Rabu, 04 April 2012

Refleksi atas Myanmar


Refleksi atas Myanmar
Dinna Wisnu, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SUMBER : SINDO, 04 April 2012



Siapa tak kenal dengan Aung San Suu Kyi? Wanita asal Myanmar atau Burma ini adalah pemenang Nobel Perdamaian 1991 yang dikenal luas sebagai pejuang demokrasi.
Selama lebih dari 19 tahun dia diberi status pembangkang politik oleh pemerintah junta militer di negerinya dan karenanya dijatuhi hukuman tahanan rumah dan diputus dari hubungan dengan anggota keluarganya. Dua hari lalu partai yang dipimpinnya, National League Democracy (NLD), meraih mayoritas suara dari 10% suara di parlemen yang diperebutkan dalam pemilu sela. Dunia bertanya-tanya apakah makna kemenangan ini? Dari segi angka, kemenangan NLD dalam pemilu sela kali ini tidak berarti kemulusan jalan menuju “Myanmar-1”. Jumlah kursi yang diperebutkan dalam pemilu sela ini sangatlah kecil.

Aung San Suu Kyi baru akan menjadi anggota parlemen, berhadapan dengan tokoh- tokoh militer. Sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda bahwa junta militer di Myanmar akan pulang ke barak. Hal yang menarik justru kerendahan hati Suu Kyi dalam mengikuti prosedur pemilu, meski dia punya banyak pendukung dan pada 1990 bersama NLD telah meraup suara mayoritas untuk memperebutkan seluruh kursi di parlemen.

Dia juga tegar memperjuangkan demokrasi secara bertahap, meskipun di bawah tekanan politik yang sangat besar. Ia mau ikut aturan yang diberikan pemerintah, meski para pendukungnya kerap keberatan. Kesehatan wanita berusia 66 tahun ini pun terbilang jatuh bangun. Dalam persiapan pemilu kali ini saja dia sempat sakit.Namun dengan mantap dia menginspirasi publik bahwa sejak bebas dari tahanan rumah dia tetap berkomitmen tinggi untuk menjamah langsung kehidupan penduduk Myanmar.

Ia melakoni perjalanan ribuan kilometer untuk berkampanye bagi partainya, meski partai berkuasa, Union Solidarity and Development Party, tak henti-hentinya melakukan tekanan politik maupun psikologis padanya. Aung San Suu Kyi justru dengan mantap berkata, “Kami berharap agar orang-orang berpartisipasi dalam proses demokrasi.” Di sisi lain, pengalaman Myanmar ini memunculkan refleksi khusus tentang negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang sedang berjuang menjalankan demokrasi.

ASEAN punya Bali Democracy Forum, yakni forum tukar pendapat dan pengalaman tentang perjalanan demokrasi di negara-negara Asia-Pasifik yang waktu pembentukannya pada 2008 diharapkan mampu mengidentifikasi praktik-praktik terbaik dalam berdemokrasi agar bisa diterapkan di kawasan ini. Indonesia termasuk yang menjunjung tinggi forum ini. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pembentukan Institute for Peace and Democracy sebagai hasil kerja sama dengan Universitas Udayana di Bali untuk mendukung langkah Bali Democracy Forum. Apa hasilnya?

Tiap bulan Desember terselenggara forum tukar pendapat itu. Sudah empat kali forum itu terselenggara. Tetapi hasil konkretnya harus diakui masih jauh dari harapan. Di tataran diplomasi, forum itu memang menggalang perhatian pada isu-isu penerapan prinsip berdemokrasi. Untuk Myanmar, forum itu menjadi inspirasi bahwa ASEAN pun peduli akan terlaksananya pemilu yang jujur dan adil di sana.Tetapi perlu diakui bahwa forum itu belum berhasil menggalang dukungan bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih luas di negara-negara ASEAN lain.

Dalam pertemuan yang digagas oleh Program Kemitraan United Nations Development Programme (UNDP) dan Kementerian Bappenas bulan lalu, muncul suatu kenyataan bahwa demokrasi masih dimaknai berbeda-beda di kawasan Asia. Di Vietnam, Kamboja, bahkan China, tidak ada kosakata demokrasi seperti yang dipahami oleh konteks politik modern saat ini. Demokrasi dalam benak mereka lebih mirip dengan konsep demokrasi terpimpin di mana seorang kepala negara memainkan peranan sentral dalam mengarahkan pencapaian demokrasi (seperti terlaksananya pelayanan publik yang bermutu dan kesejahteraan yang meluas).

Jadi soal ada tidaknya sistem multipartai, kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berserikat, atau perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak masuk dalam agenda prioritas. Mereka lebih mengutamakan sosialisasi label demokrasi sebagai alat untuk mendatangkan kesejahteraan dan meningkatkan partisipasi politik dalam mendukung pemerintah. Dalam konteks berdemokrasi, pihak pemimpin yang berkuasa di negara-negara tersebut memang melibatkan partisipasi masyarakat yang cukup luas, khususnya dari kalangan akademisi dan penggiat isu-isu sosial.

Namun,pada saat yang sama, individu dan kelompok yang terlibat tadi seperti punya self-censorship (sensor otomatis) untuk tidak mengutak-atik minat pemerintah untuk lebih mengakui keberadaan mereka sebagai pembentuk opini publik. Mereka justru waswas jika mereka tidak patuh dan tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah, maka ruang “berdemokrasi” tadi justru akan tergerus. Prinsip seperti ini sesungguhnya mirip juga dengan yang dijalankan oleh Singapura ataupun Malaysia. Jadi, sistem multipartai seperti yang dijalankan Indonesia serta Filipina adalah bentuk kerepotan politik yang ujungnya justru dianggap tidak menghasilkan buah yang diharapkan.

Gerak-gerik Aung San Suu Kyi menjadi indikator menarik tentang batasan-batasan berdemokrasi yang saat ini bisa diterima di Asia. Kalau kita gandengkan dengan tren model pengelolaan ekonomi terkini, yakni state led capitalism, di mana negara memainkan peranan penting dalam mengarahkan dan menuntun kapitalisme, pemahaman demokrasi di Asia tadi menemukan jodohnya. Mereka memilih untuk mengerahkan energi dan perhatian pada proses pengambilan kebijakan yang efisien dengan hasil yang efektif dan terjamin, termasuk bagi para investor dan sektor swasta.

Di sisi lain, ASEAN sesungguhnya sudah sepakat untuk memberikan hak-hak sosial,politik, maupun ekonomi yang seutuhmungkinkepadawarganya. Visi ASEAN 2020 dengan tiga pilarnya sudah menggarisbawahi itu. Jadi, sebenarnya tidak ada ruang lagi untuk memperdebatkan apakah sistem multipartai atau kebebasan berpendapat atau berserikat serta perlindungan hak asasi manusia perlu dijalankan dan merupakan bagian dari praktik demokrasi yang akan diterapkan di ASEAN.Jawaban seharusnya: “ya.” Di sinilah peranan Indonesia menjadi sangat sentral untuk meyakinkan tetanggatetangganya bahwa demokrasi tidak akan mengorbankan nasib penduduk, apalagi yang sudah berpartisipasi aktif menjaga rambu-rambu demokrasi.

Untuk itu, Indonesia pun perlu berbenah diri agar roda pemerintahan yang efektif dan menyejahterakan rakyat dapat dijalankan, meskipun parlemen dan pemerintah saling berbeda pendapat. Roda birokrasi yang profesional dan andal wajib ada. Pemilahan itu perlu diangkat dalam forum diplomasi. Dan sudah selayaknya Indonesia bergegas membenahi birokrasinya juga agar kegiatan memperkenalkan demokrasi di tataran diplomasi tidak berhenti di bibir saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar