Keteladanan
demi Kepribadian Anak
Hestiana, Alumnus
University of Sydney Australia, Direktur Hadharah Institute
SUMBER : SUARA KARYA, 09 April 2012
Peristiwa penusukan oleh AMN seorang siswa SD berusia 13 tahun
terhadap temannya SM (13 tahun) di Cinere, Depok, Jawa Barat, baru-baru ini
menimbulkan pertanyaan kenapa anak menjadi sangat brutal. Itu bisa disebabkan
oleh kurangnya kasih sayang dari orangtua terhadap anak. Ada sesuatu yang tidak
didapat anak dari orangtuanya, karena AMN diketahui tinggal hanya bersama
kakaknya.
Di saat anak seusianya memperoleh uang jajan atau kebutuhan
lainnya, AMN tidak mendapatkannya. Apabila seorang anak kurang mendapat kasih
sayang orangtua, dan kebutuhannya sebagai anak nyaris tidak terpenuhi seperti
yang didapatkan oleh teman seusianya, bisa memicunya melakukan tindakan brutal.
Apalagi, saat ini situasi lingkungan yang sangat keras bisa menyebabkan
perubahan jiwa anak menjadi keras. Kondisi itu ditambah dengan kemiskinan yang
melilit anak.
Anak yang melakukan tindakan kekerasan sebenarnya perlu diberikan
kasih sayang, pembelajaran, dan kesempatan untuk berubah menjadi baik.
Sedangkan penjara hanya akan mematikan masa depannya. Meskipun tetap harus ada
penalti dengan efek jera, tetapi jangan sampai membuat si anak merasa dihukum.
Anak-anak merupakan kelompok rentan yang berada di baris terdepan
sebagai korban situasi apa pun. Kisah lain bisa dikemukakan di sini.
Terbongkarnya kasus sodomi dan pembunuhan sadis (mutilasi) terhadap anak
jalanan dengan pelaku Baekuni alias Babe (49) yang pernah menggemparkan publik,
membuat orang bagai tersengat. Pemerintah, terutama aparat kepolisian merasa
kecolongan. Para orangtua mendadak peduli terhadap anak-anak mereka yang selama
ini bebas - tidak jarang atas paksaan orangtua - berkeliaran di jalan, dengan
alasan mencari nafkah uang untuk keluarga.
Kasus ini membuktikan betapa para orangtua telah bertindak
sembrono membiarkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang di jalanan. Padahal,
jalanan bukanlah tempat yang baik bagi mereka yang notabene masih dalam proses
mencari jati diri dan bentuk kehidupan.
Kisah lainnya adalah lima siswa TK Sekar Bangsa, Pondok Labu,
Jakarta Selatan, yang sempoyongan setelah memakan barang mirip permen coklat.
Mereka menabrak-nabrak jendela dan tembok kelas. Sebab, barang yang dikira
coklat itu adalah obat penenang, yang setelah diteliti, ternyata Happy Five,
produk narkoba dari Jepang. Ini, juga akibat kesembronoan orang dewasa.
Kecerobohan orangtua Rida Wahyu, siswa TK yang menaruh obat terlarang itu di
kulkas, setelah sebelumnya membungkusnya dengan bekas bungkus coklat.
Kejadian itu semua, kian menguatkan dugaan bahwa selama ini
anak-anak kita sangat miskin teladan. Bisa dibayangkan, apa reaksi anak-anak
tersebut ketika akhirnya mereka tahu bahwa barang yang mereka sangka coklat
ternyata salah satu jenis narkoba. Tidak menutup kemungkinan bocah-bocah kecil
ini nantinya akan bertanya, apa itu narkoba? Mengapa barang itu bisa ada di
rumahnya? Mengapa ayahnya suka memakan barang itu? Yang jelas, benda yang dapat
membuat fly orang itu sudah terindra oleh si anak.
Yang terjadi kemudian, anak kecewa, frustasi, bahkan kehilangan
orientasi dalam hidupnya. Ia tak lagi mendapati sosok yang diidamkan pada diri
orangtuanya. Padahal, anak masih berada pada masa pertumbuhan dan, juga
perkembangan psikis, mental, yang tentu akan sangat terganggu dengan suatu
kenyataan bahwa orangtuanya adalah sosok pecandu narkoba.
Jika sudah demikian, masihkan kita bisa berharap tumbuhnya
generasi sehat, unggul, dan handal? Karena, dalam proses pertumbuhan dan
perkembangannya sudah diracuni dengan berbagai kenyataan pahit. Ironis sekali,
kasus orangtua pecandu narkoba di negeri ini tidaklah sedikit jumlahnya.
Kenyataan ini akan kian terasa pahit tatkala kita melirik ke
persoalan lain yang dihadapi anak, yang juga masih bersumber dari kesembronoan
para orangtua. Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak ternyata angkanya juga
tidak sedikit, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan ekonomi.
Sangat boleh jadi, anak-anak korban kekerasan mengalami
keterpukulan akibat perlakuan yang diterimanya. Perlakuan kekerasan yang diterima
anak dapat memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak yang
mengalami kekerasan akan mendapat gangguan psikologis seperti anak merasa takut
dan cemas, menjadi kurang percaya diri, rendah diri maupun merasa tidak berarti
dalam lingkungannya sehingga tidak termotivasi untuk mewujudkan segala potensi
dirinya.
Kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata yang menyakitkan,
melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan, mengecilkan
arti si anak, memberikan julukan negatif kepada anak, dan memberikan kesan
bahwa si anak tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap
perasaan anak dan dapat memengaruhi citra diri mereka.
Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan menyakiti anak akan
berpengaruh kepadanya. Baik dalam kehidupan saat ini maupun di masa yang akan
datang meski dampaknya tidak terjadi secara langsung. Karena, ucapan-ucapan
bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak.
Akumulasi itu, akan membuat anak memiliki citra negatif. Anak yang sering
mengalami kekerasan psikis semacam itu di kemudian hari akan hilang rasa
percaya dirinya. Bahkan hingga memicu kemarahannya dan merencanakan untuk
melakukan aksi balas dendam.
Begitu beragamnya problem yang menimpa anak, maka menjadi
kewajiban kita bersama sebagai orang dewasa untuk menciptakan kondisi yang bisa
memberikan keteladanan positif bagi tunas-tunas bangsa ini. Sehingga, kelak
mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas dan mantap kepribadiannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar