Sabtu, 07 April 2012

Sejarah Gonjang-ganjing Minyak


Sejarah Gonjang-ganjing Minyak
Endang Suryadinata, Alumnus Erasmus Universiteit, Rotterdam
SUMBER : KORAN TEMPO, 07 April 2012



Minyak atau bahan bakar minyak (BBM) memang menjadi faktor utama yang mendorong, menggerakkan, bahkan memicu gonjang-ganjing, bahkan perang, dalam sejarah peradaban manusia. Sejak zaman dulu hingga sekarang, minyak sebagai komoditas utama selalu mendominasi banyak bidang kehidupan manusia. Jatuh-bangun manusia dalam peradaban kerap kali terjadi karena minyak.

Dalam masyarakat Yunani kuno, misalnya, sudah ada modus operandi menumpahkan minyak ke lautan untuk membakar kapal-kapal perang musuh. Orang Indian Amerika juga sudah menggunakan minyak bumi mentah untuk campuran cat-cat yang digunakan buat perang. Malah, sejak 1859, ketika sumur minyak pertama digali di Pennsylvania oleh Colonel Edwin Drake, minyak tidak lepas dari nafsu manusia untuk berperang. Perang saudara di Amerika justru semakin memacu proses pencarian dan pengeboran minyak, karena minyak bisa menjadi minyak lampu untuk perang.

Perang

Bahkan, ketika para ahli minyak Amerika menemukan dan mengeksplorasi ladang-ladang minyak di Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah pada dekade 1930-an, hal itu menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang mudah terbakar konflik atau perang. Boleh jadi kita masih ingat aksi boikot terhadap AS dan negara Barat lainnya, seperti yang terjadi pada 1973, menyusul Perang Arab-Israel. Arab melakukan embargo atas ekspor minyak, yang membuat harga minyak dunia melejit, dan dampaknya adalah resesi ekonomi dunia.

Lalu, apa alasan Saddam Hussein menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990 sehingga meledak Gulf War atau Perang Teluk I? Penyebabnya adalah perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla. Setelah perang dengan Iran selama 8 tahun, Irak merosot ekonominya. Karena Kuwait terus meningkatkan produksi minyaknya, Irak justru kian miskin, maka Saddam Hussein mencari gara-gara dengan perang itu.

Ketika AS menyerbu dan menggulingkan rezim Taliban pada 2001, alasannya juga minyak, bukan karena ideologi Taliban fundamentalis. Pada awal 2001, negosiasi antara AS dan Taliban gagal. Pasalnya, Dick Cheney, yang menjadi perwakilan bagi pengembangan industri minyak AS, berusaha memaksa agar Taliban menyetujui jalur pipa minyak yang dikontrol oleh kepentingan bisnis AS. Saat Taliban menolak hal tersebut, agresi AS pun terjadi.

Demikian pula hal itu berulang lagi ketika AS menginvasi Irak sehingga meledak Perang Teluk II pada 2003. Bukan rahasia lagi, motifnya adalah minyak. Mengutip wawancara ekonom AS, Larry Lindsey, dengan Wall Street Journal (edisi 15 September 2002, berjudul Saddam’s Oil), Nordhaus memperlihatkan tabir mengapa AS perlu menyerang Irak. Semua karena minyak. Jika publik dunia baru saja membincangkan Arab Spring atau gerakan demokratisasi ala Amerika di berbagai negara Arab, salah satu faktornya tidak bisa dipisahkan dari penguasaan jalur dan suplai minyak.

Sedangkan hari-hari ini, kecemasan bahwa Iran akan menutup Selat Hormuz bila negeri itu diserang oleh Israel atau Amerika Serikat telah melambungkan harga minyak dunia. Dan melambungnya harga minyak inilah yang dipakai sebagai alasan utama oleh pemerintah SBY untuk menaikkan harga BBM per 1 April 2012--yang ternyata gagal.

Konyolnya lagi, cadangan dan produksi minyak negeri kita terus menyusut dari tahun ke tahun. Padahal dulu cadangan dan produksi minyak kita pernah terbesar di kawasan Timur Jauh. Sejak sumur minyak pertama di Telaga Tunggal Nomor 1 digali pada Juni 1885 oleh Royal Dutch atau Shell Group, sejak saat itu minyak kita terus diproduksi. Malah, pada dekade 1940-an, Indonesia yang kala itu bernama Netherlands East Indies pernah menjadi negara penghasil minyak terbesar di kawasan Timur Jauh, dengan produksi sebesar 63 juta barel per tahun.

Dan sejak saat itu, minyak selalu menjadi penopang utama bagi pemerintah. Mulai penjajah Belanda, Jepang, Orla, hingga Orba, semua rezim senantiasa ditopang oleh minyak. Soeharto tidak akan bertahan sepanjang 32 tahun tanpa melumasi kekuasaannya dengan minyak. Pertamina sungguh menjadi sapi perahan.

Rezim-rezim pasca-Soeharto sebenarnya hanya kebagian sisa-sisa minyak. Simak saja, pada 2011, realisasi produksi minyak hanya mencapai 902.053 barel per hari. Lalu, dari produksi minyak mentah (lifting) sekitar 900 ribu barel minyak per hari (bph), bagian negara hanya 600 ribu bph. Padahal kebutuhan nasional 1,3 juta barrel minyak per hari. Kondisi inilah yang menyebabkan ketergantungan kita terhadap impor minyak. Produksi minyak kita tinggal 24 tahun (Kompas, 27 Maret 2012).

Kapitalisasi Minyak

Yang layak kita cemaskan, kandungan minyak di mana pun, termasuk di negeri kita, 
sudah sejak dulu menjadi incaran para kapitalis minyak. Bahkan Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Migas kita sudah bukan rahasia lagi merupakan produk regulasi yang secara resmi mengkhianati Pasal 33 UUD 1945, karena segala hal terkait dengan minyak bukan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Namun semua diserahkan kepada mekanisme pasar, demi mensejahterakan segelintir elite yang tahu seluk-beluk bisnis BBM.

Mengingat sudah diserahkan kepada mekanisme pasar (dalam hal ini New York Mercantile Exchange, Inc. atau NYMEX), konsekuensinya, ketika harga minyak di level dunia melambung, negeri kita pun ikut limbung. Maka, menurut pemerintah SBY, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak terelakkan lagi.

Memang tata ekonomi dunia, termasuk sektor minyak, sudah dicengkeram para kapitalis minyak. Pada titik inilah, kita, entah rakyat atau pemerintah Indonesia, tidak bisa mengelak dari kenyataan betapa kita sudah tidak bisa berdaulat atas minyak. Semua sudah dikuasai oleh para kapitalis minyak. Entah Arab Saudi, Cina, India, Brasil, Rusia, atau Venezuela sekalipun, semua sebenarnya tidak bisa lepas dari pengaruh atau tekanan para kapitalis minyak, yang dengan kekuatan jaringannya menguasai industri minyak dunia dari hulu hingga hilir.

Maka, kekuatan besar seperti itu jelas tak akan mempan terhadap unjuk rasa atau demo. Pemerintah dan DPR dipastikan akan tetap menaikkan harga BBM karena pemerintah sendiri juga ditekan oleh kekuatan besar itu. Pemerintah sudah kewalahan untuk menambah subsidi jika harga minyak tetap terus tinggi. Pemerintah lebih memilih menyelamatkan roda pemerintahan seperti dinasihatkan para ekonomnya daripada berpihak pada perut rakyat banyak.

Rencana kenaikan harga BBM 2012 sebenarnya merupakan repetisi atau pengulangan kebijakan pemerintah SBY pada 1 Oktober 2005. Sejarah berulang. Segala pro-kontra yang terjadi akhir-akhir ini, mulai dari polemik para ahli di televisi atau koran, termasuk polemik BLSM hingga unjuk rasa mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya, semua tampak sama dengan kondisi menjelang 1 Oktober 2005. Dan pemicu utamanya juga tetap sama, yakni minyak. Yang untung juga tetap sama, yakni para kapitalis minyak. Dan orang miskin adalah korban terbesar.

Hanya, sayangnya, kita masih belum mau belajar dari sejarah, bagaimana di masa mendatang kita mulai harus melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak, serta mulai melirik energi-energi alternatif. Kebijakan atau politik energi kita sampai sejauh ini belum pernah dirancang untuk menghadapi guncangan besar, seperti melonjaknya harga minyak. Semua masih serba tambal sulam. Dan di atas segalanya, di masa mendatang, kita jangan lagi menjadi korban permainan para kapitalis minyak atau para mafia dalam sektor energi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar