Senin, 09 April 2012

Dramaturgi Ekonomi Indonesia


Dramaturgi Ekonomi Indonesia
Mukhaer Pakkanna, Peneliti Center for Information and Development Studies (Cides, Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012



Asupan dramaturgi politik sudah dipertontonkan secara telanjang oleh para politisi di parlemen. Mereka memainkan peran kamuflase yang keluar dari orbit kesadarannya.

Mereka menjadi aktor yang memainkan karakter manusia- manusia lain dan penonton dapat memperoleh konstruksi utuh bahwa alur cerita itu seolah-olah benar adanya. Dramaturgi itu menjadi alat justifikasi permainan heroik para politisi bahwa mereka berjuang demi kepentingan rakyat.

Dramaturgi dipopulerkan Aristoteles sekitar 350 SM dalam karyanya, Poetics. Aristoteles mendeskripsikan tentang penampilan/drama-drama yang berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Menurut Aristoteles, manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui ”pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya itu, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya.

Tidaklah mengherankan apabila perilaku-perilaku politisi ”kutu loncat”, ”menyalip di tikungan”, ”pahlawan kesiangan”, hingga karakter topeng, kerap mereka lakoni. Tatkala berlangsung pengambilan keputusan menaikkan atau menurunkan, mencabut atau tidak, subsidi bahan bakar minyak (BBM), asupan dramaturgi berlaku.

Sesungguhnya, mereka tak peduli persoalan riil di balik panggung drama. Alih-alih sebagai katalisator dan artikulator rakyat, mereka hanya memperjuangkan kepentingan kelompok, pribadi, dan kekuasaan (politik dan pemodal kakap).

Keadilan Ekonomi

Terlihat jelas, ”pertikaian” di antara politisi di panggung politik pada soal penaikan harga BBM tidak menohok pada inti persoalan ideologis tentang raison d’etre ekonomi nasional. Konsekuensinya, peristiwa ”pertikaian” serupa akan muncul-tenggelam, tergantung pragmatisme politik yang berkembang.

Setidaknya ini terlihat dari pertama, rumusan hasil voting Sidang Paripurna DPR yang menerima tambahan Pasal 7 Ayat (6a) UU APBN-P 2012. Klausul tambahan itu memberikan ruang kepada pemerintah untuk menaikkan dan menurunkan harga BBM jika harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir.

Lagi-lagi, ayat itu lalai merujuk hasil keputusan MK terkait pembatalan Pasal 28 dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pasal itu dibatalkan karena dianggap MK tidak mengandung makna ideologi konstitusi ekonomi nasional.

Kedua, para politisi hanya sibuk mengutak-atik besaran subsidi, besaran kenaikan harga BBM, dan angka kenaikan dari harga minyak mentah Indonesia (ICP). Padahal, persoalan sesungguhnya, siapa sutradara dalam permainan dramaturgi penguasaan pengelolaan minyak?

Jangan-jangan, di tengah pertikaian yang terjadi di panggung politik nasional, justru sutradara terbahak-bahak menertawai kebodohan kita.

Tampaknya, para aktor yang bermain (sadar atau tidak) telah disandera oleh sutradara yang sudah lama merecoki pilot negara, memainkan politisi myopic, dan menjanjikan surplus bagi komparador domestik. Tidak mengherankan, tatkala panggung dramaturgi digelar di parlemen, tidak satu pun politisi, fraksi, dan pejabat negara berteriak lantang menyoal sutradara itu.

Ketidakadilan Ekonomi

Padahal, inti resistensi publik terhadap rencana kenaikan harga BBM terletak pada soal ketidakadilan ekonomi. Publik sejatinya sadar, minyak di perut bumi Indonesia semakin tipis.

Mengikuti logika permintaan-penawaran, dalam kondisi ceteris paribus, harga BBM memang harus naik. Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Adanya sutradara yang diawetkan negara dalam mengelola 92 persen isi perut bumi Indonesia, itulah yang memicu kemarahan publik. Demikian juga di tingkat hilir, su- tradara asing pemodal kakap ini diundang dan siap memangsa.

Bukan hanya migas yang dikuasai sutradara asing, nyaris semua lini sumber daya ekonomi dikuasai korporatokrasi global. Mereka melakukan persekongkolan dengan pejabat negara, komprador domestik, dan lembaga keuangan.

Di perkebunan sawit, misalnya, penguasaan lahan oleh korporasi asing sudah melampaui 75 persen (9,2 juta hektar). Hanya 3,6 juta hektar lahan yang tersisa dan dikelola 2,5 juta petani sawit di dalam negeri (Sawit Watch, 2011).

Demikian juga di bidang pangan, penetrasi asing melalui perusahaan multinasional semakin mencengkeram. Korporasi asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi juga meluas dari hulu (sarana produksi pertanian, yang hanya dipasok oleh sepuluh perusahaan multinasional) hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan, dan ritel.

Bahkan, sebagai negeri bahari pun sektor perikanan di Indonesia didominasi asing. Menurut data BKPM, selama triwulan IV-2011, total investasi asing untuk perikanan mencapai 1,2 juta dollar AS (Rp 10,28 miliar).

Pejabat Negara Abai

Ketidakmampuan pilot negara mengelola sumber daya ekonomi memicu pertanyaan publik, apa yang dilakukan pejabat negara?

Marahnya rakyat bukan semata karena harga terus naik, melainkan juga karena tidak terlihat ada upaya pejabat untuk mengatasi masalah, termasuk penguasaan sumber daya yang tidak adil dan tidak konstitusional.

Amanat Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: ”Cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Demikian juga ayat: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, kurang dipedulikan para aktor dramaturgi ekonomi ini.

Semua itu membuat ekonomi Indonesia disandera kekuatan sutradara. Karena itu, langkah yang perlu ditempuh adalah nasionalisasi penguasaan sumber daya ekonomi dengan memberi kepercayaan kekuatan domestik.

Heroisme yang dilakoni Bolivia dan Venezuela patut dipertimbangkan. Kedua negara itu sukses menasionalisasikan berbagai perusahaan migas dan telah membawa manfaat bagi ekonomi negara dan rakyat.

Meski demikian, yang paling mendasar dilakukan adalah reorientasi paradigma dan strategi pembangunan ekonomi yang sudah jauh melenceng dari spirit ekonomi konstitusi. Pola pikir para aktor dan pilot ekonomi negara harus segera dibongkar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar