Komunikasi
Subsidi
Veven Sp Wardhana, Penghayat Budaya Massa
SUMBER : REPUBLIKA, 18 April 2012
Sesungguhnya,
sebuah logika biasa saat masyarakat lebih memilih mengisi mobilnya dengan bahan
bakar minyak (BBM) yang harganya relatif murah—sehingga yang bersangkutan
berubah menjadi gelisah—untuk kemudian resistan ketika BBM hendak dinaikkan
harganya. Apa pun alasan dan argumentasi kenaikan harga tersebut.
Jika
kemudian dinyatakan bahwa BBM bisa berharga murah karena ada dan banyak subsidi
dari pemerintah, ke putusan untuk bertahan memilih yang berharga murah tetap
tak goyah. Setidaknya, ada dua alasan yang melandasinya. Pertama, subsidi itu
sudah menjadi kewajiban pemerintah. Kedua, ada subsidi atau tidak, itu adalah
‘bahasa’ pemerintah, bukan ‘bahasa’ khalayak atau rakyat banyak.
Lantas,
jika pemerintah dan para ahli kemudian menyatakan bahwa seharusnya yang
mendapatkan subsidi itu adalah para paria atau masyarakat kelas bawah, sungguh
memalukan jika para pemilik kendaraan yang dibayang kan relatif berpunya itu
mempergunakan produk bersubsidi. Sekali lagi, sepanjang bahasa ungkapnya adalah
‘subsidi’, logika ‘betapa memalukan mengonsumsi produk subsidian’ tidak menjadi
mantra kuat untuk membetot nurani masyarakat agar berpindah BBM yang nonsubsidi
yang harganya relatif lebih mahal.
Bahkan,
fatwa ulama yang dijadikan legitimasi pun—kira-kira “haram hukumnya membeli
Premium”—tak mempan untuk mengubah persepsi umat karena umat berlogika, fatwa
untuk urusan rohani dan langit kok intervensi urusan duniawi pemerintah.
Karena
itu, jadi terasa ajaib ketika ada yang meleceh saat pengendara mobil mewah
mengisikan BBM berharga subsidi. Lecehan itu dipertegas, mau naik gengsi, namun
nanggung. Padahal, gengsi lebih ke persoalan permukaan, yang terlihat, bukan
yang esensial. Artinya, mobil mewah tetap menjadi simbol status, lambang
gengsi, sementara hanya segelintir orang yang melihat mobil mewah itu dikucur
BBM berharga subsidi sehingga pemilik (pengendara) mobil me wah itu tak perlu
jatuh pamor. Sudah begitu, mobil mewah tadi pun tak ada masalah saat menggunakan
Premium karena oktan Premium (masih) ter mung kinkan untuk mesin mobil mewah.
Lain soal jika mobil mewah tadi harus diberi menu solar atau minyak tanah.
Dari
kasus ini tampak bahwa peme rintah telah gagap dan gagal berkomunikasi dengan
masyarakat saat hendak menaikkan harga BBM. Pemerintah hanya punya sekelebat
jurus ‘bahasa’ untuk menegaskan alasan kenaikan harga BBM, yakni bahasa moral,
harusnya ma lu dan atau berdosa alias haram menggunakan BBM murah.
Sementara
itu, konsumen punya bahasa sendiri pula, bahkan bahasa rasional, misalnya, jika
penikmat subsidi justru kelas menengah serta berpunya dan itu dianggap salah
sasaran maka yang salah adalah pemerintah. Jika pemerintah melakukan kesalahan,
menga pa rakyat yang terkena getah.
Bahkan,
pengguna mobil mewah berBBM murah tadi bisa saja berkilah, sudah mobil berharga
mahal, mengapa pu la ha rus ber-BBM boros? Artinya, ada filsafat dan kesadaran
penghematan di balik penggunaan BBM Premium, tan pa perlu tahu produk itu
bersubsidi ataukah tidak. Jadi, dengan segenap ca ra menja barkannya,
masyarakat Indonesia punya ‘ideologi’ untuk berhemat dan tidak
menghambur-hamburkan semua biaya jika sudah cukup mengeluarkan ongkos tinggi
untuk salah satu sisi.
Karena
itu, kita belum tahu respons dan reaksi apa atas anjuran pemerintah yang
berencana membatasi kendaraan macam mana saja yang boleh dan tak boleh
mengonsumsi BBM bersubsidi— atau sekalian menaikkan harga itu setara dengan
harga minyak mentah di pasar internasional. Anjuran yang ada menyatakan agar
masyarakat berhemat tak perlu bepergian jika tak penting dan seterusnya, yang
jika disederhanakan, jangan membuang ongkos untuk kebutuhan tersier atau
sekunder.
Logika
anjuran ini bisa dibalik, misalnya, bukankah untuk mempersegar kerja, pekerja
juga butuh leisure and pleasure. Bukankah yang sekunder dan tersier justru
dibutuhkan untuk penyeimbang yang serbaprimer. Atau yang agak sinikal,
jangankan menjauhi yang sekunder dan tersier, bahkan untuk yang primer pun
selama ini sudah lumayan jungkir balik untuk menggapainya.
Energi Alternatif
Terkait
kemungkinan kenaikan harga yang selama ini dikaitkan dengan harga minyak mentah
di pasar internasional kian menunjukkan betapa Indonesia selama ini bergantung
pada dunia luar. Padahal, negeri ini memiliki berlimpah sumber minyak mentah.
Jika mekanisme pengolahan BBM dari hilir ke hulu tak mungkin
direstrukturisasi--setidaknya dalam waktu dekat--maka yang dibutuhkan adalah
energi alternatif.
Embrio
perihal energi alternatif itu pernah muncul dan beberapa sudah terpraktikkan di
negeri ini. Di antaranya energi (sinar) matahari, biogas, biji tumbuhan jarak (Jatropha Curcas), dan lainlain.
Belakangan juga muncul bahan bakar hidrogen yang bisa menghemat dalam
perbandingan tiga banding 25.
Pada
akhirnya, energi alternatif adalah keniscayaan. Dia bukan hanya menghemat,
melainkan juga memperkaya negeri ini jika mau mematenkan produk tersebut yang
kemudian dikhalayakkan tak sebatas untuk negeri sendiri, tapi untuk ekspor.
Dan, karena itu, bisa saja anggaran subsidi untuk BBM itu dialihkan untuk
kemungkinan penciptaan energi alternatif. Atau, subsidi BBM tetap dialihkan ke
bantuan langsung sementara (BLSM), sementara untuk energi alternatif perlu
penganggaran lain secara resmi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar