Pejabat “Cengkiling”
Adi Andojo Soetjipto, Mantan Hakim Agung
SUMBER : KOMPAS, 10 April 2012
Dalam bahasa Jawa, cengkiling berarti ’ringan
tangan’. Hanya karena hal yang sepele, tangan si pelaku sudah melayang ke arah
tubuh korbannya: baik untuk menyakiti maupun dengan maksud lain, misalnya
sekadar ingin menunjukkan kewibawaan.
Biasanya sifat ringan tangan yang dimiliki
seseorang itu tebang pilih. Artinya, tidak pada semua korban sifat itu
diterapkan. Kebanyakan korbannya adalah orang yang lebih lemah, dalam arti
lemah fisik atau lemah kedudukan. Misalnya: suami terhadap istri; majikan
terhadap pembantunya; atasan terhadap bawahan.
Hal ini dapat dimengerti karena kalau
korbannya sama-sama kuat, atau bahkan lebih kuat, si korban pasti akan membalas
atau melawan. Si pelaku pasti memperhitungkan itu sehingga dalam tindakan
ringan tangan itu dalam lubuk hatinya tersembunyi sifat pengecut dan tidak
jantan.
Di samping perhitungan di atas, ada faktor
lain yang menyebabkan dia berani melakukan tindakan itu, yaitu si pelaku yakin
bahwa dia akan mendapat pembenaran oleh orang lain, oleh orang yang lebih
berkuasa atau golongannya. Ini menambah sifat kepengecutannya dan kebanciannya.
Ditambah lagi dia punya akal pelariannya, yakni mangkir atau tidak mau mengakui
perbuatannya meski sudah jelas-jelas dia lakukan dan banyak orang yang
menyaksikan.
Bukan Delik Aduan
Bagaimana kalau sifat cengkelingan menyangkut
pejabat kita? Tentu sangat memalukan. Ini menunjukkan bahwa pejabat itu belum
matang untuk menjadi pejabat. Pasti negara ini akan hancur kalau punya pejabat
yang bermental atau bertemperamen demikian.
Seorang pejabat pemerintah dari satu negara
seharusnya yang bertanggung jawab seperti seorang kesatria yang berkata: ini
dadaku, mana dadamu! Juga berani bertanggung jawab atas segala yang ia perbuat.
Tidak mangkir seperti maling yang konangan alias ketahuan! Inilah jadinya
mengapa negara kita rusak seperti sekarang: korupsi di mana-mana karena pejabatnya
banyak yang bermental pembohong walau jelas-jelas ketahuan seperti ”pejabat
cengkiling” tadi.
Sebetulnya penamparan pipi atau penendangan,
biarpun tidak mengakibatkan luka, tetapi menyebabkan rasa sakit, sudah dapat
dituntut telah melakukan perbuatan tindak pidana ringan. Menimbulkan rasa sakit
ini dapat diartikan rasa sakit hati, rasa sakit tersinggung kehormatan, dan
sebagainya.
Perbuatan pidana ini bukan delik aduan
sehingga meski korbannya sudah memaafkan tindak pidana itu, ia tetap dapat dituntut
di muka pengadilan. Artinya, polisi dapat bertindak proaktif untuk
memprosesnya.
Apalagi karena rakyat sudah merasa
tersinggung berat atas peristiwa ini. Rakyat yang merasa disepelekan oleh
pemerintah akan merasa lebih disepelekan lagi kalau peristiwa ini tidak
diselesaikan sebagaimana mestinya melalui jalur hukum.
Bukankah kita selalu berkata bahwa negara
kita adalah negara hukum? Artinya, kita harus selalu menaati dan menghormati
hukum karena hukum berlaku sama bagi setiap orang. Ini adalah suatu pelajaran
agar peristiwa serupa tidak sampai terjadi lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar