Sabtu, 07 April 2012

Tomcat dalam Perspektif Ekonomi Lingkungan


Tomcat dalam Perspektif Ekonomi Lingkungan
Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
SUMBER : KORAN TEMPO, 07 April 2012



Jutaan semut tomcat (Paederus fuscipes) “menyerang” Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Bali. Masyarakat cemas, takut digigit dan terkena racun tomcat yang menimbulkan gatal-gatal dan pembengkakan di kulit.

Kenapa populasi tomcat meledak dan menyebar ke mana-mana? Apakah karena habitatnya hilang atau karena berkurangnya predator atau musuh alami mereka? Mungkin keduanya. Sawah dan hutan sebagai habitat tomcat memang berkurang. Di Jawa dan Bali, misalnya, banyak lahan sawah dan hutan berubah menjadi permukiman. Akibatnya, tomcat pun kehilangan tempat tinggal. Di pihak lain, predator dan musuh tomcat, seperti burung pipit dan kutilang, juga menghilang. 

Populasi burung-burung pemakan serangga lucu itu kini makin sedikit, karena ditangkap manusia untuk diperjualbelikan. Gangguan alami berikutnya adalah perubahan cuaca akibat naiknya suhu bumi (global warming). Kekacauan iklim ini ikut mendorong pertumbuhan populasi tomcat secara tak terkendali. Jadilah tomcat yang biasanya “bersahabat dengan manusia” kini menjadi “musuh manusia”.

Ekonomi Lingkungan

Kerugian akibat ledakan tomcat seperti disebutkan di atas, secara finansial, memang tidak besar. Gerombolan tomcat memang mudah dimusnahkan dengan menyemprotkan pestisida. Jika pun ada kerugian karena menggigit manusia, nilai ekonominya juga kecil, sehingga tak sampai mengguncangkan ekonomi nasional.

Meski demikian, bila kedatangan gerombolan tomcat itu dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar. Ini karena, dalam TEV, parameter ekonominya tidak hanya mengukur nilai finansial yang ada saat itu, tapi juga mengukur nilai ekonomi yang “tidak ada pada saat” itu. Parameter ekonomi yang “tidak ada pada saat itu” di antaranya adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Munculnya tomcat jelas terkait dengan masalah kerusakan alam tadi.

Selama ini, konsep nilai ekonomi hanya berdasarkan teori ekonomi kesejahteraan neoklasik di mana akarnya adalah utilitarianisme. Dalam utilitarianisme, nilai ekonomi hanya menunjukkan tingkat sejauh mana sebuah benda atau sebuah pelayanan bisa memuaskan individu. Preferensinya bisa dinyatakan dalam terma utilitas--yaitu sebuah kegunaan atau kemanfaatan yang dapat diukur dengan uang. 

Dengan demikian, nilai ekonomi diukur dari jumlah uang yang bisa diperoleh individu sebagai kompensasi kemanfaatan dan kegunaan benda tersebut. Dalam kaitan dengan ini, willingness to pay (WTP) dan willingness to accept (WTA) merupakan ukuran dari nilai benda dan pelayanan yang dapat dipertukarkan dengan uang tersebut.

Dalam ekonomi neoklasik, pasar merupakan tempat yang menentukan nilai sebuah benda atau pelayanan (jasa). Komponen pertukaran dan penentuan nilai tersebut dikenal dengan istilah direct-use value (nilai penggunaan langsung) yang referensinya adalah WTP dan WTA tadi. Komponen direct use itu kini mendominasi sistem ekonomi pasar. Hampir semua transaksi di pasar--seperti jual-beli sandang, pangan, papan, dan kendaraan--pendekatannya adalah direct use.

Kondisi ini berbeda dalam transaksi sumber daya alam (SDA). Dalam transaksi SDA, ada keterkaitan pihak-pihak lain, seperti kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di sekelilingnya. Karena itu, pendekatan ekonomi direct use tidak bisa diterapkan dalam transaksi SDA. Penjualan kayu jati, lahan sawit, dan eksplorasi batu bara di tengah hutan, misalnya, tidak bisa memakai pendekatan direct use semata, tapi harus memakai pendekatan indirect use juga. Indirect use, misalnya, bisa dilihat dalam ekonomi taman wisata alam seperti kebun binatang atau kebun raya. Kebun Raya Bogor, misalnya, nilai direct use-nya bisa langsung terlihat karena keindahan alamnya bisa dijual kepada individu atau masyarakat untuk tempat rekreasi. Namun nilai indirect use-nya juga sangat besar, karena Kebun Raya Bogor merupakan tempat konservasi tanaman langka dan penyerap udara kotor sekaligus penyuplai oksigen untuk Kota Bogor dan sekitarnya. Dari pendekatan inilah kemudian lahir konsep total economic value (TEV) yang lebih komprehensif. TEV tidak hanya mengukur nilai benda dari aspek direct use dan indirect use (keduanya termasuk dalam use value), tapi juga non-use value.

Non-use value awalnya diperkenalkan oleh John V. Krutilla pada 1967. Menurut Krutilla, non-use value meliputi semua elemen nilai yang tidak berkaitan dengan pemakaian sekarang dan yang akan datang.

Krutilla membagi non-use value menjadi dua: existence value dan bequest value. Existence value merefleksikan sebuah keuntungan dari sesuatu yang telah diketahui, meskipun tidak langsung bermanfaat untuk dirinya sendiri. Misalnya, Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris mau mendonasikan uangnya untuk kelestarian harimau Sumatera, padahal keberadaan harimau Sumatera itu tidak bermanfaat secara langsung untuk dirinya sendiri. Inggris juga letaknya amat jauh dari Sumatera. Tapi Pangeran Charles ingin menyelamatkan harimau Sumatera karena tahu manfaat sang raja hutan sebagai top-end predator untuk menjaga ekosistem di Pulau Sumatera. Sedangkan bequest value merefleksikan keuntungan untuk masa depan, meski “pembeli” tidak bisa memanfaatkannya sewaktu dia masih hidup. Kepedulian dunia internasional terhadap kenaikan suhu bumi (global warming) menyebabkan banyak perusahaan, yayasan, dan individu rela mengeluarkan uang untuk menjaga kelestarian hutan, agar global warming bisa dicegah di masa mendatang. Semua itu menggambarkan bahwa bequest value dalam transaksi SDA mempunyai peran amat penting dalam dunia bisnis masa depan.

Baik use value maupun non-use value mempunyai komponen option value. Option value ini diperkenalkan oleh Weisbrod, 1964, dengan pendekatan nilai jaminan (insurance value). Seseorang, menurut Weisbrod, ada yang mau mengeluarkan uang untuk menjamin ketersediaan suplai material genetik tertentu demi menjaga kelangsungan hidupnya di masa depan. Sedangkan orang lain tidak peduli karena ia tidak suka terhadap material tersebut. Jadi, manusia bisa memilih (option value) sesuai dengan minat dan kepentingannya. Itulah sebabnya, option value kadang menimbulkan kontroversi karena terkait dengan kepentingan individu atau perusahaan yang memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Tapi, secara keseluruhan, bila melihat TEV, kita harus melihat berbagai kemungkinan yang terjadi bila melakukan transaksi ekonomi terhadap SDA.

TEV berkembang ketika masyarakat internasional mulai merasakan timbulnya bahaya lingkungan akibat eksploitasi SDA secara berlebihan. Pada akhir 1960-an, masyarakat internasional belum merasakan dampak kerusakan hutan yang begitu masif terhadap perubahan cuaca. Kondisi itu berubah drastis sejak 1970-an, di mana dunia internasional sudah mulai merasakan munculnya berbagai anomali siklus alam akibat kerusakan hutan dan lingkungan. Anomali ini makin terasa di era 1980-an, ketika suhu bumi terasa makin panas dan ritual iklim berubah. Dengan melihat kondisi itulah, pendekatan TEV dalam transaksi ekonomi SDA mulai menjadi perhatian pakar-pakar ekonomi dan lingkungan.

Akhirnya, dari perspektif inilah kita seharusnya melihat fenomena tomcat di atas. Ledakan populasi tomcat ini dalam konsep TEV menggambarkan adanya sebuah transaksi ekonomi destruktif yang nilainya sangat besar, karena terkait dengan kerusakan alam yang signifikan. Dengan demikian, fenomena tomcat patut mendapat perhatian besar kita semua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar