Kamis, 19 April 2012

Komunikasi Subsidi


Komunikasi Subsidi
Veven Sp Wardhana, Penghayat Budaya Massa
SUMBER : REPUBLIKA, 18 April 2012



Sesungguhnya, sebuah logika biasa saat masyarakat lebih memilih mengisi mobilnya dengan bahan bakar minyak (BBM) yang harganya relatif murah—sehingga yang bersangkutan berubah menjadi gelisah—untuk kemudian resistan ketika BBM hendak dinaikkan harganya. Apa pun alasan dan argumentasi kenaikan harga tersebut.

Jika kemudian dinyatakan bahwa BBM bisa berharga murah karena ada dan banyak subsidi dari pemerintah, ke putusan untuk bertahan memilih yang berharga murah tetap tak goyah. Setidaknya, ada dua alasan yang melandasinya. Pertama, subsidi itu sudah menjadi kewajiban pemerintah. Kedua, ada subsidi atau tidak, itu adalah ‘bahasa’ pemerintah, bukan ‘bahasa’ khalayak atau rakyat banyak.

Lantas, jika pemerintah dan para ahli kemudian menyatakan bahwa seharusnya yang mendapatkan subsidi itu adalah para paria atau masyarakat kelas bawah, sungguh memalukan jika para pemilik kendaraan yang dibayang kan relatif berpunya itu mempergunakan produk bersubsidi. Sekali lagi, sepanjang bahasa ungkapnya adalah ‘subsidi’, logika ‘betapa memalukan mengonsumsi produk subsidian’ tidak menjadi mantra kuat untuk membetot nurani masyarakat agar berpindah BBM yang nonsubsidi yang harganya relatif lebih mahal.

Bahkan, fatwa ulama yang dijadikan legitimasi pun—kira-kira “haram hukumnya membeli Premium”—tak mempan untuk mengubah persepsi umat karena umat berlogika, fatwa untuk urusan rohani dan langit kok intervensi urusan duniawi pemerintah.

Karena itu, jadi terasa ajaib ketika ada yang meleceh saat pengendara mobil mewah mengisikan BBM berharga subsidi. Lecehan itu dipertegas, mau naik gengsi, namun nanggung. Padahal, gengsi lebih ke persoalan permukaan, yang terlihat, bukan yang esensial. Artinya, mobil mewah tetap menjadi simbol status, lambang gengsi, sementara hanya segelintir orang yang melihat mobil mewah itu dikucur BBM berharga subsidi sehingga pemilik (pengendara) mobil me wah itu tak perlu jatuh pamor. Sudah begitu, mobil mewah tadi pun tak ada masalah saat menggunakan Premium karena oktan Premium (masih) ter mung kinkan untuk mesin mobil mewah. Lain soal jika mobil mewah tadi harus diberi menu solar atau minyak tanah.

Dari kasus ini tampak bahwa peme rintah telah gagap dan gagal berkomunikasi dengan masyarakat saat hendak menaikkan harga BBM. Pemerintah hanya punya sekelebat jurus ‘bahasa’ untuk menegaskan alasan kenaikan harga BBM, yakni bahasa moral, harusnya ma lu dan atau berdosa alias haram menggunakan BBM murah.

Sementara itu, konsumen punya bahasa sendiri pula, bahkan bahasa rasional, misalnya, jika penikmat subsidi justru kelas menengah serta berpunya dan itu dianggap salah sasaran maka yang salah adalah pemerintah. Jika pemerintah melakukan kesalahan, menga pa rakyat yang terkena getah.

Bahkan, pengguna mobil mewah berBBM murah tadi bisa saja berkilah, sudah mobil berharga mahal, mengapa pu la ha rus ber-BBM boros? Artinya, ada filsafat dan kesadaran penghematan di balik penggunaan BBM Premium, tan pa perlu tahu produk itu bersubsidi ataukah tidak. Jadi, dengan segenap ca ra menja barkannya, masyarakat Indonesia punya ‘ideologi’ untuk berhemat dan tidak menghambur-hamburkan semua biaya jika sudah cukup mengeluarkan ongkos tinggi untuk salah satu sisi.

Karena itu, kita belum tahu respons dan reaksi apa atas anjuran pemerintah yang berencana membatasi kendaraan macam mana saja yang boleh dan tak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi— atau sekalian menaikkan harga itu setara dengan harga minyak mentah di pasar internasional. Anjuran yang ada menyatakan agar masyarakat berhemat tak perlu bepergian jika tak penting dan seterusnya, yang jika disederhanakan, jangan membuang ongkos untuk kebutuhan tersier atau sekunder.

Logika anjuran ini bisa dibalik, misalnya, bukankah untuk mempersegar kerja, pekerja juga butuh leisure and pleasure. Bukankah yang sekunder dan tersier justru dibutuhkan untuk penyeimbang yang serbaprimer. Atau yang agak sinikal, jangankan menjauhi yang sekunder dan tersier, bahkan untuk yang primer pun selama ini sudah lumayan jungkir balik untuk menggapainya.

Energi Alternatif

Terkait kemungkinan kenaikan harga yang selama ini dikaitkan dengan harga minyak mentah di pasar internasional kian menunjukkan betapa Indonesia selama ini bergantung pada dunia luar. Padahal, negeri ini memiliki berlimpah sumber minyak mentah. Jika mekanisme pengolahan BBM dari hilir ke hulu tak mungkin direstrukturisasi--setidaknya dalam waktu dekat--maka yang dibutuhkan adalah energi alternatif.

Embrio perihal energi alternatif itu pernah muncul dan beberapa sudah terpraktikkan di negeri ini. Di antaranya energi (sinar) matahari, biogas, biji tumbuhan jarak (Jatropha Curcas), dan lainlain. Belakangan juga muncul bahan bakar hidrogen yang bisa menghemat dalam perbandingan tiga banding 25.

Pada akhirnya, energi alternatif adalah keniscayaan. Dia bukan hanya menghemat, melainkan juga memperkaya negeri ini jika mau mematenkan produk tersebut yang kemudian dikhalayakkan tak sebatas untuk negeri sendiri, tapi untuk ekspor. Dan, karena itu, bisa saja anggaran subsidi untuk BBM itu dialihkan untuk kemungkinan penciptaan energi alternatif. Atau, subsidi BBM tetap dialihkan ke bantuan langsung sementara (BLSM), sementara untuk energi alternatif perlu penganggaran lain secara resmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar