RUU
Pertanahan dan Nasib UUPA
Bambang Sadono, Dosen Hukum Agraria FH Universitas Semarang
SUMBER : SUARA KARYA, 19 April 2012
Inisiatif Komisi II DPR untuk mengawal RUU Pertanahan menimbulkan
pertanyaan, akan dibawa ke mana UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)?
Pertanyaan itu makin menguat ketika DPR berpendapat bahwa RUU Pertanahan akan
diposisikan sebagai UU baru, tanpa merevisi atau mengganti UUPA.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, Hakam Naja, UUPA mengatur
tentang tanah, air, dan udara secara prinsip, yang kemudian dijabarkan dalam
beberapa UU, antara lain UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air.
Karena itu, UU Pertanahan yang akan dibuat, diposisikan untuk menjabarkan UUPA
lebih dalam lagi, khusus di bidang pertanahan.
RUU Pertanahan, antara lain, merancang konsep tentang kepemilikan
tanah, yang sering menimbulkan persoalan di masyarakat, bahkan bisa merebak
menjadi konflik yang rumit dan melibatkan banyak pihak, bahkan sampai
menimbulkan amuk massa yang meminta korban jiwa. RUU itu, misalnya, akan
mengatur kembali mengenai hak guna usaha (HGU) yang selama ini bisa diberikan
secara tidak terbatas luasannya, sementara hak perseorangan dibatasi. Juga akan
lebih didetailkan domain pemerintah daerah dalam pengelolaan tanah.
Memang, akan sulit dimengerti bagaimana ada UU baru yang mengatur
masalah yang sama, tanpa mengubah undang-undang yang sudah ada. Hak-hak atas
tanah, misalnya, sudah diatur dalam UUPA. Baik yang menyangkut hak milik (HM),
hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai (HP), dan sebagainya.
Kalau pengaturannya akan menguatkan, apalagi mengubah, atau setidaknya lebih
memerinci, apakah mungkin tanpa menyebut UUPA? Kalau menyebut, bagaimana pertautannya?
Posisi UUPA, dengan nama UU Pokok, sudah potensial merepotkan
sejak kelahirannya. Memang pada tahun 1960-an, banyak undang-undang yang
menggunakan istilah UU Pokok. Selain UUPA, tahun 1957 ada UU Pokok Pemerintahan
Daerah, kemudian UU 18/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian, UU
11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU 5/1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan, UU 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan sebagainya.
Sampai dengan lahirnya UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, tidak pernah muncul terminologi mengenai undang-undang
pokok. Artinya, tidak mungkin satu UU berkedudukan lebih tinggi dari UU yang
lain. Bahkan dalam praktik pembuatan UU, penggunaan istilah undang-undang pokok
juga menghilang dari wacana legislasi Indonesia.
Walau secara yuridis pemberian nama undang-undang pokok tidak
mempunyai makna khusus, namun menurut pakar hukum agraria Prof Budi Harsono,
setidaknya pemberian nama UU Pokok mengandung informasi bahwa UUPA baru berisi
konsepsi, asas-asas, serta ketentuan-ketentuan dalam garis besar saja,
sedangkan penjabarannya akan diatur oleh peraturan perundangan lain, baik dalam
bentuk UU maupun dalam bentuk peraturan perundangan yang lebih rendah
tingkatannya.
Makin aneh kalau UU di bidang pertambangan dan kehutanan dianggap
sebagai bagian dari UUPA. Sebab, kedua UU di bidang agraria tersebut juga
menggunakan terminologi undang-undang pokok. Inilah salah satu penyebab masalah
agraria yang kompleks karena sudah pabaliut sejak dari pengaturannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar