Rabu, 11 April 2012

Hidup di Tengah Krisis Energi


Hidup di Tengah Krisis Energi
Atmonobudi Subagio, Guru Besar Teknik Energi dan Ketua Center for Research and Policy Study of Renewable Energy Applications – UKI
SUMBER : SINAR HARAPAN, 11 April 2012


Manusia tidak dapat hidup tanpa energi. Pada awalnya, energi merupakan kebutuhan primer manusia, namun kini meningkat menjadi pelengkap dalam memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi kehidupan mereka. Walaupun semakin bergantung pada energi, ternyata tidak ada hubungan linier antara konsumsi bahan bakar fosil dengan perkembangan ekonomi bangsa, pencapaian tingkat sosial, maupun kualitas hidup setiap individu; sebaliknya, merupakan hubungan yang kompleks.

Kompleksitas tersebut tampak dari korelasi antara konsumsi energi per kapita per tahun dengan tingkat kebebasan politik, angka kematian bayi, rerata harapan hidup perempuan saat melahirkan, ketersediaan pangan harian per kapita, dan indeks pembangunan manusia (V Smil, 2005).

Krisis Ganda

Saat ini kita berada di abad perubahan iklim dan krisis energi yang berlangsung secara berbarengan. Ironisnya, krisis ganda tersebut berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Kebutuhan akan energi ternyata juga melonjak ketika manusia harus survive terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim akan selalu menimbulkan dislokasi ekstrem pada banyak ekosistem ketika sistem-sistem tersebut mengalami perubahan curah hujan dan suhu. Hal yang serupa juga terjadi pada korelasi antara energi dan lingkungan.

John P Holdren (Harvard University) bahkan mengungkapkan tentang kuatnya hubungan timbal balik antara energi dan lingkungan melalui pernyataannya: “Energy is the hardest part of the environment problem; environment is the hardest part of the energy problem.” Biaya untuk menstabilkan iklim memang besar tetapi masih dapat dikendalikan. Sebaliknya, penundaan akan membuatnya semakin berbahaya dan sangat mahal.

Lemahnya "Sense of Crisis"

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia memperoleh devisa dari ekspor minyaknya, meskipun bukan satu-satunya. Krisis bahan bakar dunia bermula pada 1973 ketika harga minyak mentah melonjak dari US$ 2 menjadi US$ 12 per barel. Pemerintah ketika itu memandang periode 1973 sampai 1979 sebagai masa kejayaan sektor minyak, walaupun produksinya hanya 2,13 persen dari total produksi minyak dunia.

Krisis tersebut ternyata merupakan awal kebangkitam masyarakat dunia untuk beralih ke energi terbarukan dan mengembangkannya. Sayangnya, kebangkitan yang satu ini tidak dicermati oleh Indonesia. Kini, negara ini telah turun peringkatnya menjadi net oil importer.

Membangun Kemandirian Energi

Suatu negara dikatakan memiliki ketahanan nasional yang kuat apabila memiliki kemandirian di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu pilar utama dari kemandirian ekonomi adalah tingginya tingkat keamanan suplai energinya.

Lemahnya kepekaan akan krisis energi di awal 1970-an tersebut tampaknya terulang kembali. Ekspor batu bara telah meningkat tajam dalam lima tahun terakhir, padahal hanya 25 persen yang diperlukan untuk kebutuhan domestik. Menurut International Energy Agency (IEA) potensi batu bara Indonesia 4,8 miliar ton, sedangkan menurut Direktorat Pengusahaan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Kementerian ESDM adalah sebesar 104,76 miliar ton.

Apakah data pemerintah tersebut yang menjadi penyebab lonjakan ekspor? Apa yang terjadi bila data IEA lebih akurat? Ini hanya sebuah contoh dari masih adanya kontradiksi kebijakan yang berpotensi memperlemah kedaulatan dan keamanan energi nasional di tengah krisis ganda yang sedang kita alami.

Definisi pembangunan berkelanjutan, sebagaimana tercantum pada Brundtland Report (WCED, 1987) berbunyi: “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Bila definisi tersebut diaplikasikan ke dalam konteks energi, tampak jelas bahwa pemberian izin ekspor batu bara secara besar-besaran sangat bertentangan dengan prinsip kemandirian energi nasional yang seharusnya kokoh dan berkelanjutan.

Kebijakan Dekarbonisasi

Solusi strategis dalam mengatasi krisis ganda secara simultan adalah dengan mengeluarkan kebijakan dekarbonisasi. Sektor daya listrik yang selama ini sangat bergantung pada bahan bakar fosil diwajibkan menggunakan penangkap karbon dan sistem penyimpanannya, apabila ingin tetap bergantung pada batu bara. Indeks keberagaman atau Shannon-Wiener Index (SWI), sumber energi untuk pembangkit listrik di Indonesia saat ini sebesar 1,0585, yang berarti sangat didominasi oleh satu jenis bahan bakar saja, yaitu batu bara. Idealnya, SWI > 2,0.

Kebijakan dekarbonisasi lainnya adalah: (a) melakukan diversifikasi sumber energi; (b) menerapkan pajak karbon bagi industri dan transportasi; (c) menghutankan kembali lahan yang gundul dan tandus; (d) memberikan insentif atau keringanan pajak bagi produk industri yang rendah karbon dan diproduksi secara padat karya; (e) menurunkan kuota ekspor batu bara; (f) elektrivikasi sistem transportasi umum darat dengan menggunakan KRL dan bus listrik; dan (g) mengganti beberapa kebijakan yang bertentangan dengan program mengatasi krisis ganda tersebut.

Pemahaman dan kepekaan tentang krisis ganda tersebut juga perlu dimiliki oleh kalangan legislatif karena mereka terlibat langsung di dalam merumuskan UU, serta fungsi pengawasan atas pelaksanaannya; maupun oleh kalangan judikatif. Dengan demikian, vonis para hakim pun tidak lagi sangat ringan dan mengusik rasa keadilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar