Saat
Pancasila Tak Lagi Bertaji
Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute
SUMBER : KOMPAS, 10 April 2012
Taji adalah sebuah pisau kecil yang sangat
tajam, biasa dikalungkan di kaki ayam jantan ketika akan bersabung. Dengan taji
ini, si jantan diharapkan akan melumpuhkan lawan laganya sampai berdarah-darah,
bahkan bisa membawa kematian.
Di dunia sabung ayam, fungsi taji sangat
diandalkan agar tuannya keluar sebagai pemenang melalui kemenangan ayam
aduannya. Dalam kultur Minangkabau tempo doeloe, hobi menyabung ayam bagian
dari pekerjaan para parewa yang biasanya berpakaian serba hitam dan kepala
diikat selembar kain. Mereka yang juga pendekar ini sangat akrab dengan taji,
ayam jantan, dan dunia hitam.
Pancasila Jadi Barang Mainan
Jika taji adalah bagian dari kultur sabung
ayam, mengapa Pancasila sebagai dasar filosofi negara dikait-kaitkan di sini?
Bukankah kerja ini hanya mengada-ada saja atau malah dipaksakan? Baris-baris
berikut akan menjelaskan kepada tuan dan puan tentang apa yang saya maksud.
Ungkapan puitis ”tak bertaji lagi” punya
pengertian simbolis yang lebih luas, yaitu berupa kehilangan wibawa dan
keampuhan. Artinya, Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan
selama 40 tahun dengan menguras energi bangsa agar dapat diterima oleh
mayoritas mutlak rakyat Indonesia untuk menjadi dasar negara yang permanen
telah disingkirkan begitu saja dalam praktik oleh parewa politik, baik di
Senayan, di daerah, maupun di lingkungan eksekutif dan yudikatif, dari pucuk
sampai tingkat paling bawah.
Pengusaha hitam pun terlibat aktif dalam
permainan kumuh ini, baik sebagai cukong maupun konsultan parewa. APBN/APBD
selalu jadi incaran untuk diakali, demi pundi-pundi pribadi atau golongan.
Nasib rakyat jelata yang lagi terpukul oleh politik BBM tak dihiraukan oleh
kaum parewa itu. Penderitaan dan ketidakpastian sudah lama menjadi bagian
menyatu dengan perjalanan hidup sebagian besar rakyat kita. Ironisnya, semuanya
itu berlaku pada sebuah bangsa dan negara yang bersendikan Pancasila yang
secara filosofis sangat pro-keadilan. Di tangan parewa politik, Pancasila sudah
lama jadi barang mainan, tuahnya habis dilindas keserakahan yang hampir tanpa
batas.
Sumber segala keonaran yang mengepung
Republik ini sebenarnya karena taji Pancasila telah ditumpulkan oleh
pragmatisme politik sebagai salah satu perwujudan dari sebuah peradaban bangsa
yang sedang merosot. Parewa politik—sebagian bahkan bangga jadi agen asing
karena di situ banyak rezeki—sedang berada di atas angin di atas panggung
perpolitikan kita, pada tingkat nasional sampai ke daerah. Parpol yang
semestinya membela bangsa dan negara, kelakuannya malah didikte elite parewa
yang antirakyat.
Inilah ucapan Bung Hatta sebelum wafat tahun
1980 tentang tiadanya rasa tanggung jawab politisi: ”Peran partai sangat
penting dan bersifat asasi dalam masyarakat demokrasi. Tetapi partai-partai di
Indonesia ini belum memperlihatkan rasa tanggung jawab yang besar. Mereka lebih
mendahulukan kepentingan diri sendiri atau partainya sehingga nasib rakyat
tidak mereka bela.” Sudah berjalan 32 tahun sepeninggal Bung Hatta, wajah
parpol kita belum juga menampakkan tanda-tanda kewarasan. Kelakuan
partai-partai yang berasas agama ataupun yang bukan sudah tidak ada bedanya.
Semuanya sibuk menggarong APBN/APBD atau BUMN.
Dalam kondisi yang serba korup ini, taji
Pancasila memang sengaja dilumpuhkan agar tercipta peluang yang seluas-luasnya
bagi parewa untuk menjalankan aksi imoralnya. Di mana negara? Negara sudah lama
kalah di tangan pemerintah yang tak berwibawa. Pasal 33 UUD 1945 (asli) Ayat 3
yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
kini telah menjadi teks mati ketika kedaulatan ekonomi sudah beralih tuan ke
pihak asing yang dibantu oleh agen-agen domestiknya. Bukankah semuanya ini
sudah menyimpang terlalu jauh dari jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang
anti-penjajahan? Namun, kita sebagai bangsa merdeka tidak boleh kehilangan
optimisme. Bangsa dan negara ini jangan sampai menggali kubur masa depannya di
tangan anak-anaknya yang tak bertanggung jawab.
Arus Kecil Jadi Tumpuan Harapan
Lalu, masih adakah kebanggaan tersisa? Tentu
saja masih. Kita belum kehilangan harapan untuk sebuah perubahan yang mendasar
dalam cara kita berbangsa dan bernegara untuk waktu-waktu yang akan datang.
Arus-arus kecil dalam masyarakat belum seluruhnya ternoda oleh arus besar yang
lagi dimabuk kekuasaan. Dalam arus serba kecil itu taji Pancasila masih tajam
dan bertuah. Guru-guru di kawasan perbatasan dan di daerah terpencil belum
luntur kesetiaan pengabdiannya pada profesi sebagai guru-pendidik dalam upaya
”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Di kawasan di mana masalah transportasi dan
komunikasi masih sarat kendala, gaji mereka pun belum tentu datang secara
teratur setiap bulan, toh mereka tetap menjalankan tugas. Lagi, Bung Hatta kita
kutip. Dalam pidato sebagai Wakil Presiden di Pematang Siantar, 22 November
1950, Bung Hatta mengucapkan optimisme ini: ”Ke puncak gunung yang paling
tinggi di mana ada hidup rakyat kita, hendaknya dapat dialirkan kecerdasan
manusia. Cita-cita ini pada satu kali mesti tercapai.” Pernyataan Bung Hatta
ini harus dijadikan acuan untuk memberi arah yang jelas dalam proses pendidikan
Indonesia. Rakyat yang cerdas tidak mudah dijadikan tawanan oleh parewa.
Pengusaha-pengusaha kecil dan menengah yang
idealis semakin memberi asa ke arah perbaikan nasib rakyat kecil yang jumlahnya
sangat besar karena mereka-lah sesungguhnya yang menjadi tiang penyangga saat
negara ini diterpa krisis 14 tahun yang lalu. Mereka pulalah dengan segala
keterbatasannya yang membuka lapangan kerja bagi anak-anak putus sekolah karena
ketiadaan biaya. Kampus-kampus pun masih belum kehilangan nalar, sekalipun
gaung suaranya sering terdengar sayup-sayup sampai karena sebagian besar tidak
paham betul apa sebenarnya yang berlaku di negara ini.
Dalam arus kecil ini terdapat pula kaum
intelektual, para kiai, pastor, pendeta, biksu, dan pekerja-pekerja sosial-kemanusiaan
lain yang tidak mau tersandera oleh kesemrawutan politik para elite yang sudah
mati rasa. Mereka inilah sahabat sejati Pancasila dalam teori dan dalam
praksisme. Ketika kita menatap wajah manusia pengabdi ini, sekiranya hati
nurani tuan dan puan masih berfungsi, tentu akan menarik kesimpulan faktual
ini: ”Orang baik di negeri ini ternyata belum punah”. Mereka tersebar di
berbagai suku bangsa di seluruh Nusantara, apa pun agama dan latar belakang
kultur mereka.
Bangsa ini pada dasarnya tidaklah miskin
dalam hal kearifan, pengabdian, dan semangat setia kawan. Sebagian mereka
menjadi rusak dan brutal karena selalu dihantui oleh ketidakpastian masa depan
dan tiadanya keteladanan.
Budaya dan kearifan lokal telah membentuk
karakter anak-anak bangsa idealis ini agar tidak menyerah pada realitas yang
serba ganas dan pahit sekalipun. Bukankah fenomena positif semacam ini akan
terus menghibur kita untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan yang lebih
besar? Biarlah mereka yang ”berdaulat” di Senayan terus saja berkicau di sana
karena kita sudah maklum tujuan terakhir yang hendak diraih seperti terbaca
dalam ungkapan ini: ”mengejar kepentingan sesaat dengan mengorbankan tujuan
jangka jauh”. Kaum idealis tak boleh terpaku dan terpukau oleh kicauan beracun
itu.
Sekalipun judul tulisan ini menggambarkan
Pancasila sudah kehilangan taji, kenyataan itu hanya berlaku pada arus besar,
tidak pada arus kecil yang pada suatu saat harus mengalahkan arus besar yang
sudah tidak waras itu. Setelah tertindas selama beberapa tahun belakangan ini
dalam kerangkeng neo-liberalisme yang mewakili arus besar kekuasaan, kita
sangat percaya di lingkungan arus kecil yang pasti akan semakin membesar, taji
Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 akan memulihkan wibawa konstitusi yang sengaja
dikebiri demi kekuasaan dan benda yang tak pernah bernilai abadi. Menguatkan
dan membesarkan idealisme arus kecil ini jadi tugas mulia sejarah modern
Indonesia yang tak boleh sedetik pun dilupakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar