Ketidakpastian:
Tragedi
Budiarto Shambazy, Wartawan
Senior KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 07 April 2012
Di awal 1960-an, minyak mencakup seperempat
dari total ekspor yang didominasi multinational corporations
yang menanam modal 400 juta dollar AS dan diperkirakan melonjak 1 miliar dollar
AS tahun 1965.
Caltex (AS) menguasai 85 persen ekspor,
Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor 94 juta
barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia.
Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang
per tahunnya 43 juta barrel, Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar AS,
Jepang, dan Australia.
Sejak 1951, Bung Karno (BK) membekukan
konsesi bagi multinational corporations (MNC) dan memberlakukan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, ”Seluruh
pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara.”
Sejak merdeka, MNC berpegang pada ”let alone agreement”. Cara ini
menghindari nasionalisasi, tetapi mewajibkan MNC mempekerjakan mayoritas SDM
lokal.
Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan
karena laba menurun dan produksi terhambat. ”Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell) langsung minta negosiasi
ulang.
BK menjawab, kalau MNC, ia akan jual konsesi
ke Jepang. Maret 1963, BK menegaskan, ”Saya
berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya akan batalkan seluruh
kontrak lama jika tuan-tuan tak mau terima tuntutan saya.”
BK menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari
kebutuhan domestik yang harus disuling Permina. Surplus produksi Tiga Besar
harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan kepada kita.
Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi
dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex
menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi
modal yang dibutuhkan Permina.
BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak
tanah dan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Formula pembagian laba 60
persen untuk kita dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dalam rupiah.
Caltex panik dan minta bantuan Presiden John
F Kennedy. Mereka menilai, tuntutan BK tidak masuk akal dan bisa membuat Caltex
bangkrut.
Washington DC sempat anggap BK gertak sambal.
Namun, waktu Presiden China Liu Shaoqi dan menteri Uni Soviet ke Jakarta
membahas penjualan konsesi, mereka sadar BK tidak main-main.
Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing.
”Jika Tiga Besar keluar, AS tidak punya
pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam BK,” lapor
Jones ke Kennedy.
Saat itu RI ingin ikut program paket
stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy. Sehari setelah penandatanganan paket
itu, BK menerbitkan ”Regulasi 18”
yang isinya tuntutan dia.
BK tidak mau paket stabilisasi dikaitkan
dengan Regulasi 18. Kennedy ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus,
Wilson Wyatt, ke Tokyo, mencegat BK di Jepang.
Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt
menyepakati sistem ”kontrak karya”
yang disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas
kekayaan minyak dan gas sampai point of sales.
MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina,
Caltex untuk Pertamin, dan Shell untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi
dibatasi dibandingkan dengan kontrak-kontrak lama.
MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi
setelah lima tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap
60:40, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap
dan menjual aset distribusi/pemasaran setelah jangka waktu tertentu.
MNC menerima karena yang penting batal
kehilangan konsesi. Kennedy dan Kongres menyetujui paket stabilisasi IMF, yang
oleh BK diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional Ketiga yang berlaku
delapan tahun sejak 1961.
Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde
Baru yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan kita sebagai
pemilik, MNC hanya kontraktor.
Namun, pada praktiknya, MNC yang mengontrol
ladang yang mendatangkan laba berlipat ganda yang mirip kolonialisme. PSA ”pernikahan ideal” antara kontrak bagi
hasil yang seolah menempatkan negara menjadi majikan dan sistem kontrak
berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented.
Kita seakan pegang kendali, padahal MNC-lah
yang punya kedaulatan. ”Klausul stabilisasi”
PSA mengatakan, UU kita tidak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dan tidak bisa
menjadi rujukan jika terjadi sengketa—yang berlaku hukum internasional yang
tidak kenal kepentingan nasional.
Ironisnya, ”cerita sukses” PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak Irak.
Lebih ironis lagi, sikap BK ditiru Presiden Bolivia Evo Morales.
Namun, dulu ekonomi bangsa ini kuat karena
lebih dari 50 persen GNP berasal dari pertanian dan dari industri 15 persen.
Utang luar negeri cuma 2,5 miliar dollar AS dan TNI kita disegani.
Kini, ekonomi kita morat-marit—walau bangga
menjadi anggota G20—karena setiap sebentar dikait-kaitkan dengan proyeksi Bank
Dunia, IMF, atau harga BBM di Nymex. Utang luar negeri sudah mencapai Rp 1.800
triliun, TNI-nya low battery.
Tak salah belajar dari sejarah: negosiasi
ulang tidak mustahil, perubahan UU bukan barang haram. Jika kepemimpinan
nasional seperti Morales, kemelut anggaran/kenaikan harga BBM selesai.
Keputusan mengambangkan kenaikan harga BBM
membuat ketidakpastian yang menimbulkan kerugian sosial, politik, dan ekonomi
yang semakin besar. Tugas kepemimpinan nasional ialah melindungi rakyat dari
situasi serba tidak pasti itu.
Jika pemimpin nasional memperlihatkan sikap
tidak pasti, kita akan mengalami tragedi. Setiap pemimpin selayaknya berani
bilang, ”Saya tak akan biarkan bangsa
kita tenggelam ke jurang tragedi.” ●
apa ini gann??
BalasHapusBeginilah nasib pemimpin.
BalasHapusnaikin,,, salah,,
ga naikin bikin bingung...
sebenarnya siapa sih yang nyebabin ketidak pastian BBM?
DPR?
lalu darimana suara2 DPR? dari partai?
lalu darimana suara partai? dari rakyat?
Jika demikian, yang patut disalahkan sebenarnya RAKYAT