Kamis, 19 April 2012

Prasyarat Zona Ekonomi


Prasyarat Zona Ekonomi
Andi M Sadat, Peserta PhD Program Pada Norwich Business School UK
SUMBER : REPUBLIKA, 18 April 2012



Ada yang menarik dalam sebuah diskusi di Norwich Business School/ NBS (5/4) yang dihadiri mahasiswa doktoral da ri beberapa negara. Salah satu peserta dari Eropa yang tengah melakukan riset tentang zonasi ekonomi mengusulkan pentingnya pemerintah di beberapa negara berkembang untuk mengembangkan klaster ekonomi (economic cluster) secara serius untuk memacu daya saing ekonomi mereka. Diskusi ini makin menarik saat merujuk beberapa riset klaster ekonomi yang bersumber dari para peneliti di Tanah Air.

Hal yang sama dalam Dialog Nasional yang disponsori tiga lembaga kredibel, yaitu USAID, SEADI, dan BAPPENAS di Makassar 13 Desember 2011 silam, gagasan tentang economic zone juga sempat dilontarkan kembali oleh seorang pembicara. Zona ini dibuat berbasis potensi lokal untuk memacu pertumbuhan ekonomi regional. Tidak saja karena gagasan ini bukan ide baru yang sudah sepatutnya mendapat dukungan secara luas, tetapi juga karena perlunya memahami beberapa kondisi fundamental agar gagasan ini tidak salah arah.

Memang sangat menarik menyaksikan bagaimana sebuah kawasan bisa tumbuh dengan akselerasi ekonomi yang cepat, mampu meningkatkan kesejahteraan warganya secara jelas, mampu membangun harmoni ekonomi yang kondusif bagi semua pelaku di dalamnya hingga tentu saja kontribusinya pada pendapatan daerah yang signifikan. Namun, menerapkannya begitu saja tanpa perspektif yang `tajam' jelas merupakan tindakan `latah', sebagaimana fakta keberadaan kawasan ekonomi saat ini yang masih jauh dari kata optimal, bahkan kandas di tengah jalan.

Tidak Instan

Gagasan kawasan ekonomi khusus/terintegrasi/terpadu atau dalam pespektif Michael Porter dari Harvard Business School (HBS) disebut sebagai clusters sebenarnya cukup kompleks. Ia mendefinisikannya sebagai geographic concentrations of interconnected companies and institutions in a particular field. Clusers encompass an array of linked in dustries and other entities important to competition (Porter, 1998).

Ide ini tentu saja sangat brilian, bukan hanya konsepnya yang melibatkan riset mendalam di beberapa kawasan di dunia, tetapi juga karena banyaknya fakta keberhasilan bagaimana strategi klaster yang disusun secara komprehensif mampu menciptakan daya saing sebuah kawasan. Pertanyaannya, menga pa klaster ini bisa sukses di beberapa negara, tetapi di sini tidak? Hal ini pen ting mendapat penekanan agar perilaku copy-paste yang kerap kita lakukan tidak menjerumuskan.

Setidaknya, ada tiga hal yang harus digarisbawahi. Pertama, kepemimpinan yang kuat. Bukan hanya klaster memiliki perspektif yang luas, tapi juga apa pun judulnya sebuah strategi hanya akan ber hasil jika diterapkan dengan komitmen tinggi dan berkesinambungan.

Kedua, klaster butuh waktu. Membangun klaster ekonomi bukan proses instan. Ia butuh proses yang cukup panjang, dikomunikasikan (baca: di-PRkan) agar dapat didukung secara luas, termasuk mengawal kesinambungannya. Jeda waktu untuk merasakan dam paknya sangat rentan dengan sikap bi ngung bahkan kehabisan napas sehingga ‘mati di tengah jalan’.

Beberapa puluh tahun lalu, kita pernah mendengar konsep ‘petik, olah, jual’ Pak Amiruddin yang menjadi gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) kala itu. Gagasan tersebut sangat brilian di masanya, namun tidak pernah benar-benar dirasa kan dampaknya bagi masyarakat Sulsel hingga saat ini, sampai beberapa pihak (pakar) ‘menyanyikannya’ kembali de ngan istilah yang lebih ‘keren’. Bayang kan, andai saja gagasan tersebut dapat dikawal/diimplementasikan secara konsisten, besar kemungkinan hasilnya telah dinikmati masyarakatnya.

Ketiga, semangat intra/entrepre neurial. Seluruh komponen dalam klaster ekonomi tidak akan mungkin berperan optimal jika tidak didasari oleh sema ngat kewirausahaan (entrepreneurship) yang menekankan daya juang, inovasi, dan tentu saja semangat kompetisi yang sehat. Demikian pula, aparat pemerintah yang ikut terlibat harus memiliki sikap terbuka, bergerak cepat yang ditandai oleh birokrasi yang efisien (baca: intrapreneurship), dan kebijakan yang bersahabat dengan pelaku usaha.

Faktor Penentu

Dalam buku biru studi tentang klaster, Sorvell (2010) secara implisit mengemukakan bahwa semangat kewirausahaan merupakan `pupuk' bagi segenap aktor dalam klaster yang terhimpun dalam apa yang disebutnya sebagai Institute For Collaborations (IFCs). Melalui spirit ini, semua bisa mengambil peran masing-masing dan memiliki basis kuat, sikap kolusi dan korupsi pun bisa terkikis secara perlahan sebab tidak diberi tempat bagi masing-masing elemen yang menuntut kerja profesional.

Selain itu, klaster butuh lebih dari sekadar konsep strategis yang bisa dilakukan melalui benchmark, yakni harus melibatkan kreativitas kelas tinggi yang memang dimiliki oleh mereka yang berspirit wirausaha, agar apa yang didesain bukan sekadar macan kertas. Kolaborasi antara konsep dan konteks ini tentu tidak mudah, butuh proses, dan keyakinan bahwa apa yang akan dilakukan bukan mahakarya yang hanya bisa dilihat kemegahan fisiknya, tapi harus benar-benar dirasakan segenap elemen masyarakat dalam jangka panjang.

Perlu diingat karakter masyarakat (baca: kearifan lokal) dan sumber daya alam yang ada sangat spesifik di setiap wilayah, sehingga dibutuhkan kerja keras untuk melakukan sintesis yang tepat. Jika hal ini berhasil dilakukan, energi klaster baru dapat ditularkan kepada setiap elemennya.

Intinya, strategi apa pun yang akan digunakan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu mendapat dukungan secara luas, asal saja tidak angin-anginan, menghamburkan energi dan dana masyarakat seperti yang banyak terjadi saat ini. Strategi klaster, zona ekonomi terintegrasi (integrated economic zone) atau apa pun namanya jika ingin dijadikan strategi pembangunan, harus dikawal secara serius, terutama dengan memperhatikan tiga catatan penting di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar