Pemilih Aceh
Irasional
Azwir Nazar, Pengamat Komunikasi Politik di
Aceh
SUMBER : SINAR HARAPAN, 11 April 2012
Sebagaimana kita ketahui, pemilihan kepala
daerah di Aceh telah terlaksana dan untuk sementara Partai Aceh (PA), yang
mengusung pasangan calon gubernur/wakil gubernur Zaini Abdillah/Muzakir Manaf,
unggul meninggalkan lawan-lawan mereka, termasuk gubernur petahana Irwandi
Yusuf.
Terkait hasil itu, dapatlah dikatakan para
pemilih di Aceh, seperti juga banyak pemilih lain di berbagai daearah di
Indonesia, adalah pemilih irasional, dan mungkin hanya 10–15 persen pemilih
yang rasional. Pemilih rasional adalah pemilih yang memilih dalam sebuah pemilu
atau pilkada berdasarkan informasi yang diperolehnya terhadap seorang kandidat
atau partai.
Informasi itu dapat berupa rekam jejak,
komitmen, integritas, maupun kapabilitasnya. Berdasarkan informasi itu seorang
pemilih memutuskan bahwa kandidat pilihannya layak diberi amanah dan tanggung
jawab untuk menjalankan sebuah pemerintahan.
Demokrasi modern memang ingin mewujudkan
pemilih rasional. Namun obsesi demokrasi terlalu besar. Apalagi dalam konteks
Indonesia sebagai negara berkembang dan Aceh sebagai wilayah pascakonflik. Di
Amerika saja, negara demokrasi terbesar di dunia, masih banyak pemilih yang
irasional.
Sebagaimana kita ketahui, proporsi pemilih
terbesar di Aceh berada di wilayah pedesaan dan terpencil, tidak semua akses
informasi bisa dinikmati dan dianalisis dengan baik oleh masyarakat. Bukan saja
berbagai saluran informasi yang terhambat, namun masyarakat juga disibukkan
dengan kegiatan mencari nafkah, agar keluarga dapat bertahan hidup di
tengah-tengah situasi ekonomi keluarga yang kian sulit.
Masyarakat Pelupa
Sebanyak 50 persen lebih orang memilih di
Aceh berdasarkan faktor sosiologis dan psikologis. Faktor sosiologis adalah
seseorang menentukan pilihan dalam pemilu atau pilkada berdasarkan aspek sosiologis.
Pengaruh sosial akan memengaruhi prilaku pemilih. Kelompok sosial tertentu baik
besar maupun kecil cenderung mempengaruhi anggotanya untuk memilih calon
tertentu. Jadi, sebenarnya yang menentukan pilihan adalah kelompok sosial.
Dengan begitu, tekanan sosial sangat besar.
Selain itu, ada faktor psikologis yang juga
sangat berperan dalam setiap pemilu. Selama ini, orang memilih bukan berdasar
logika, tetapi berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ditentukan faktor
psikologis. Bisa karena mengidentifikasikan diri dengan partai (party ID),
orientasi isu, maupun orientasi calon. Keluarga juga menjadi penentu utama
sebagai agent of socialization.
Dari faktor sosiologis maupun psikologis itu dapat diketahui perilaku para
pemilih. Dalam kasus pilkada di Aceh, bila pemilih cenderung berperilaku
irasional, itu sah-sah saja. Hanya saja, bila pemilih memberikan suara secara
irasional, akan berpengaruh pada kualitas pemimpin yang akan terpilih nantinya.
Dengan begitu, pemilu atau pilkada pada akhirnya belum mampu menghasilkan para
pejabat yang diharapkan mampu menjalankan pemerintahan berkualitas.
Sementara itu, pada sisi lain, kita
berhadapan dengan kondisi masyarakat yang "pelupa" terhadap keburukan
atau praktik-praktik tidak demokratis sejumlah kandidat. Lupa politik itu sudah
seperti penyakit sosial di Indonesia. Oleh karena itu pun, praktik-praktik
politik tidak sehat seperti politik uang dan pemaksaan memilih (intimidasi)
mudah terjadi di masyarakat pada level akar rumput. Padahal kedua hal itu
merupakan musuh besar demokrasi.
Politik uang dalam komunikasi politik adalah
perbuatan tercela. Perilaku itu sama saja dengan mengingkari salah satu dasar
dari demokrasi, yaitu hak individu yang bebas. Pemilih memilih karena uang.
Begitupun bila memilih karena paksaan.
Akan tetapi, di Aceh, dan banyak daerah di
Indonesia, kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang sehari-hari bergelut
dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kondisi seperti ini politik
uang dan intimidasi menjadi sulit dihindari, dan pasti terjadi. Sebagai catatan
saja, dalam proses pilkada di Aceh tercatat ada 12 orang yang tewas terbunuh.
Sementara itu, ketika berhadapan dengan kesulitan ekonomi, hal yang terjadi di
masa lalu, terlupakan. Jadi, masyarakat terkondisikan berpikir sehari demi
sehari, bukan skenario dan visi jauh di masa depan.
PA Pemenang
Pada akhirnya sudah terbukti bahwa PA menang
dalam pilkada di Aceh yang berlangsung Senin (9/4) lalu, dan perolehan suara
besar hampir merata di seluruh provinsi. Hal itu dapat terjadi karena PA
memiliki struktur dan mesin politik yang jelas sampai di level kampung.
Pasangan calon di level kabupaten kota akan bekerja paralel untuk pemenangan
Zaini Muzakkir. PA memiliki massa ideologis, dan mereka yang selama ini
terbukti telah kembali ke gerbongnya.
Dukungan DPRA dan DPRK terhadap PA serta
mantan bupati/wali kota juga sangat menentukan. Irwandi dan Nazar memang
terbukti mampu menjadi pesaing utama PA. Karena keduanya juga memiliki wilayah
garapan yang kurang lebih hampir sama.
Ke depan, Aceh juga butuh keseimbangan
pemerintahan antara eksekutif dan legislatif. Dengan begitu, pemerintah Aceh
bisa kuat. Mereka tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi konflik
antara eksekutif dan legislatif, sehingga cenderung tidak produktif dan
merugikan masyarakat. PA memiliki itu, karena mayoritas parlemen Aceh dikuasai
PA dengan 33 kursi. ●
salam kenal pak Budi, terima kasih sudah mengkliping tulisan saya ini. hehe..
BalasHapus