Momok Itu
Masih Bernama UN
Djoko Dwi Hastanto, Wartawan Suara Merdeka Biro Solo
SUMBER : SUARA MERDEKA, 19 April 2012
"Kenapa
pemerintah tak menekan pengelola PTN agar mau mengakui hasil UN SMA guna
memasuki jenjang pendidikan tinggi"
HINGGA saat ini ujian nasional (UN) masih
menjadi momok siswa. Padahal, porsi ujian sudah dikurangi dari 100 % untuk
menentukan kelulusan siswa menjadi hanya 60 %. Selebihnya ditentukan oleh nilai
ujian sekolah. Namun ujian itu masih menjadi sesuatu yang sangat menakutkan
sehingga penyikapannya secara berlebihan, baik siswa maupun sekolah (guru dan
kepala sekolah).
Bahkan pemerintah pun menyikapi tak
sewajarnya. Lihat saja sekolah yang memberikan pelajaran tambahan ekstra sejak
semester II, bahkan tidak jarang dari semester awal. Pelajaran tambahan dari
jam ke-0 hingga tambahan jam ke-9, bahkan jam ke-10. Siswa pulang sekolah pukul
15.00, padahal masuk pukul 06.00-07.00.
Itu masih perlakuan wajar dan baik karena
masih mengandung nilai akademis. Terlebih mengingat waktu belajar siswa pada
semester II, yang hanya tiga bulan. Pertengahan April, bagi siswa setingkat
SMA/ MA/ SMK, sudah harus mengikuti ujian. Bahkan Februari lalu sudah mulai
ujian sekolah.
Yang tidak wajar adalah ketika perilaku yang
sama sekali tidak berkaitan dengan masalah akademis. Ada yang menyuruh siswa
mencium kaki gurunya yang sudah diberi kembang setaman. Ada yang riyadhoh di
depan makam orang yang dianggap orang saleh atau wali.
Ada guru yang menyuruh siswanya memotong
tumpeng, kendurian bersama membaca berbagai rapal. Ada yang tahlilan dan
yasinan. Ada lagi yang beberapa kali menggelar ESQ, ada yang tahlilan bersama
di masjid, dan sebagainya.
Kalau hal itu hanya dilakukan menjelang UN,
apakah tidak berarti sikap berlebihan? Kenapa tidak sejak kelas 1? Kenapa tidak
dilakukan sejak SD? Kenapa tidak dilakukan dan menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan secara nasional?
Artinya, memang semua mendudukkan UN pada
porsi yang harus disikapi secara berlebihan. Sama ketika ujian itu masih
menjadi satu-satunya penentu kelulusan, yang kemudian diprotes karena hanya
mengukur proses pendidikan 3 tahun, hanya dengan sekali ujian dan hanya 4 mata
pelajaran.
Alat
Pemetaan
Masih ada lagi, kebanggaan semu pemerintah
(daerah) ketika mengumumkan daerahnya berhasil meluluskan sampai 100 % siswa yang
mengikuti ujian sekolah. Itulah kebanggan semu yang sebetulnya —mungkin—
diperoleh dengan cara membiarkan terjadinya kecurangan saat ujian karena target
kelulusan menjadi ukuran keberhasilan pendidikan.
Jika memang menyelenggarakan unian nasional,
semestinya seluruh jenjang pendidikan menggunakannya sebagai tolok ukur. Tidak
seperti saat ini, hanya SD, SMP dan SMA yang harus mengikuti, sementara
hasilnya tidak diakui oleh kalangan perguruan tinggi.
Kalau sudah seperti itu, masing-masing
jenjang pendidikan tidak saling mengakui, atau paling tidak jenjang tertinggi
tidak mengakui hasil UN SMA. Lalu buat apa meributkan kelulusan ujian
itu, bahkan kemudian menyikapi dengan aneka persiapan nonakademis?
Kenapa pemerintah tidak menekan pengelola PTN
agar mau mengakui hasil ujian nasional SMA guna memasuki jenjang pendidikan
tinggi? Apakah mereka tidak masuk dalam jajaran pengelolaan pendidikan sehingga
benderanya bukan Merah Putih?
Karena itulah sudah saatnya semua merenungkan
kembali, apa dan bagaimana sikap yang sudah dilakukan dalam menghadapi ujian
nasional. Jika memang tak perlu menghadapi dengan segala sikap heboh itu,
seharusnya dari pemerintah sampai pengelola sekolah dan orang tua, tak perlu
ikut heboh. Pasalnya, ujian itu hanya untuk pemetaan bukan penentu kelulusan.
Toh tak ada manfaatnya untuk menghadapi jenjang pendidikan di atasnya,
khususnya dari SMA ke PTN.
Yang lebih penting, perlu menanamkan sikap
jujur sejak anak duduk di SD, bahkan PAUD. Aparat pemerintah, pimpinan negeri,
kepala daerah, kepala sekolah, guru, harus bisa menjadi contoh utama bagaimana
menjadi orang jujur. Dengan cara itu, UN tidak akan menjadi momok, karena semua
pihak sudah menjadi orang jujur, dan menghargai apapun hasil ujian itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar