Minyak dan Kegalauan Rakyat
A Tony Prasetiantono, Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP)
UGM,
Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 04 April 2012
Harga bahan bakar minyak bersubsidi memang
tidak jadi dinaikkan pada 1 April 2012, tetapi sesungguhnya krisis minyak sama
sekali belum berakhir.
Peluang terjadinya kenaikan harga BBM
bersubsidi tetap mengintai pada bulan-bulan mendatang. Pemerintah diizinkan
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jika rata-rata Indonesian
crude oil price mencapai 120,75 dollar AS selama enam bulan. Hari-hari ini,
harga minyak dunia (Brent) mencapai 125 dollar AS per barrel. Ini rekor
tertinggi ketiga dunia sesudah 147 dollar AS (Juli 2008) dan 128 dollar AS
(awal Maret 2012). Sesudah krisis utang Yunani sedikit mereda, perekonomian
dunia kini kembali berisiko terkena krisis karena harga minyak cenderung ”liar”.
Bahkan, di AS, Presiden Obama dipaksa
berpikir untuk membongkar cadangan minyak strategisnya guna menaikkan suplai
dunia. Sejak 1975, AS giat menimbun minyak sebagai cadangan jika terjadi
penurunan pasokan, termasuk menghadapi, misalnya, badai Katrina pada 2005.
Diperkirakan, AS kini menyimpan 700 juta barrel, yang jika dilepas dapat
menurunkan harga minyak dunia, memperbaiki perekonomian global, sekaligus
membantu Obama dalam pemilihan presiden mendatang (The Economist,
24-30/3/2012).
Sebenarnya harapan terbesar menurunkan harga
minyak terletak pada Arab Saudi. Negara ini memang bisa menghasilkan minyak 10
juta barrel sehari. Namun, masalahnya, Arab Saudi juga mengalami persoalan
lonjakan kenaikan konsumsi yang besar. Selama periode 2000-2010, konsumsi Arab
Saudi meningkat 78 persen atau hanya kalah dibandingkan dengan China (90
persen) dan Singapura (84 persen). Konsumsi Arab Saudi tinggi karena penggunaan
pendingin udara (AC) dan meningkatnya mobil pribadi.
Negara yang pertumbuhan konsumsinya tinggi
adalah Uni Emirat Arab (72 persen), India (47 persen), Thailand (35 persen),
Iran (38 persen), Brasil (29 persen), serta Rusia dan Kanada (18 persen).
Yang menarik, Indonesia ternyata bukan negara
yang pertumbuhan konsumsinya tinggi. Saat ini, konsumsi minyak Indonesia ”hanya” sekitar 1,3 juta barrel daripada
produksinya (lifting) yang 900.000 barrel per hari. Dari kategorisasi yang
dibuat Deutsche Bank (The Economist, 31/3/2012-6/4/2012), Indonesia merupakan
negara yang pertumbuhan konsumsinya masuk dalam kelompok terkecil, yakni
sekitar 300.000 barrel dalam 10 tahun terakhir. Dari sisi ini, sebenarnya
Indonesia termasuk yang ”tidak rakus”.
Negara paling ”rakus” adalah China
yang bahkan sudah menyalip AS sejak 2010.
Dari produksi 900.000 barrel, ada yang
diekspor sehingga menghasilkan banyak devisa. Namun, karena operator minyak
terbesar di Indonesia adalah asing, sementara Pertamina adalah minoritas,
devisa yang diperoleh harus dibagi hasil antara Indonesia dan operator asing.
Kita juga masih harus mengimpor minyak guna
memenuhi konsumsi domestik. Kondisi ini terbalik dengan situasi pada dasawarsa
1980 dan 1990-an. Saat itu, puncak produksi minyak kita pernah mencapai 1,6
juta barrel sehari, dengan konsumsi hanya 800.000 barrel sehingga kita nyaman
menjadi eksportir yang cukup signifikan dan menjadi anggota OPEC.
Biaya Produksi
Beberapa pihak mencoba berargumentasi bahwa
sesungguhnya subsidi BBM tak diperlukan dalam APBN karena biaya produksi lebih
rendah daripada harga jual. Pernyataan ini tentu saja cenderung misleading. Biaya menyedot minyak dari
perut bumi memang relatif murah, apalagi jika dilakukan di padang pasir. Biaya
produksi termurah di dunia adalah di Arab Saudi, yaitu 3-5 dollar AS per
barrel, padahal harga jualnya sekarang 125 dollar AS per barrel. Berarti di
sini terdapat biaya oportunitas (opportunity
cost) amat lebar.
Di Indonesia, biaya produksi memang lebih
tinggi daripada di Arab Saudi, apalagi banyak sumur minyak kita berada di
tengah lautan yang teknis produksinya lebih sulit dan mahal. Namun, tetap saja
biaya produksi BBM kita diperkirakan hanya Rp 3.000 per liter. Kalau ditambah
dengan biaya distribusi, paling hanya Rp 3.500 per liter. Namun, masalahnya (1)
konsumsi kita lebih tinggi daripada produksi sehingga harus mengimpor minyak
yang harus dibeli dengan harga pasar; (2) operator minyak kita kebanyakan
asing, bukan Pertamina sehingga harus berbagi hasil. Akibatnya, subsidi BBM
menjadi tak terhindarkan dalam APBN Indonesia.
Subsidi BBM tidak hanya terjadi di Indonesia,
tetapi juga sudah menjadi persoalan di hampir seluruh dunia. Menurut International Energy Agency (2012),
kenaikan harga minyak internasional pada 2010 telah menyebabkan tambahan
subsidi sebesar 192 miliar dollar AS, di mana negara-negara OPEC menyumbang 121
miliar dollar AS. Pengertian subsidi di sini adalah ketika APBN disusun dengan
patokan harga minyak di pasar dunia, jadi bukan harga produksinya. Sebab, jika
patokannya harga produksi, akan terdapat biaya oportunitas yang harus
ditanggung oleh negara.
Karena subsidi yang semakin besar dan sulit
ditoleransi APBN, atas nama keberlanjutan fiskal, banyak negara produsen
minyak—bahkan termasuk Arab Saudi yang memiliki cadangan terbesar di dunia
hingga 2030—yang berusaha memangkas subsidi. Namun, ini sulit dilakukan karena
sering menimbulkan resistensi. Kekerasan di Nigeria, Januari lalu, contohnya.
Indonesia kemudian menyusul pekan lalu. Praktis hanya Iran yang relatif sukses
mengelola kenaikan harga BBM bersubsidi. Mungkin karena pemerintah mendapat
dukungan simpati dari rakyatnya.
Prospek Harga Minyak
Prospek penurunan harga minyak dunia masih
tergantung pada beberapa hal. Pertama, apakah konflik Iran versus Barat (AS dan
Eropa) bisa diredakan. Jika Barat menyadari bahwa konflik ini tidak produktif
bagi perekonomian global, mestinya suhu konflik bisa diredakan. Ini tergantung
seberapa besar Barat mengelola ego mereka. Kedua, jika Presiden Obama
memutuskan untuk menambah pasokan minyak dunia melalui pengurangan cadangan
minyaknya, akan bagus bagi dirinya menjelang pemilihan presiden AS. Saat ini
perekonomian AS mulai bersemi, yang ditandai dengan penurunan angka
pengangguran secara signifikan dari 10 persen menjadi 8,3 persen.
Namun, jika hal-hal tersebut tak terjadi dan
harga minyak dunia terus naik, sementara kondisi fiskal kita terus tertekan
karena batas subsidi adalah Rp 178 triliun, pemerintah terpaksa harus menaikkan
harga BBM. Waktu terbaik adalah sesudah Lebaran, yang biasanya terjadi
relaksasi inflasi. Pemilihan waktu yang tepat merupakan sebuah persyaratan yang
diperlukan meski tetap belum cukup (it’s
necessary condition, but still unsufficient).
Masih ada syarat lain. Kita perlu belajar
dari Iran, mengapa mereka bisa meredam kegalauan rakyatnya? Tampaknya, kuncinya
terletak pada kualitas kepemimpinan dan keteladanan para pemimpin. Hal inilah
yang masih harus diperjuangkan untuk ditegakkan oleh pemerintah kita. Bagaimana
mengambil hati rakyatnya sehingga mau memahami dan mengizinkan pemerintah untuk
mengurangi subsidi (menaikkan harga) BBM? Pemerintah yang jujur, sarat
keteladanan, memberantas korupsi dengan sepenuh hati tanpa memilih-milih, saya
yakini bisa menaklukkan hati rakyat yang sedang galau.
Memangkas subsidi BBM memiliki justifikasi
yang kuat dari perspektif ekonomi, yang sebenarnya juga dilakukan oleh negara
produsen minyak lainnya dewasa ini. Namun, untuk memenuhi persyaratan agar
kenaikan harga BBM tidak dilawan dengan sengit oleh masyarakat, jelas bukan perkara
mudah yang bisa ditempuh dalam semalam. Namun, pemerintah harus
mengusahakannya. Tiada jalan lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar