Rabu, 11 April 2012

Pemilih Aceh Irasional


Pemilih Aceh Irasional
Azwir Nazar, Pengamat Komunikasi Politik di Aceh
SUMBER : SINAR HARAPAN, 11 April 2012


Sebagaimana kita ketahui, pemilihan kepala daerah di Aceh telah terlaksana dan untuk sementara Partai Aceh (PA), yang mengusung pasangan calon gubernur/wakil gubernur Zaini Abdillah/Muzakir Manaf, unggul meninggalkan lawan-lawan mereka, termasuk gubernur petahana Irwandi Yusuf.

Terkait hasil itu, dapatlah dikatakan para pemilih di Aceh, seperti juga banyak pemilih lain di berbagai daearah di Indonesia, adalah pemilih irasional, dan mungkin hanya 10–15 persen pemilih yang rasional. Pemilih rasional adalah pemilih yang memilih dalam sebuah pemilu atau pilkada berdasarkan informasi yang diperolehnya terhadap seorang kandidat atau partai.

Informasi itu dapat berupa rekam jejak, komitmen, integritas, maupun kapabilitasnya. Berdasarkan informasi itu seorang pemilih memutuskan bahwa kandidat pilihannya layak diberi amanah dan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah pemerintahan.

Demokrasi modern memang ingin mewujudkan pemilih rasional. Namun obsesi demokrasi terlalu besar. Apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dan Aceh sebagai wilayah pascakonflik. Di Amerika saja, negara demokrasi terbesar di dunia, masih banyak pemilih yang irasional.

Sebagaimana kita ketahui, proporsi pemilih terbesar di Aceh berada di wilayah pedesaan dan terpencil, tidak semua akses informasi bisa dinikmati dan dianalisis dengan baik oleh masyarakat. Bukan saja berbagai saluran informasi yang terhambat, namun masyarakat juga disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah, agar keluarga dapat bertahan hidup di tengah-tengah situasi ekonomi keluarga yang kian sulit.

Masyarakat Pelupa

Sebanyak 50 persen lebih orang memilih di Aceh berdasarkan faktor sosiologis dan psikologis. Faktor sosiologis adalah seseorang menentukan pilihan dalam pemilu atau pilkada berdasarkan aspek sosiologis. Pengaruh sosial akan memengaruhi prilaku pemilih. Kelompok sosial tertentu baik besar maupun kecil cenderung mempengaruhi anggotanya untuk memilih calon tertentu. Jadi, sebenarnya yang menentukan pilihan adalah kelompok sosial. Dengan begitu, tekanan sosial sangat besar.

Selain itu, ada faktor psikologis yang juga sangat berperan dalam setiap pemilu. Selama ini, orang memilih bukan berdasar logika, tetapi berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ditentukan faktor psikologis. Bisa karena mengidentifikasikan diri dengan partai (party ID), orientasi isu, maupun orientasi calon. Keluarga juga menjadi penentu utama sebagai agent of socialization.
 
Dari faktor sosiologis maupun psikologis itu dapat diketahui perilaku para pemilih. Dalam kasus pilkada di Aceh, bila pemilih cenderung berperilaku irasional, itu sah-sah saja. Hanya saja, bila pemilih memberikan suara secara irasional, akan berpengaruh pada kualitas pemimpin yang akan terpilih nantinya. Dengan begitu, pemilu atau pilkada pada akhirnya belum mampu menghasilkan para pejabat yang diharapkan mampu menjalankan pemerintahan berkualitas.

Sementara itu, pada sisi lain, kita berhadapan dengan kondisi masyarakat yang "pelupa" terhadap keburukan atau praktik-praktik tidak demokratis sejumlah kandidat. Lupa politik itu sudah seperti penyakit sosial di Indonesia. Oleh karena itu pun, praktik-praktik politik tidak sehat seperti politik uang dan pemaksaan memilih (intimidasi) mudah terjadi di masyarakat pada level akar rumput. Padahal kedua hal itu merupakan musuh besar demokrasi.

Politik uang dalam komunikasi politik adalah perbuatan tercela. Perilaku itu sama saja dengan mengingkari salah satu dasar dari demokrasi, yaitu hak individu yang bebas. Pemilih memilih karena uang. Begitupun bila memilih karena paksaan.

Akan tetapi, di Aceh, dan banyak daerah di Indonesia, kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang sehari-hari bergelut dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kondisi seperti ini politik uang dan intimidasi menjadi sulit dihindari, dan pasti terjadi. Sebagai catatan saja, dalam proses pilkada di Aceh tercatat ada 12 orang yang tewas terbunuh. Sementara itu, ketika berhadapan dengan kesulitan ekonomi, hal yang terjadi di masa lalu, terlupakan. Jadi, masyarakat terkondisikan berpikir sehari demi sehari, bukan skenario dan visi jauh di masa depan.

PA Pemenang

Pada akhirnya sudah terbukti bahwa PA menang dalam pilkada di Aceh yang berlangsung Senin (9/4) lalu, dan perolehan suara besar hampir merata di seluruh provinsi. Hal itu dapat terjadi karena PA memiliki struktur dan mesin politik yang jelas sampai di level kampung. Pasangan calon di level kabupaten kota akan bekerja paralel untuk pemenangan Zaini Muzakkir. PA memiliki massa ideologis, dan mereka yang selama ini terbukti telah kembali ke gerbongnya.

Dukungan DPRA dan DPRK terhadap PA serta mantan bupati/wali kota juga sangat menentukan. Irwandi dan Nazar memang terbukti mampu menjadi pesaing utama PA. Karena keduanya juga memiliki wilayah garapan yang kurang lebih hampir sama.

Ke depan, Aceh juga butuh keseimbangan pemerintahan antara eksekutif dan legislatif. Dengan begitu, pemerintah Aceh bisa kuat. Mereka tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi konflik antara eksekutif dan legislatif, sehingga cenderung tidak produktif dan merugikan masyarakat. PA memiliki itu, karena mayoritas parlemen Aceh dikuasai PA dengan 33 kursi.

1 komentar:

  1. salam kenal pak Budi, terima kasih sudah mengkliping tulisan saya ini. hehe..

    BalasHapus