Selasa, 10 April 2012

Diktum Soegija


Diktum Soegija
Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER : KOMPAS, 10 April 2012



Beberapa hari terakhir ini pikiran dan hati saya dipenuhi oleh semboyan uskup pertama Republik Indonesia, Mgr Soegijapranata, ”100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Diktum itu menjadi salah satu jawaban penulis ketika merenungkan semua persoalan bangsa sekarang ini.

Mencermati situasi Tanah Air yang dalam batas-batas tertentu boleh disebut patologis karena miskinnya keadaban politisi, akutnya praktik korupsi, gaduhnya partai koalisi, masih berlangsungnya kekerasan atas nama agama, dan mudah pecahnya konflik antarkampung menjadi petunjuk bahwa setiap elemen bangsa ini belum utuh menjadi diri sendiri. Orang Jawa, misalnya, belum sepenuhnya menjadi Jawa. Demikian juga dengan suku-suku bangsa yang lain. Fenomena yang sama terjadi pada ranah agama.

Karena kita tidak 100 persen menjadi diri sendiri, secara otomatis kita tidak bisa 100 persen menjadi Indonesia. Akibatnya, konflik mudah pecah, oportunisme dominan, dan chauvinisme kuat. Sumpah Pemuda 1928 mewujud karena setiap tokoh yang terlibat waktu itu 100 persen berkepribadian utuh sebagai Jong Java, Jong Sumatra, Islaminten Bond, dan lain-lain. Karena mereka utuh menjadi diri sendiri, ada ruang luas untuk berbagi dengan komponen bangsa yang lain tanpa merasa curiga dan khawatir dikhianati. Soegijapranata telah menemukan inti sari kebangsaan dan kenegaraan kita itu.

Serba Setengah

Kini, setiap diri kita cenderung beridentitas dan berkepribadian setengah. Akibatnya, karakter bangsa ini rapuh di segala sisi karena absennya bersikap. Dalam sistem ekonomi, misalnya, tidak pernah jelas apakah kita ini menerapkan pasar sosial, seperti diamanatkan konstitusi, atau kapitalis sejati. Di ranah politik, tidak jelas sistem pemerintahannya presidensial atau parlementer. Ini belum ditambah posisi Dewan Perwakilan Daerah yang tanggung dalam bikameral, kecanggungan sistem pemilu, dan lain-lain.

Tidak mengherankan jika sikap kebanyakan politisi—apabila mereka diibaratkan sebagai penggembala—cenderung menguliti domba-domba yang mereka gembalakan. Padahal, kata Mbah Kiai Ahmad—guru mengaji saya di kampung dulu—gembala yang baik adalah yang mencukuri bulu-bulu domba dan bukan mengulitinya (pangon kang becik itu nyukuri wedhuse, dudu nguliti).

Dalam praksis politik, ini bisa dilihat melalui, misalnya, perilaku partai-partai koalisi pendukung pemerintah menjelang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Hampir semua partai koalisi mencuri momentum untuk pamer perjuangan membela rakyat di depan sorotan kamera televisi dan alat rekam para wartawan.

Dengan bahasa bersayap, tidak jelas maknanya, mereka terkesan menolak kebijakan pemerintah tersebut. Namun, seperti diduga banyak pihak, di belakang layar semangat mereka itu kempis. Tidak ada setitik ideologi yang mereka panggul dan perjuangkan sebagai sebuah keutamaan. Mereka sebenarnya telah menguliti rakyat yang selama ini menaruh harapan, mimpi, dan kepercayaan kepada mereka.

Selain itu, sebagai bagian dari kekuasaan, para partai koalisi pemerintah pada umumnya juga miskin semangat untuk menjaga nama baik (ngemong praja) pemerintah. Secara etis, seharusnya mereka mundur dari koalisi dan berdiri tegak sebagai partai oposisi. Akan tetapi, karena karakter mereka tidak utuh, meski sering kali berperilaku layaknya oposan, mereka tetap tidak mau hengkang dari nikmatnya duduk di kebun mawar kekuasaan.

Kasus mutakhir adalah sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam menghadapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Meski langkah PKS tersebut dengan alasan membela rakyat, jika melawan pemerintah secara terbuka seperti itu, dari awal seharusnya mereka mundur dari koalisi dan menarik semua menterinya dari kabinet. Tanpa mengambil langkah tersebut, sejatinya PKS tidak mengajarkan fatsun politik yang baik kepada generasi baru.

Komentar beberapa tokoh PKS yang mengatakan bahwa mereka adalah pengusung utama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal (2004) sebenarnya mementahkan kembali langkah yang sudah diambil. Akibatnya, berkembang persepsi bahwa sikap PKS menentang kenaikan harga BBM bukanlah sikap tulus. Jika PKS tidak hati-hati, pada pemilu nanti sebagian konstituennya akan lari ke partai-partai baru yang saat ini bergerak dinamis, seperti Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Nasional Demokrat (Nasdem), selain ke partai-partai besar yang sudah mapan.

Sanksi Konkret

Sebagai figur sentral dalam koalisi, idealnya SBY tidak menghindar dari asap, yaitu segera memberikan sanksi politik kepada PKS. Meski saya menduga, ia tidak akan mengeluarkan PKS dari koalisi. Apa pun sanksinya, itu harus konkret di mata publik, misalnya pengurangan jumlah menteri. Gagal mengelola masalah ini, secara hipotesis Presiden akan menghadapi api perlawanan terselubung yang lebih membara daripada sebelumnya, utamanya dari para mitra koalisi.

Sementara itu, pemerintah harus menghentikan sikap gampang menguliti rakyatnya dengan suatu kecemasan, seperti mengeluarkan pernyataan adanya ancaman kudeta. Ini absurd ketika semua komponen bangsa menjunjung konsensus nasional baru bernama demokrasi.

Saya membayangkan, apa kira-kira jawaban Uskup Soegija jika ditanya mengenai realitas tersebut. Mungkin beliau akan menjawab lembut, ”Sapientia est potensial” (kebijaksanaan adalah daya kekuasaan). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar