Transformasi Koalisi
Purwo Santoso, Guru Besar, Ketua Jurusan Politik dan
Pemerintahan,
Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUMBER : SINDO, 04 April 2012
Koalisi
partai-partai politik yang beranggotakan Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai
Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa,
untuk sementara gagal mengukuhkan kehendak pemerintah: menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) pada 1 April 2012.
Koalisi
ini melunak setelah terbentur kerasnya koalisi-advokasi yang melawan kehendak
mereka. Ketegangan sempat terjadi ketika masing-masing kubu bersikeras dengan
kemauannya. Sementara berbagai segmen masyarakat juga berkoalisi mendukung
perlawanan terhadap koalisi partaipartai pemerintah. Kiranya menarik ditelaah
bagaimana benturan koalisi telah menjadi penentu keputusan kebijakan.
Penggalangan dan ekspresi kemarahan publik dari kubu antikenaikan harga BBM
memang telah menahan kenaikan harga BBM.
Penentuan kebijakan berbasis koalisi-advokasi ini pun tidak komprehensif. Obsesi dari koalisi adalah mengalahkan lawan, bukan mengatasi masalah kebijakan. Sebagai contoh, saat ini, tepatnya ketika sedang berada di luar lingkaran koalisi, PDIP terlihat gagah berani menolak kenaikan harga BBM.Namun,partai ini tidak selalu punya cukup nyali mengerem ketua umumnya (Ibu Megawati) menahan kenaikan harga BBM saat menjabat sebagai presiden.
Berangkat dari pengamatan sekilas ini, terlihat bahwa pemerintahan yang berpilarkan koalisi lebih banyak menghabiskan energi untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Terpencarnya perpolitikan di negeri ini pada berbagai aliansi kepartaian, menjadikan siapa pun presidennya kecanduan koalisi. Akibatnya hanya sedikit sisa energi untuk menangani pokok permasalahan bangsa ini.
Heroisme Semu
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha meyakinkan publik bahwa menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir (terburuk). Sungguhpun demikian, tidak cukup bukti bahwa langkah-langkah mendasar telah ditempuh sebelum mengagendakan kenaikan harga BBM.
Dalam ketidakefektifan kebijakan- kebijakan yang dicobakan, pilihan pemerintah adalah memanfaatkan kekuatan koalisinya di DPR untuk mengukuhkan agenda: menaikkan harga BBM. Penggalangan kekuatan untuk berkoalisi menandai sempitnya ruang untuk mengasah kearifan . Penentuan kebijakan berbasis kemenangan koalisi-advokasi mengidap kelemahan asali. Target dari setiap koalisi adalah kemenangan, bukannya selesainya permasalahan. Koalisi mustahil dapat menjangkau akar masalah kebijakan. Bingkai “kalah-menang” bukan hanya menjebak kedua pihak memboroskan energi-publik, namun juga menumpulkan kearifan ataupun kebijaksanaan.
Koalisi hanya menyelesaikan masalahnya pemenang, bukan masalah publik. Karena terobsesi untuk menang, di posisi manapun seseorang dalam koalisi-advokasi, tidak akan sempat memikirkan solusi mendasar. Kalaulah klausul dalam Undang-Undang Dasar bahwa pengendalian harga BBM harus dilakukan demi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” terus disitir, masing-masing kubu tidak akan sempat menawarkan solusi konkret yang realistis namun efektif.
Koalisi niscaya terjebak dalam perjuangan yang dangkal, kalau bukan heroisme semu. Dari segi substansi kebijakan, menaikkan harga BBM juga adalah solusi permasalahan energi yang levelnya permukaan. Yang menyetujui harga tidak naik juga tidak otomatis menjadi lebih sejahtera, atau berkurang penderitaannya, karena kebijakan itu.
Reframing
Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, sejumlah tantangan baru perlu dikedepankan dan dicarikan solusi. Dalam konteks inilah, transformasi koalisi-advokasi sangat didambakan. Langkah-langkah untuk mengharamkan koalisiadvokasi tentulah tidak akan populer. Yang diperlukan adalah reframing agenda yang diadvokasikan, dengan demikian mengubah komposisi aktoraktor yang dilibatkan.Sekadar sebagai ilustrasi, beberapa observasi sederhana berikut ini menarik untuk disimak.
Pertama, advokasi hemat BBM. Indonesia tidak lagi netexporter minyak bumi. Sementara itu, total konsumsi kita yang terus meningkat. Padahal, konsumennya adalah kita sendiri. Di sini advokasi yang digalang, dialamatkan pada diri kita semua. Arah advokasinya pun perlu digeser, tidak lagi pada naik tidaknya harga, tetapi pola konsumsi BBM. Kedua, proteksi terhadap kelompok miskin. Dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap orang-orang miskin tidak sulit untuk dibayangkan.
Dalam konteks ini, pemerintah ternyata hanya bermain-main dengan istilah. Pemerintah terkesan bersimpati kepada orang miskin dengan melabeli program- program penanggulangan kemiskinan—yang sebetulnya telah ada sejak dahulu—sebagai paket-paket kompensasi. Dalam soal inilah, koalisi advokasi diperlukan untuk menggulirkan agenda baru. Pertama-tama koalisi advokasi perlu digalang untuk memastikan bahwa negara tahu secara akurat siapa saja warga negaranya. Yang terlebih dahulu harus dituntaskan adalah database yang memuat identitas detail setiap warga negara.
Dengan database itulah, negara dalam mengirim secara akurat subsidi bagi yang tidak mampu. Kalau perlu, subsidi itu dikirim langsung ke rekening masing-masing warga negara. Setelah terpenuhi prasyarat itu, barulah negara dapat memberikan topping subsidi yang dikaitkan dengan BBM. Terlepas dari naik-turunnya harga BBM, negeri ini mendambakan tampilnya para pemimpin yang sanggup me-reframe koalisi dengan mengedepankan tantangan-tantangan yang sejauh ini ada di bawah pemukaan. Yang disampaikan di atas hanyalah sebagian kecil contoh yang bisa dikedepankan.
Tantangannya adalah melakukan agenda setting secara besar-besaran, dan dengan demikian mengubah peta kontroversi. Inti dari agenda setting ini adalah melakukan internalisasi berbagai hal yang kita biarkan sebagai eksternalitas. Koalisi advokasi bisa dan perlu digalang untuk memelopori gerakan hemat energi, dan gerakan memupus kebiasaan boros energi sambil terus menyalah-nyalahkan pemerintah.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia perlu mengembangkan kecerdasan kolektif, membiasakan hemat energi-publik, termasuk ketika mengatasi masalah energi (dalam hal ini: harga BBM). Transformasi koalisi kiranya adalah batu pijakan penting untuk meniti masa depan. ●
Penentuan kebijakan berbasis koalisi-advokasi ini pun tidak komprehensif. Obsesi dari koalisi adalah mengalahkan lawan, bukan mengatasi masalah kebijakan. Sebagai contoh, saat ini, tepatnya ketika sedang berada di luar lingkaran koalisi, PDIP terlihat gagah berani menolak kenaikan harga BBM.Namun,partai ini tidak selalu punya cukup nyali mengerem ketua umumnya (Ibu Megawati) menahan kenaikan harga BBM saat menjabat sebagai presiden.
Berangkat dari pengamatan sekilas ini, terlihat bahwa pemerintahan yang berpilarkan koalisi lebih banyak menghabiskan energi untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Terpencarnya perpolitikan di negeri ini pada berbagai aliansi kepartaian, menjadikan siapa pun presidennya kecanduan koalisi. Akibatnya hanya sedikit sisa energi untuk menangani pokok permasalahan bangsa ini.
Heroisme Semu
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha meyakinkan publik bahwa menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir (terburuk). Sungguhpun demikian, tidak cukup bukti bahwa langkah-langkah mendasar telah ditempuh sebelum mengagendakan kenaikan harga BBM.
Dalam ketidakefektifan kebijakan- kebijakan yang dicobakan, pilihan pemerintah adalah memanfaatkan kekuatan koalisinya di DPR untuk mengukuhkan agenda: menaikkan harga BBM. Penggalangan kekuatan untuk berkoalisi menandai sempitnya ruang untuk mengasah kearifan . Penentuan kebijakan berbasis kemenangan koalisi-advokasi mengidap kelemahan asali. Target dari setiap koalisi adalah kemenangan, bukannya selesainya permasalahan. Koalisi mustahil dapat menjangkau akar masalah kebijakan. Bingkai “kalah-menang” bukan hanya menjebak kedua pihak memboroskan energi-publik, namun juga menumpulkan kearifan ataupun kebijaksanaan.
Koalisi hanya menyelesaikan masalahnya pemenang, bukan masalah publik. Karena terobsesi untuk menang, di posisi manapun seseorang dalam koalisi-advokasi, tidak akan sempat memikirkan solusi mendasar. Kalaulah klausul dalam Undang-Undang Dasar bahwa pengendalian harga BBM harus dilakukan demi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” terus disitir, masing-masing kubu tidak akan sempat menawarkan solusi konkret yang realistis namun efektif.
Koalisi niscaya terjebak dalam perjuangan yang dangkal, kalau bukan heroisme semu. Dari segi substansi kebijakan, menaikkan harga BBM juga adalah solusi permasalahan energi yang levelnya permukaan. Yang menyetujui harga tidak naik juga tidak otomatis menjadi lebih sejahtera, atau berkurang penderitaannya, karena kebijakan itu.
Reframing
Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, sejumlah tantangan baru perlu dikedepankan dan dicarikan solusi. Dalam konteks inilah, transformasi koalisi-advokasi sangat didambakan. Langkah-langkah untuk mengharamkan koalisiadvokasi tentulah tidak akan populer. Yang diperlukan adalah reframing agenda yang diadvokasikan, dengan demikian mengubah komposisi aktoraktor yang dilibatkan.Sekadar sebagai ilustrasi, beberapa observasi sederhana berikut ini menarik untuk disimak.
Pertama, advokasi hemat BBM. Indonesia tidak lagi netexporter minyak bumi. Sementara itu, total konsumsi kita yang terus meningkat. Padahal, konsumennya adalah kita sendiri. Di sini advokasi yang digalang, dialamatkan pada diri kita semua. Arah advokasinya pun perlu digeser, tidak lagi pada naik tidaknya harga, tetapi pola konsumsi BBM. Kedua, proteksi terhadap kelompok miskin. Dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap orang-orang miskin tidak sulit untuk dibayangkan.
Dalam konteks ini, pemerintah ternyata hanya bermain-main dengan istilah. Pemerintah terkesan bersimpati kepada orang miskin dengan melabeli program- program penanggulangan kemiskinan—yang sebetulnya telah ada sejak dahulu—sebagai paket-paket kompensasi. Dalam soal inilah, koalisi advokasi diperlukan untuk menggulirkan agenda baru. Pertama-tama koalisi advokasi perlu digalang untuk memastikan bahwa negara tahu secara akurat siapa saja warga negaranya. Yang terlebih dahulu harus dituntaskan adalah database yang memuat identitas detail setiap warga negara.
Dengan database itulah, negara dalam mengirim secara akurat subsidi bagi yang tidak mampu. Kalau perlu, subsidi itu dikirim langsung ke rekening masing-masing warga negara. Setelah terpenuhi prasyarat itu, barulah negara dapat memberikan topping subsidi yang dikaitkan dengan BBM. Terlepas dari naik-turunnya harga BBM, negeri ini mendambakan tampilnya para pemimpin yang sanggup me-reframe koalisi dengan mengedepankan tantangan-tantangan yang sejauh ini ada di bawah pemukaan. Yang disampaikan di atas hanyalah sebagian kecil contoh yang bisa dikedepankan.
Tantangannya adalah melakukan agenda setting secara besar-besaran, dan dengan demikian mengubah peta kontroversi. Inti dari agenda setting ini adalah melakukan internalisasi berbagai hal yang kita biarkan sebagai eksternalitas. Koalisi advokasi bisa dan perlu digalang untuk memelopori gerakan hemat energi, dan gerakan memupus kebiasaan boros energi sambil terus menyalah-nyalahkan pemerintah.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia perlu mengembangkan kecerdasan kolektif, membiasakan hemat energi-publik, termasuk ketika mengatasi masalah energi (dalam hal ini: harga BBM). Transformasi koalisi kiranya adalah batu pijakan penting untuk meniti masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar