Pemerataan
Akses Pendidikan Bangsa
Agus Wibowo, Pemerhati Pendidikan;
Alumnus
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 09 April 2012
MENTERI
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, dalam sebuah kesempatan,
melontarkan gagasan pentingnya pemerataan akses pendidikan pada 2012. Melalui
jargon ‘Menjangkau mereka yang tak
terjangkau’, Mendikbud Mohammad Nuh berharap pemerataan pendidikan bagi
seluruh masyarakat bisa segera terealisasikan. Pendek kata, pada 2012 ini,
ketidakmerataan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini bisa diminimalkan,
bahkan dihilangkan.
Gagasan
Mendikbud itu patut didukung dan diapresiasi secara positif. Pasalnya, sampai
saat ini ketidakmerataan pendidikan di negeri ini masih terjadi, tidak hanya
antarwilayah geografi s yaitu antara perkotaan dan perdesaan, tetapi juga antara
kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), antartingkat
pendapatan penduduk dan antargender.
Pendidikan,
kata Mochtar Buchori (1994: 54), merupakan pilar peradaban bangsa. Jika
berharap bangsa ini bermartabat, pendidikan harus menjadi garda depan dan
prioritas utama. Pentingnya kemudahan akses pendidikan jauh hari sudah menjadi
ancangan para bapak bangsa. Ki Hajar Dewantara, misalnya. Melalui pawiyatan
yang diberi nama Taman Siswa, ia berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh
rakyat tanpa pandang bulu. Itu karena pendidikan, kata Ki Hajar (1971),
merupakan sarana/alat yang paling efektif untuk membangkitkan kesadaran,
khususnya sebagai bangsa terjajah.
Terlupakan
Namun,
harapan para bapak bangsa dan masyarakat kita masih sekadar mimpi karena sampai
saat ini pemerintah belum berhasil merealisasikannya. Benar banyak gedung sekolah,
sarana, dan fasilitas pendidikan modern dibangun. Namun kenyataannya, berbagai
fasilitas pendidikan itu hanya dapat diakses kaum menengah ke atas. Rakyat
miskin, apalagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil/perbatasan, hanya
mampu mendengar tanpa dapat mengaksesnya. Lebih ironis lagi, mereka yang ada di
kawasan miskin dan terpencil seakan-akan terlupakan dari program megah
pendidikan nasional kita itu.
Diskriminasi
juga kental terasa dalam sistem pendidikan kita. Kebijakan otonomi pendidikan
misalnya--yang kemudian memberikan hak sepenuhnya kepada setiap penyelenggara
dan satuan pendidikan,--menunjukkan satu bukti konkret bahwa pendidikan berada
dalam jerat komersialisasi. Hanya kaum berduit yang bisa mengakses dan
menikmatinya.
Benar
setahun yang lalu UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) telah dibekukan. Namun,
bentuk serupa masih terjadi dalam praktik pendidikan tinggi kita. Lewat payung
otonomi, terbuka kesempatan bagi oknum perguruan tinggi (PT) untuk menerapkan
cara mereka sendiri-sendiri dalam mengeruk pendanaan, seperti kenaikan biaya
SPP, pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersial, hingga
komersialisasi aset-aset kampus.
Dalih
penyediaan software dan hardware pendidikan dijadikan banyak PT
dan universitas sebagai alasan rasional untuk mematok biaya mahal. Akibat
komersialisasi itu, fenomena kesenjangan semakin nyata; yang kaya semakin
pintar dan dengan kepintarannya membodohi si miskin. Sebaliknya, si miskin dan
masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya akan terjauhkan dengan
sendirinya dari dunia pendidikan yang secara otomatis akan semakin bodoh dan
mudah diperdaya. Ironis sekali bukan?
Tidak
salah jika setahun lalu Mendikbud Mohammad Nuh meminta PT/ universitas
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat miskin untuk mengenyam
pendidikan. Seruan Mendikbud itu sudah selayaknya didengar para pengelola PT
baik negeri maupun swasta, sebagai wujud kepedulian mereka terhadap masa depan
dan kualitas bangsa.
Seruan
Mendikbud itu juga sesuai dengan beban konstitusi yang menjadi kewajiban
pemerintah. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tugas
pemerintah ialah mencerdaskan dan mengangkat martabat bangsa melalui
pendidikan. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menyebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan
pendidikan nasional minimal sebesar 20%, yang diambilkan dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), maupun anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD). Dengan demikian, pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan
guna mencerdaskan rakyat sebagai amanat konstitusi.
Urgensi Pemerataan
Pemerataan
pendidikan, dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ialah
solusi tepat guna menjangkau mereka yang tak terjangkau. Pemerataan pendidikan
juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring pula dengan
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Lantas
yang menjadi pertanyaan, siapa saja yang mesti diprioritaskan dalam pemerataan
pendidikan? Tentu saja kelompok masyarakat miskin yang berjumlah lebih dari
38,4 juta orang atau 17,6% dari total penduduk. Namun yang paling penting yaitu
masyarakat miskin yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi
kebutuhan pendi dikan bagi mereka, cara konvensional seperti pembangunan sarana
pendidikan dan pemberian bantuan dana pendidikan melalui program pendam ping
keluarga harapan (PKH) harus bersinergi dengan strategi nonkonvensional.
Strategi itu seperti pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai media pendidikan bangsa;
internet, televisi, radio, dan sebagainya.
Sayangnya,
sekalipun kemajuan teknologi komunikasi menawarkan pemerataan pendidikan dengan
biaya yang relatif rendah, penggunaannya justru menciptakan diskriminasi baru.
Yang bisa mengakses justru orang-orang kaya, bukan mereka yang sejatinya lebih
memerlukan. Pendek kata, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak
terjangkau d dan dapat menghadirkan pend didikan kepada warga belajar, mereka
yang terlupakan tetap dirugikan; karena bukan hanya tetap buta teknologi,
melainkan juga tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan. Ironis sekali!
Untuk
mengatasi ketimpangan dan ketidakmerataan pendidikan itu, kata Mohammad Nuh
(2010), sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh bisa menjadi jawaban. Sistem
itu sudah terbukti mengatasi hambatan banyak negara di dunia, termasuk
Indonesia, untuk memeratakan akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Sistem
pendidikan terbuka dan jarak jauh juga memperluas akses pendidikan dan memberi
pilihan pembelajaran sesuai dengan keinginan dan kebutuhan peserta didik. “Universitas terbuka (UT) bukan alternatif
terakhir, tetapi jadi pilihan masyarakat sesuai kondisi dan kebutuhan peserta.
UT terjangkau dan bisa menjangkau peserta di mana pun dan dalam kondisi apa pun,“
tutur Mohammad Nuh.
Guna
menyediakan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh, pemerintah sebagai
pemegang kebijakan perlu menambah banyak alternatif. Langkah ini menjadi
penting agar masyarakat kita yang multietnik, multibudaya, dan multigeografis
bisa memilih akses pendidikan sesuai dengan keinginan mereka.
Agar
pembelajaran terbuka dan jarak jauh bisa optimal, diperlukan metode
pembelajaran online kolaboratif
(Media Indonesia, 10/1). Dalam hal ini, peserta didik tidak ha nya meng akses
materi ajar di portal tertentu, tetapi juga berbagi informasi dan pengalaman
sehingga terjadi interaksi antarpeserta didik. Jika hal ini sudah bisa
terealisasi, pendidikan jarak jauh akan tumbuh dengan cepat dan pengetahuan
mengalir ke semua lapisan masyarakat. Alhasil, mereka yang selama ini tidak
terjangkau bisa terjangkau.
Sudah
saatnya UT menjadi garda depan pemerataan pendidikan hingga daerah-daerah
terpencil. Namun, kendala yang dihadapi saat ini ialah keterbatasan
infrastruktur informasi dan teknologi. Akibatnya, hanya mahasiswa dengan letak
geografis di perkotaan yang bisa memanfaatkan pembelajaran online. Dari sekitar
600 ribu mahasiswa UT, hanya 30 ribu hingga 40 ribu mahasiswa yang menggunakan
pembelajaran online (Tia Belawati,
2012). Selain itu, alokasi anggaran untuk UT relatif minim. Sebagian besar dana
untuk membiayai konektivitas pembelajaran online
yang berbasis informasi dan teknologi.
Akhirnya,
jargon pendidikan ‘Menjangkau mereka yang
tak terjangkau’ harus didukung segenap elemen masyarakat. Bukan waktunya
lagi aspek ekonomi, geografis, dan aspek gender menjadi penghalang untuk
mengakses pendidikan. Pemerataan pendidikan ini diharapkan efektif meningkatkan
indeks pembangunan manusia (human
development index/HDI). Itu karena pendidikan berkorelasi positif terhadap
capaian HDI, yang merupakan gabungan dari nilai indeks kesehatan, pendidikan,
dan pendapatan per kapita. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar