Dramaturgi
Ekonomi Indonesia
Mukhaer Pakkanna, Peneliti
Center for Information and Development Studies (Cides, Rektor STIE Ahmad Dahlan
Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Asupan dramaturgi politik sudah
dipertontonkan secara telanjang oleh para politisi di parlemen. Mereka
memainkan peran kamuflase yang keluar dari orbit kesadarannya.
Mereka menjadi aktor yang memainkan karakter
manusia- manusia lain dan penonton dapat memperoleh konstruksi utuh bahwa alur
cerita itu seolah-olah benar adanya. Dramaturgi itu menjadi alat justifikasi
permainan heroik para politisi bahwa mereka berjuang demi kepentingan rakyat.
Dramaturgi dipopulerkan Aristoteles sekitar
350 SM dalam karyanya, Poetics. Aristoteles mendeskripsikan tentang penampilan/drama-drama
yang berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Menurut Aristoteles,
manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal
dan tujuan kepada orang lain melalui ”pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya itu, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung
perannya.
Tidaklah mengherankan apabila
perilaku-perilaku politisi ”kutu loncat”,
”menyalip di tikungan”, ”pahlawan kesiangan”, hingga karakter topeng, kerap mereka lakoni.
Tatkala berlangsung pengambilan keputusan menaikkan atau menurunkan, mencabut
atau tidak, subsidi bahan bakar minyak (BBM), asupan dramaturgi berlaku.
Sesungguhnya, mereka tak peduli persoalan
riil di balik panggung drama. Alih-alih sebagai katalisator dan artikulator
rakyat, mereka hanya memperjuangkan kepentingan kelompok, pribadi, dan
kekuasaan (politik dan pemodal kakap).
Keadilan Ekonomi
Terlihat jelas, ”pertikaian” di antara politisi di panggung politik pada soal
penaikan harga BBM tidak menohok pada inti persoalan ideologis tentang raison d’etre ekonomi nasional.
Konsekuensinya, peristiwa ”pertikaian”
serupa akan muncul-tenggelam, tergantung pragmatisme politik yang berkembang.
Setidaknya ini terlihat dari pertama, rumusan
hasil voting Sidang Paripurna DPR yang menerima tambahan Pasal 7 Ayat (6a) UU
APBN-P 2012. Klausul tambahan itu memberikan ruang kepada pemerintah untuk
menaikkan dan menurunkan harga BBM jika harga minyak mentah Indonesia mengalami
kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir.
Lagi-lagi, ayat itu lalai merujuk hasil
keputusan MK terkait pembatalan Pasal 28 dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Migas. Pasal itu dibatalkan karena dianggap MK tidak mengandung makna ideologi
konstitusi ekonomi nasional.
Kedua, para politisi hanya sibuk
mengutak-atik besaran subsidi, besaran kenaikan harga BBM, dan angka kenaikan
dari harga minyak mentah Indonesia (ICP). Padahal, persoalan sesungguhnya,
siapa sutradara dalam permainan dramaturgi penguasaan pengelolaan minyak?
Jangan-jangan, di tengah pertikaian yang
terjadi di panggung politik nasional, justru sutradara terbahak-bahak
menertawai kebodohan kita.
Tampaknya, para aktor yang bermain (sadar
atau tidak) telah disandera oleh sutradara yang sudah lama merecoki pilot
negara, memainkan politisi myopic, dan menjanjikan surplus bagi komparador
domestik. Tidak mengherankan, tatkala panggung dramaturgi digelar di parlemen,
tidak satu pun politisi, fraksi, dan pejabat negara berteriak lantang menyoal
sutradara itu.
Ketidakadilan Ekonomi
Padahal, inti resistensi publik terhadap
rencana kenaikan harga BBM terletak pada soal ketidakadilan ekonomi. Publik
sejatinya sadar, minyak di perut bumi Indonesia semakin tipis.
Mengikuti logika permintaan-penawaran, dalam
kondisi ceteris paribus, harga BBM memang harus naik. Akan tetapi, persoalannya
bukan itu. Adanya sutradara yang diawetkan negara dalam mengelola 92 persen isi
perut bumi Indonesia, itulah yang memicu kemarahan publik. Demikian juga di
tingkat hilir, su- tradara asing pemodal kakap ini diundang dan
siap memangsa.
Bukan hanya migas yang dikuasai sutradara
asing, nyaris semua lini sumber daya ekonomi dikuasai korporatokrasi global.
Mereka melakukan persekongkolan dengan pejabat negara, komprador domestik, dan
lembaga keuangan.
Di perkebunan sawit, misalnya, penguasaan
lahan oleh korporasi asing sudah melampaui 75 persen (9,2 juta hektar). Hanya
3,6 juta hektar lahan yang tersisa dan dikelola 2,5 juta petani sawit di dalam
negeri (Sawit Watch, 2011).
Demikian juga di bidang pangan, penetrasi
asing melalui perusahaan multinasional semakin mencengkeram. Korporasi asing di
Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi juga meluas dari hulu
(sarana produksi pertanian, yang hanya dipasok oleh sepuluh perusahaan multinasional)
hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan, dan ritel.
Bahkan, sebagai negeri bahari pun sektor
perikanan di Indonesia didominasi asing. Menurut data BKPM, selama triwulan
IV-2011, total investasi asing untuk perikanan mencapai 1,2 juta dollar AS (Rp
10,28 miliar).
Pejabat Negara Abai
Ketidakmampuan pilot negara mengelola sumber
daya ekonomi memicu pertanyaan publik, apa yang dilakukan pejabat negara?
Marahnya rakyat bukan semata karena harga
terus naik, melainkan juga karena tidak terlihat ada upaya pejabat untuk
mengatasi masalah, termasuk penguasaan sumber daya yang tidak adil dan tidak
konstitusional.
Amanat Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: ”Cabang produksi penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Demikian juga ayat: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, kurang dipedulikan para aktor
dramaturgi ekonomi ini.
Semua itu membuat ekonomi Indonesia disandera
kekuatan sutradara. Karena itu, langkah yang perlu ditempuh adalah
nasionalisasi penguasaan sumber daya ekonomi dengan memberi kepercayaan
kekuatan domestik.
Heroisme yang dilakoni Bolivia dan Venezuela
patut dipertimbangkan. Kedua negara itu sukses menasionalisasikan berbagai
perusahaan migas dan telah membawa manfaat bagi ekonomi negara dan rakyat.
Meski demikian, yang paling mendasar
dilakukan adalah reorientasi paradigma dan strategi pembangunan ekonomi yang
sudah jauh melenceng dari spirit ekonomi konstitusi. Pola pikir para aktor dan
pilot ekonomi negara harus segera dibongkar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar