi BBM) ke hal-hal yang lebih produktif dan memberi kemanfaatan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur yang jelas dan terukur, tapi (seperti biasa) hanya menggunakannya sebagai instrumen untuk mengurangi tekanan APBN sesaat.

Angka-angka makro dari postur APBN-P 2012 yang diajukan ataupun kemudian dibahas dan disepakati parlemen mengindikasikan dengan jelas hal itu. Dari Rp 41 triliun anggaran yang secara hitungan dapat dihemat dengan penaikan harga BBM, Rp 30,6 triliun atau sekitar 75 persen habis dialokasikan hanya untuk program kompensasi yang berpotensi rawan penyimpangan dan sarat kepentingan politik. Dari jumlah ini, Rp 17,8 triliun dialokasikan untuk bantuan langsung tunai--kini disebut bantuan langsung sementara masyarakat-–dan Rp 7,8 triliun dikompensasikan dalam bentuk anggaran pengembangan infrastruktur pedesaan yang belum jelas, baik konsep, bentuk, maupun mekanismenya. Hanya Rp 2,2 triliun atau sekitar 5,3 persen yang relatif jelas dialokasikan untuk pengembangan 54 buah stasiun pengisian bahan bakar gas di Jawa dan Bali.

Dari komposisi angka tersebut, naik-tidaknya harga BBM sebenarnya relatif sudah tidak lagi substansial untuk membuat anggaran menjadi lebih produktif, tapi hanya relevan dalam kaitan dengan sedikit mengurangi tekanan defisit APBN tahun berjalan (defisit menjadi lebih rendah hanya sekitar 0,15 persen jika dibanding tidak menaikkan harga BBM).

Panggung Pencitraan

Karena sejak awal sejatinya mengesampingkan substansi dan esensi, materi yang dijadikan dasar pengambilan suara dalam sidang paripurna lalu akhirnya juga tidak secara tegas berkaitan langsung dengan apa yang menjadi keinginan rakyat, baik yang menolak maupun menunggu kepastian naik-tidaknya harga BBM. Pilihan yang ditawarkan lebih merupakan instrumen bagi elite politik untuk tampil dan menampilkan citra yang seolah-olah membela rakyat, terutama dengan memposisikan diri menolak penaikan harga BBM.

Maka tak mengherankan jika menjelang dan dalam sidang paripurna, partai politik, baik yang tergabung dalam koalisi maupun yang berada di luar, berlomba menyatakan sikap politik bahwa mereka menolak penaikan harga BBM (pada saat ini). Bagi partai di luar koalisi dan yang sudah berhitung siap dikeluarkan dari koalisi, pilihannya dalam "membela rakyat" di panggung sidang paripurna menjadi relatif jelas, yaitu mempertahankan pasal yang mengunci tidak boleh ada penaikan harga BBM (pasal 7 ayat 6), tanpa ada embel-embel lain.

Bagi mayoritas partai yang tergabung dalam koalisi, pilihan "membela rakyat" kemudian diwujudkan dengan memunculkan pasal 7 ayat 6a, yang secara prinsip mengembalikan kewenangan penaikan harga BBM kepada pemerintah dan memberikan persetujuan untuk melakukan itu, tapi dengan syarat harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) selama enam bulan mencapai 15 persen lebih tinggi daripada US$ 105 per barel--asumsi yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. Jadi terlihat seperti menentang, tapi sesungguhnya membolehkan, dengan syarat.

APBN Spekulatif

Elite politik boleh berdalih bahwa keputusan itu merupakan kompromi politik yang realistis demi menjaga kestabilan politik dan pemerintahan. Tapi argumen ini sejatinya hanya benar bagi mereka, karena dalam praktek mereka pulalah yang sebenarnya lebih memainkan peran dalam membuat pemerintahan ini stabil atau tidak stabil, efektif atau tidak efektif, sedangkan rakyat hanya dijadikan obyek.

Yang jelas, dari sudut pandang politik pengelolaan APBN yang sehat dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, munculnya pasal 7 ayat 6a tersebut, meskipun seolah tampak rasional, sejatinya telah menjadikan pengelolaan APBN-P 2012 menjadi sangat spekulatif, yang pada tingkatan tertentu bahkan mengarah pada perjudian APBN-P 2012.

Sebagaimana diketahui, alokasi anggaran subsidi BBM yang telah disepakati dalam pembahasan di Badan Anggaran DPR untuk APBN-P 2012 adalah Rp 137,4 triliun. Ini berarti skenarionya ada penaikan harga BBM Rp 1.500 per liter karena, jika tidak ada alokasi, anggarannya paling tidak Rp 178 triliun. Dengan syarat yang ditetapkan dalam pasal 7 ayat 6a itu, tak ada yang bisa menjamin penaikan harga BBM dapat dilakukan tahun ini, karena juga tak ada yang bisa menjamin rata-rata ICP selama enam bulan berjalan akan mencapai 15 persen lebih tinggi daripada asumsi APBN-P 2012, atau berarti melebihi US$ 120,75 per barel.

Harga minyak pada 2012 memang cenderung akan stabil tinggi, di atas US$ 100 per barel. Namun hal itu lebih digerakkan oleh faktor ketegangan geopolitik Iran-Amerika Serikat di Timur Tengah yang sifatnya temporer, dan bukan karena faktor fundamental kesetimbangan pasokan serta permintaan. Faktor fundamentalnya sendiri cenderung akan melemahkan harga minyak, terutama karena ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Artinya, bisa saja rata-rata harga minyak pada 2012 hanya akan bergerak, katakanlah, menggantung di rentang US$ 115–120 per barel, tapi tidak pernah melebihi US$ 120,75 per barel.

Jika kondisi ini terjadi, itu adalah yang "terburuk" bagi APBN-P 2012. Di satu sisi, realisasi ICP jauh lebih tinggi daripada asumsi yang ditetapkan, yaitu US$105 per barel, tapi tetap tidak bisa menaikkan harga BBM. Sementara itu, di sisi lain, anggaran yang dialokasikan adalah anggaran dengan skenario penaikan harga BBM Rp 1.500 per liter. Jika realisasi rata-rata ICP nantinya US$ 105 per barel, tambahan anggaran yang perlu dialokasikan setidaknya mencapai Rp 41 triliun. Jika realisasi rata-rata ICP menggantung di kisaran US$ 115-120 per barel, tambahan alokasi anggaran yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 70–85 triliun. Dengan kata lain, keputusan elite politik tentang BBM ini pada dasarnya menjadikan pemerintah menjalankan roda pemerintahan dengan anggaran yang tidak sejalan.

Lalu apa yang rakyat dapatkan dari semua itu? Yang paling jelas adalah ketidakpastian ekonomi. Harga-harga yang sudah telanjur naik cenderung tetap akan bertahan, karena ekspektasi terhadap kenaikan harga BBM yang dapat terjadi sewaktu-waktu tetap ada. Daya beli masyarakat tetap akan tergerus akibat inflasi yang menggantung. Menjadi pertanyaan, dengan politisasi dan dramatisasi BBM yang begitu hebat, rakyat mana sesungguhnya yang dibela oleh para elite politik tersebut? Entahlah. Tampaknya hanya mereka sendiri yang tahu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar