Rabu, 18 April 2012

Interpelasi Berdasar “Perasaan”


Interpelasi Berdasar “Perasaan”
Samsul Arifin, Guru besar FH Unmer Malang,
Penulis buku Konseptualisasi dan Perjalanan DPR
SUMBER : JAWA POS, 18 April 2012



ANEKA terobosan praktis yang dilakukan Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan memang bisa membuat risi, terutama kalangan birokrat yang taat (dan menikmati) prosedur birokratis. Kreativitas dan inovasinya diterjemahkan dengan sindiran bahwa di balik itu ada berbagai motivasi tertentu. Sementara sang menteri dengan tanpa beban menanggapi semua terserah rakyat dan DPR, yang penting yang dilakukan itu adalah untuk kemajuan bangsa (Jawa Pos, 17 April).

Awalnya, Dahlan Iskan mengeluarkan Keputusan Menteri Negara BUMN No Kep-236/MBU/2011 tentang pendelegasian sebagian wewenang dan atau pemberian kuasa menteri negara BUMN sebagai wakil pemerintah selaku pemegang saham RUPS kepada perusahaan perseroan (persero) dan perseroan terbatas. Substansi dari keputusan itu adalah mendelegasikan 22 jenis kewenangan menteri negara BUMN kepada pejabat eselon satu. Dia juga melimpahkan 14 kewenangan kepada dewan komisaris dan dua kewenangan kepada direksi BUMN.

Kebijakan itulah yang berbuah (proses) interpelasi. Sejumlah 38 anggota DPR menilai bahwa hal itu menabrak aturan dan berpotensi menimbulkan kerawanan BUMN dalam hal penjualan aset oleh direksi BUMN.

Dahlan tidak sendiri. Sebelumnya, interpelasi juga diajukan terhadap penerapan moratorium untuk para koruptor. Praktisnya, kebijakan pemerintah (dalam hal ini Menkum HAM) tentang penundaan pembebasan bersyarat, pengetatan, moratorium, atau apa pun namanya berkenaan dengan harus tinggalnya lebih lama para narapidana koruptor itu hingga kini juga kontroversial. Awalnya rencana tersebut begitu menggebu, tetapi belakangan tak terdengar kabarnya.

Jalan Panjang

Dalam perspektif hukum, interpelasi yang merupakan hak DPR (pasal 77 ayat 3 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD -dikenal dengan UU MD3) merupakan kewenangan yang ditujukan kepada presiden selaku kepala pemerintahan. Prosedur untuk hal itu, apabila usul hak interpelasi disetujui sebagai interpelasi DPR, pimpinan DPR menyampaikan kepada presiden dan mengundang presiden untuk memberikan keterangan, kendatipun dapat diwakilkan kepada menteri/pejabat terkait. Namun, titik tujunya tetap presiden.

Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban presiden, berikutnya DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai salah satu hak berikutnya. Manakala berlanjut ke hak menyatakan pendapat, dengan prosedur yang panjang dan melelahkan, ujung dari hal tersebut adalah berupa dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (pasal 173 Tata Tertib DPR). Hasil pendapat itu disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.

Manakala Mahkamah Konstitusi memutuskan membenarkan pendapat DPR, (DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR), baru dibahas apakah pemberhentian dapat dilaksanakan atau tidak.

Tetapi, pada tahap awal, jika DPR puas dengan jawaban presiden, permasalahan dianggap selesai.

Pintu Judicial Review

Dalam bahasa romantis, nuansa kekentalan politis pada hak intepelasi kali ini begitu kentara. Alasannya, pertama bahwa objek yang dijadikan bahan interpelasi itu adalah keputusan. Dalam ranah hukum, sebagaimana dilakukan terhadap keputusan Menkum HAM tentang pengetatan remisi koruptor, seharusnya keputusan itu dibawa ke ranah hukum. Dalam hal ini, PTUN sebagai lembaga yang paling berwenang mengadili. Manakala putusan sudah dijatuhkan, barulah kewajiban dari menteri mencabut keputusan tersebut, tentunya kalau sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun, dalam hubungan dengan keputusan Men BUMN itu, ada kerancuan. Sesuai dengan UU No 9/2004 tentang PTUN, keputusan yang bisa menjadi objek sengketa adalah yang bersifat konkret, individual (menunjuk nama tertentu), dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan perdata. Jadi, objek sengketa di PTUN itu bersifat beschiking atau keputusan.

Keputusan Men BUMN tersebut tidak menunjuk seseorang. Keputusan itu juga belum menimbulkan akibat hukum kepada seseorang atau badan hukum. Itu berarti keputusan tersebut tidak memenuhi kualifikasi sebagai objek sengketa tata usaha negara (TUN). Dengan demikian, kalau dibawa ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), itu berpotensi ditolak.

Manakala keputusan tersebut dipandang sebagai peraturan (regeling), sesuai dengan peraturan perundang-undangan itu menjadi kewenangan Mahkamah Agung melalui pengujian produk hukum di bawah undang undang. Pintunya adalah hak uji materiil (judicial review). Namun, harus tegas objeknya adalah peraturan, bukan keputusan.

Berdasar hal di atas, kalau memang para inisiatior interpelasi itu dapat menangkap sinyal adanya pertentangan tersebut, seharusnya mereka menempuh jalur hukum terlebih dahulu. Itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa para anggota DPR tersebut taat hukum dan menjadikan hukum sebagai dasar untuk melakukan aktivitas politik.

Kedua, dalam bahasa yang disampaikan kalangan inisiator bahwa kebijakan itu baru berpotensi menimbulkan kerugian. Artinya, itu baru ''perasaan'' yang belum konkret dan belum tentu benar. Kecurigaan bahwa akan muncul permainan yang merugikan, khususnya dari direksi, belum tentu terwujud. Bahkan, hal itu cenderung prejudice yang berpotensi menyinggung dan merendahkan integritas para direksi.

Meski demikian, yang jelas genderang interpelasi telah ditabuh. Namun, mencermati level masalah yang hanya pada sektor tertentu dan sifatnya temporer, itu bukan merupakan pengkhianatan atau tindak pidana berat dan sebagainya. Karena itu, kecil kemungkinan hal tersebut akan berlanjut seperti konstruksi hak interpelasi dimaksud. Bisa saja berakhir landai seperti interpelasi terhadap kebijakan Menkum HAM sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar