Prasyarat
Zona Ekonomi
Andi M Sadat, Peserta PhD Program Pada Norwich Business
School UK
SUMBER : REPUBLIKA, 18 April 2012
Ada
yang menarik dalam sebuah diskusi di Norwich
Business School/ NBS (5/4) yang dihadiri mahasiswa doktoral da ri beberapa
negara. Salah satu peserta dari Eropa yang tengah melakukan riset tentang
zonasi ekonomi mengusulkan pentingnya pemerintah di beberapa negara berkembang
untuk mengembangkan klaster ekonomi (economic
cluster) secara serius untuk memacu daya saing ekonomi mereka. Diskusi ini
makin menarik saat merujuk beberapa riset klaster ekonomi yang bersumber dari
para peneliti di Tanah Air.
Hal
yang sama dalam Dialog Nasional yang disponsori tiga lembaga kredibel, yaitu
USAID, SEADI, dan BAPPENAS di Makassar 13 Desember 2011 silam, gagasan tentang
economic zone juga sempat dilontarkan kembali oleh seorang pembicara. Zona ini
dibuat berbasis potensi lokal untuk memacu pertumbuhan ekonomi regional. Tidak
saja karena gagasan ini bukan ide baru yang sudah sepatutnya mendapat dukungan
secara luas, tetapi juga karena perlunya memahami beberapa kondisi fundamental
agar gagasan ini tidak salah arah.
Memang
sangat menarik menyaksikan bagaimana sebuah kawasan bisa tumbuh dengan
akselerasi ekonomi yang cepat, mampu meningkatkan kesejahteraan warganya secara
jelas, mampu membangun harmoni ekonomi yang kondusif bagi semua pelaku di
dalamnya hingga tentu saja kontribusinya pada pendapatan daerah yang
signifikan. Namun, menerapkannya begitu saja tanpa perspektif yang `tajam'
jelas merupakan tindakan `latah', sebagaimana fakta keberadaan kawasan ekonomi
saat ini yang masih jauh dari kata optimal, bahkan kandas di tengah jalan.
Tidak Instan
Gagasan
kawasan ekonomi khusus/terintegrasi/terpadu atau dalam pespektif Michael Porter
dari Harvard Business School (HBS)
disebut sebagai clusters sebenarnya
cukup kompleks. Ia mendefinisikannya sebagai geographic concentrations of interconnected companies and institutions
in a particular field. Clusers
encompass an array of linked in dustries and other entities important to
competition (Porter, 1998).
Ide
ini tentu saja sangat brilian, bukan hanya konsepnya yang melibatkan riset
mendalam di beberapa kawasan di dunia, tetapi juga karena banyaknya fakta
keberhasilan bagaimana strategi klaster yang disusun secara komprehensif mampu
menciptakan daya saing sebuah kawasan. Pertanyaannya, menga pa klaster ini bisa
sukses di beberapa negara, tetapi di sini tidak? Hal ini pen ting mendapat
penekanan agar perilaku copy-paste yang kerap kita lakukan tidak menjerumuskan.
Setidaknya,
ada tiga hal yang harus digarisbawahi. Pertama, kepemimpinan yang kuat. Bukan
hanya klaster memiliki perspektif yang luas, tapi juga apa pun judulnya sebuah
strategi hanya akan ber hasil jika diterapkan dengan komitmen tinggi dan
berkesinambungan.
Kedua,
klaster butuh waktu. Membangun klaster ekonomi bukan proses instan. Ia butuh
proses yang cukup panjang, dikomunikasikan (baca: di-PRkan) agar dapat didukung
secara luas, termasuk mengawal kesinambungannya. Jeda waktu untuk merasakan dam
paknya sangat rentan dengan sikap bi ngung bahkan kehabisan napas sehingga
‘mati di tengah jalan’.
Beberapa
puluh tahun lalu, kita pernah mendengar konsep ‘petik, olah, jual’ Pak
Amiruddin yang menjadi gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) kala itu. Gagasan
tersebut sangat brilian di masanya, namun tidak pernah benar-benar dirasa kan
dampaknya bagi masyarakat Sulsel hingga saat ini, sampai beberapa pihak (pakar)
‘menyanyikannya’ kembali de ngan istilah yang lebih ‘keren’. Bayang kan, andai
saja gagasan tersebut dapat dikawal/diimplementasikan secara konsisten, besar
kemungkinan hasilnya telah dinikmati masyarakatnya.
Ketiga,
semangat intra/entrepre neurial. Seluruh komponen dalam klaster ekonomi tidak
akan mungkin berperan optimal jika tidak didasari oleh sema ngat kewirausahaan
(entrepreneurship) yang menekankan
daya juang, inovasi, dan tentu saja semangat kompetisi yang sehat. Demikian
pula, aparat pemerintah yang ikut terlibat harus memiliki sikap terbuka,
bergerak cepat yang ditandai oleh birokrasi yang efisien (baca: intrapreneurship), dan kebijakan yang
bersahabat dengan pelaku usaha.
Faktor Penentu
Dalam
buku biru studi tentang klaster, Sorvell (2010) secara implisit mengemukakan
bahwa semangat kewirausahaan merupakan `pupuk' bagi segenap aktor dalam klaster
yang terhimpun dalam apa yang disebutnya sebagai Institute For Collaborations
(IFCs). Melalui spirit ini, semua bisa mengambil peran masing-masing dan
memiliki basis kuat, sikap kolusi dan korupsi pun bisa terkikis secara perlahan
sebab tidak diberi tempat bagi masing-masing elemen yang menuntut kerja
profesional.
Selain
itu, klaster butuh lebih dari sekadar konsep strategis yang bisa dilakukan
melalui benchmark, yakni harus melibatkan kreativitas kelas tinggi yang memang
dimiliki oleh mereka yang berspirit wirausaha, agar apa yang didesain bukan
sekadar macan kertas. Kolaborasi antara konsep dan konteks ini tentu tidak
mudah, butuh proses, dan keyakinan bahwa apa yang akan dilakukan bukan
mahakarya yang hanya bisa dilihat kemegahan fisiknya, tapi harus benar-benar
dirasakan segenap elemen masyarakat dalam jangka panjang.
Perlu
diingat karakter masyarakat (baca: kearifan lokal) dan sumber daya alam yang
ada sangat spesifik di setiap wilayah, sehingga dibutuhkan kerja keras untuk
melakukan sintesis yang tepat. Jika hal ini berhasil dilakukan, energi klaster
baru dapat ditularkan kepada setiap elemennya.
Intinya,
strategi apa pun yang akan digunakan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perlu mendapat dukungan secara luas, asal saja tidak angin-anginan,
menghamburkan energi dan dana masyarakat seperti yang banyak terjadi saat ini.
Strategi klaster, zona ekonomi terintegrasi (integrated economic zone) atau apa pun namanya jika ingin dijadikan
strategi pembangunan, harus dikawal secara serius, terutama dengan
memperhatikan tiga catatan penting di atas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar