Penyelesaian Kasus HAM
Hendardi, Ketua
Setara Institute, Jakarta;
Ketua
Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Nasional
SUMBER : KOMPAS, 04 April 2012
Diskursus tentang upaya penyelesaian
pelanggaran hak asasi manusia masa lalu kembali mendapat perhatian negara.
Inisiatif kajian dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden RI Bidang Hukum dan
HAM. Pararel dengan inisiatif di atas, tulisan Franz Magnis-Suseno SJ, ”G30S dan Permintaan Maaf” (Kompas,
24/3), menjadi salah satu medium pembuka diskusi dengan publik.
Penyediaan instrumen hukum sebagai sebuah
pilihan politik negara sebenarnya tidak mengalami kemajuan signifikan sejak
2000 setelah pemerintahan Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang
HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dua produk politik itu,
tidak ada satu pun presiden Indonesia selanjutnya dengan kebijakan politik
dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Pada kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono memang terbit sejumlah produk
legislasi yang kondusif bagi pemajuan HAM. Namun, tidak ada produk legislasi
yang mampu menembus kebekuan impunitas atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
HAM hanya menjadi komoditas politik yang
nyaring diucapkan tanpa eksekusi yang memberikan keadilan. Bahkan, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat dua periode kepemimpinan nasional nyaris
tidak mewariskan apa pun dalam pemajuan hak asasi manusia.
Di Ujung Hari
Masih adakah harapan di ujung masa
kepemimpinan SBY untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu? Sebagai
sebuah ikhtiar politik, inisiatif mengkaji (dan mendorongnya menjadi tindakan
nyata) harus diapresiasi. Meski demikian, memang sulit bagi publik dan keluarga
korban untuk percaya mengingat komitmen ini sudah puluhan kali terucap.
Sudah banyak tumpukan dokumen kebijakan yang
disiapkan atau disusupkan ke istana agar SBY bertindak. Sudah banyak pula
pialang pemajuan hukum dan HAM di lingkaran istana yang membujuk para pegiat
HAM untuk terus meyakinkan sang Presiden. Namun, semua ikhtiar itu hanya
berujung pada pengarsipan gagasan tanpa tindakan.
Para pialang kemudian memperoleh kredit
politik premium dari Presiden karena dianggap mampu menjalin komunikasi politik
dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah bangsa. Akan tetapi, para korban
dan keluarganya tetap dalam nestapa.
Dari berbagai laporan kondisi HAM, dapat
disimpulkan bahwa komitmen dan integritas SBY tidak teruji dalam pemajuan HAM
dan penyelesaian kasus masa lalu. Berbagai pembiaran justru terjadi dan laporan
HAM jadi sekadar pengingat di sisa masa kepemimpinannya. Padahal, dengan
memimpin selama dua periode, SBY seharusnya punya cukup waktu untuk mewariskan
penuntasan kasus HAM bagi rakyatnya.
Deret Impunitas
Impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM
masih menjadi penghalang serius bagi terpenuhinya hak atas kebenaran, keadilan,
dan pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
Hingga saat ini, proses penegakan hukum
pelanggaran HAM masa lalu berhenti sama sekali. Bahkan, Presiden mengabaikan
rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Penghilangan Orang secara
Paksa, 28 September 2009, yang memuat empat rekomendasi politik untuk mendorong
penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, Papua,
peristiwa 1965 sama sekali tidak mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dan
DPR memang pernah mengupayakan mekanisme penyelesaian melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, UU No 27/2004 tentang KKR ini dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi tahun 2006.
Kasus Tanjung Priok 1984 secara formal telah
diselesaikan di pengadilan melalui pengadilan HAM ad hoc tahun 2003. Namun,
hingga kini korban pelanggaran HAM berat gagal memperoleh kompensasi sesuai
amar putusan pengadilan.
Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II,
pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus
Wasior 2001, menurut Komnas HAM, adalah kasus pelanggaran berat. Namun, semua
itu mandek di Kejaksaan Agung.
Tak Ada Upaya
Sepanjang periode kepemimpinan SBY, tidak ada
upaya signifikan memutus pelembagaan impunitas atas semua peristiwa di atas.
Bahkan, 251 aksi Kamisan yang digelar keluarga korban belum mampu menggerakkan
pemerintahan SBY untuk menyusun langkah dan bertindak memutus impunitas pelaku
pelanggaran HAM.
Pemerintah SBY dengan sengaja menjalankan
politik amnesia. Membuat korban putus asa, rakyat lupa, dan pegiat HAM
kehilangan fokus. SBY hanya menggunakan isu pelanggaran HAM sebagai alat tawar
politik dengan pelaku dan menjadikannya sebagai alat mengatasi lawan-lawan
politik setiap kali perhelatan politik digelar.
Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya sudah amat jelas diatur dalam UU No
26/2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini memiliki keterbatasan, tetapi cukup
memadai untuk meretas jalan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu jika
ditopang kemauan politik kokoh dan tidak basa-basi.
Lakukan Dua Hal
Oleh karena untuk tujuan keadilan dan
pemenuhan hak-hak korban SBY belum bertindak, sebaiknya Presiden dibujuk
menyelesaikan pelanggaran HAM sebagai warisan mengesankan bagi diri dan
partainya.
Presiden perlu diyakinkan untuk melakukan dua
hal di akhir masa kepemimpinannya. Pertama, menangani pelanggaran HAM masa lalu
yang secara teknis yudisial sulit dibuktikan menurut ”logika penegak hukum”. Presiden atas nama kepala negara cukup
memberi pengakuan dan meminta maaf kepada keluarga korban dan publik.
Kedua, terhadap pelanggaran HAM yang terjadi
secara teknis yudisial bisa diperiksa, seperti kasus penghilangan orang, dan
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun 2000, Presiden tinggal
memprakarsai pembentukan pengadilan HAM ad hoc sekaligus memerintahkan
Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.
Selanjutnya, untuk pemajuan akuntabilitas
penegakan HAM, SBY perlu membangun kebijakan politik penegakan HAM yang
akuntabel dengan menyediakan legislasi yang kondusif. Penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu adalah mandat legal perundang-undangan kita. Oleh karena itu,
kewajiban ini melekat pada setiap pemimpin nasional yang berkuasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar