Krisis Thailand Selatan
Hamid Awaludin, Dosen
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
SUMBER : KOMPAS, 04 April 2012
Kekerasan
beruntun kembali terjadi di Thailand selatan. Rasa kemanusiaan kita kembali
tersayat. Citra peradaban manusia yang berakhlak luluh sudah.
Peristiwa
pengeboman yang menewaskan puluhan orang tak berdosa dan melukai puluhan
lainnya di tiga wilayah Thailand selatan, Sabtu lalu, kian mengesahkan betapa
mahalnya harga kehidupan yang harmoni.
Rentetan
pengeboman itu, selain tidak bisa diterima akal sehat dan pembenaran moral dari
sudut pandang apa pun, juga kian meneguhkan bahwa persoalan di Thailand selatan
adalah persoalan yang sangat fundamental. Kekerasan kali ini jauh lebih besar
dibandingkan sebelumnya.
Perjuangan
bersenjata di Thailand selatan adalah ikhtiar untuk memerdekakan diri dari
Thailand. Mereka kelompok penduduk minoritas (2,2 juta) yang mendiami beberapa
provinsi, Narathiwat, Patani, dan Yala. Mereka suku Melayu Patani yang dulunya
berasal dari Malaysia. Karena itu pula, mereka adalah penduduk Muslim.
Meski
demikian, perjuangan mereka bukan perjuangan untuk menegakkan negara Islam,
melainkan untuk memisahkan diri dari Thailand karena merasa diperlakukan tidak
adil. Wilayah yang mereka diami jauh lebih tertinggal dibandingkan
wilayah-wilayah lain di Thailand.
Tinggalkan
Cara Militer
Selama
ini ada kecenderungan Pemerintah Thailand untuk menyelesaikan masalah internal
ini dengan cara militer. Sayang, setelah sekian puluh tahun, cara ini belum
menghasilkan titik terang. Oleh karena itu, perlu adanya dialog antara
pemerintah dan mereka untuk berdamai.
Jika
dunia menghendaki agar para penuntut kemerdekaan tersebut bisa duduk berunding
dan melepaskan tuntutan mereka untuk melepaskan diri dari Thailand, dunia pun
harus membujuk Pemerintah Thailand untuk memberi otonomi luas dan khusus pada
wilayah-wilayah para penuntut kemerdekaan itu. Dalam wilayah khusus, mereka
diberi kelonggaran untuk mengembangkan daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya, Pemerintah Thailand bisa berbesar jiwa membolehkan mereka menggunakan
bahasa Melayu.
Setelah
faktor bahasa, Pemerintah Thailand juga perlu memberi pengakuan bahwa Islam
juga adalah agama resmi yang diakui oleh pemerintah, khususnya di
wilayah-wilayah tempat para penuntut kemerdekaan bermukim. Selama ini,
Pemerintah Thailand hanya mengakui agama Buddha.
Kedua
faktor di atas bukan sekadar simbol individual dan kelompok yang harus mereka
pertahankan, melainkan juga sebagai simbol harkat dan martabat mereka sebagai
entitas.
Selain
itu, Pemerintah Thailand seyogianya juga memberi pengakuan bahwa sistem
madrasah dan pesantren adalah bagian integral dari sistem pendidikan Thailand.
Pemerintah Thailand terkesan tidak mau mengakui sistem pendidikan madrasah dan
pesantren, padahal komunitas ini memberlakukan dan meyakini bahwa sistem
pesantren dan madrasah cocok untuk anak-anak mereka.
Bangun
Infrastruktur
Setelah
masalah-masalah nilai ini diakui, Pemerintah Thailand perlu segera membangun
infrastruktur di wilayah-wilayah mereka. Pemerintah Thailand perlu mengambil
kebijakan afirmatif untuk membangun dalam rangka mengatasi ketertinggalan
wilayah-wilayah tersebut. Ketertinggalan inilah yang menjadi pemicu mengapa
mereka angkat senjata. Ketertinggalan ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang
pada gilirannya memberi napas perjuangan untuk melepaskan diri dari Thailand.
Jalan
untuk mewujudkan gagasan-gagasan damai ini memang tidak mudah. Masalahnya,
dalam tubuh Pemerintah Thailand sekarang ini ada tiga lembaga utama yang secara
politis memiliki pengaruh besar dalam setiap keputusan politik Thailand: pihak
kerajaan, pemerintahan sipil, dan militer. Hingga kini, ketiganya belum akur
untuk menyelesaikan masalah Thailand selatan ini secara damai. Tarik ulur di
antara mereka masih sangat alot dan kuat. Pemerintahan sipil belum mampu
meyakinkan kalangan militer agar jalan damai menjadi alternatif penyelesaian
masalah.
Belum
Solid
Persoalan
di dalam tubuh kaum penuntut kemerdekaan juga tak kalah pelik. Mereka tidak
memiliki kepemimpinan yang solid. Dalam diri mereka terdapat empat faksi utama,
yaitu Pulo, MPRMP, PRN, dan New Pulo. Keempatnya memiliki kepemimpinan
masing-masing dan cenderung bersaing satu sama lain. Tidak ada rantai komando
yang memiliki otoritas tunggal dalam mengambil kebijakan atau keputusan.
Situasi
di Thailand sekarang ini sama dengan situasi di Moro, Filipina selatan. Setelah
Nur Misuari tergusur dari kepemimpinan, tidak ada lagi kepemimpinan yang
memiliki otoritas di kalangan pemberontak sebab terlalu banyak grup yang
mengklaim diri sebagai pemimpin dan bersaing satu dengan lainnya.
Berbeda
dengan penyelesaian Aceh tempo dulu. Aceh memiliki kepemimpinan solid yang
jelas dengan sistem komando tunggal, yakni GAM di bawah kepemimpinan Hasan Di
Tiro, Malik Machmud, dan Zaini Abdullah. Maka, cukup berunding dengan mereka,
masalah bisa diselesaikan. Inilah yang nihil di Thailand sekarang.
Faktor
Malaysia juga menjadi hal khusus bagi kalangan pemerintahan Thailand selatan.
Ini bisa dimaklumi sebab para penuntut kemerdekaan tersebut adalah kelompok
yang mondar-mandir ke Malaysia karena mereka memang dulunya berasal dari
Malaysia. Aspek ini, secara politis, amat sensitif bagi Pemerintah Thailand.
Terlepas dari kepelikan ini, kita selalu memercayai ucapan seorang raja, 2500
tahun sebelum Masehi: ”Hanyalah damai,
bukan konflik, yang bisa menceritakan kita tentang eloknya masa depan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar