Selasa, 10 April 2012

Damai dan Cemas Pilkada Aceh


Damai dan Cemas Pilkada Aceh
Teuku Kemal Pasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh
SUMBER : KOMPAS, 10 April 2012



Setelah tertunda empat kali, akhirnya Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh berlangsung 9 April. Secara serentak, rakyat memilih gubernur serta 17 bupati dan wali kota dari 23 daerah tingkat dua di Aceh.

Perjalanan pilkada yang cukup terjal dan berliku ini merepresentasikan situasi di Aceh dan wajah perdamaian terakhir.

Keterjalan terjadi sejak Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006) pada 30 Desember 2010. Keputusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 itu sesungguhnya tidak salah. Tugas MK memang menggerai sisi-sisi yang tidak pas pada undang-undang agar sejalan dengan konstitusi. MK bahkan kembali memperkuatnya dengan surat keputusan Nomor 108/PHPU.D-X/2011 yang menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan nota kesepahaman (MOU) Helsinki.

Namun, keputusan itu membuat Partai Aceh (PA) gusar sehingga PA tetap bergeming tidak mendaftarkan diri. Melalui proses lobi yang panjang oleh Kementerian Dalam Negeri dan ”dibantu” keputusan MK pada 17 Januari 2012, PA akhirnya bersedia mendaftarkan kandidatnya untuk ikut serta. Keputusan MK Nomor 1/SKLN-X/2012 itu jadi jalan kompromi di tengah situasi kusut masai Aceh akibat teror dan pembunuhan berantai.

Para Kandidat

Akhirnya ada lima kandidat gubernur/wakil gubernur yang ikut bertarung. Para kandidat itu adalah 1) Tgk Ahmad Tajudin/Teuku Suriansyah 2) Irwandi Yusuf/Dr Muhyan Yunan 3) Prof Darni Daud/Dr Ahmad Fauzi 4) Muhammad Nazar/Nova Iriansyah dan 5) Zaini Abdullah/Muzakkir Manaf. Dari lima pasang, hanya dua yang berasal dari usungan parpol, yaitu pasangan Nazar/Nova (Partai Demokrat dan PPP) serta Zaini/Muzakkir (Partai Aceh). Selebihnya datang dari jalur independen.

Tajudin/Suriansyah adalah pasangan yang kompleks. Tajudin merupakan pimpinan salah satu pesantren terbesar di Aceh Besar dan Suriansyah mantan anggota DPR dari Aceh Utara. Sayang, keduanya tidak cukup mampu merepresentasikan potensi pemilih santri seluruh Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah dengan pemilih terbesar. Kemampuan agregasi suara hanya seputar wilayah Aceh Besar, sebagian kalangan santri di luar Aceh Besar, dan sedikit dari wilayah pesisir timur.

Irwandi/Muhyan dapat disebut sebagai pasangan pejabat politik dan karier. Irwandi adalah salah satu tokoh muda GAM yang paling menonjol saat perjanjian Helsinki, kemudian terpilih sebagai gubernur pada 2006. Ia dianggap cukup berhasil menjalankan program asuransi kesehatan (Jaminan Kesehatan Aceh/JKA). Adapun Muhyan, mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK), merupakan anak dari daerah tersisih: Aceh Selatan.

Pasangan di atas kemungkinan meraih suara di Bireuen sebagai daerah tingkat dua dengan daftar pemilih tetap (DPT) terbesar dan juga asal Irwandi serta pesisir barat-selatan. Meskipun menjadi petahana ”GAM” pertama dalam sejarah, ia saat ini ”digugat cerai” oleh PA sehingga masuk jalur independen.

Darni/Fauzi adalah pasangan akademikus. Darni adalah Rektor Universitas Syiah Kuala dan Fauzi adalah pengajar IAIN Ar-Raniry, dua kampus yang menjadi intelektual rakyat Aceh. Meskipun dalam sejarah Aceh telah sering dipimpin oleh gubernur berlatar belakang rektor, peruntungan mereka kali ini tidak sebaik posisi di perguruan tinggi masing-masing. Mereka kemungkinan mendapat dukungan dari Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Tamiang, tetapi bukan sebagai yang terunggul.

Pasangan Kejutan

Nazar/Nova dapat menjadi pasangan kejutan. Meskipun naik melalui Demokrat dan PPP, dukungan partai tersebut tidak sepenuh hati. Bisa jadi karena Nazar bukanlah kader tulen kedua partai itu. Di samping sebagai mantan wakil gubernur, Nazar juga pimpinan Partai SIRA, partai lokal yang gagal berkembang pada Pemilu 2009. Ia terpaksa mencari kendaraan politik lain karena tidak cukup dukungan. Ia juga tak berhasil mengapitalisasi keberhasilan pemerintahan Irwandi sebagai prestasi bersama.

Demikian pula Nova, meskipun ia anggota DPR dari Fraksi Demokrat, figurnya masih kalah populer dibandingkan dengan Ketua DPD Demokrat Aceh. Pasangan ini kemungkinan mendapatkan suara signifikan di daerah perkotaan, seperti Banda Aceh, Sabang, dan Langsa sebagai basis pemilih cerdas, serta Aceh Tengah dan Pidie Jaya sebagai kota asal kelahirannya.

Zaini/Muzakkir adalah pasangan terakhir yang mendaftar pilkada. Dengan basis dukungan PA yang cukup kuat, terutama di daerah bekas konflik, mereka cepat melesat sebagai pasangan paling unggul jika indikasinya adalah massa kampanye.
Zaini telah menjadi tokoh senior sejak era Hasan Tiro dan Muzakkir menjadi mantan panglima GAM sejak 2002. Pasangan ini akan mampu merajai wilayah pesisir timur (kecuali Bireuen) dan Aceh Jaya.

Pilkada Cemas

Secara keseluruhan hanya dua pasang calon yang akan beradu langsung, yaitu Irwandi/ Muhyan dan Zaini/Muzakkir dengan kuda hitam Nazar/Nova. Sebagai pasangan eks-kombatan (kecuali Muhyan), barisan mereka telah terbiasa dengan siasat, intrik, dan propaganda.

Saat kampanye dua pasang calon tersebut, sangat sering bergesekan sehingga timbul aksi kekerasan. Oleh karena itu, diharapkan euforia kampanye tidak berimbas pada saat pencoblosan. Jika itu terjadi, bangunan pasir perdamaian dan demokrasi Aceh akan hancur.

Meskipun tidak mengharap, potensi gagalnya pilkada demokratis tetap ada. Hal itu bisa dicegah jika pihak keamanan bisa bersikap tegas dan tidak menoleransi upaya apa pun untuk mengeruhkan proses demokrasi ini. Pilkada juga akan sukses jika Komisi Independen Pemilihan Aceh tetap konsisten sebagai penyelenggara yang adil, jujur, dan demokratis.

Beberapa penelitian terakhir memang menunjukkan Aceh berada dalam situasi rawan. Penyebabnya adalah proses demokratisasi yang tumbuh terlalu cepat tanpa diikuti penguatan institusi, sehingga menjadi demokrasi yang prematur. Inilah yang ditakutkan akan terpeleset ke arah otoriterisme dan membiakkan kultur politik kekerasan. Salah satunya jika pilkada kali ini gagal menjadi pesta demokrasi prosedural yang bersih dan mewakili vox populi (Van Klinken 2009, Aspinal 2010).

Pilihan ada di tangan masyarakat Aceh untuk memilih dengan penuh keluasan hati dan pikiran. Harapannya, yang terpilih akan melepaskan Aceh dari ketertinggalan ekonomi, pendidikan, dan budaya, termasuk sisa sakit akibat konflik dan tsunami. Bagi kandidat yang kalah, berlapang dadalah. Mari bergenggaman tangan memajukan Aceh, tanoh indatu wareh aulia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar