Paskah,
Korupsi, dan Gerakan Menduduki
Martin Lukito Sinaga, Pendeta
Gereja Kristen Protestan Simalungun dan Kini Bekerja pada Lembaga Oikoumene di
Geneva, Swiss
SUMBER : KOMPAS, 07 April 2012
Peristiwa Paskah ternyata terkait erat dengan
korupsi. Murid Yesus, Judas Iskariot, menerima suap dari imam-imam kepala agar
menyerahkan Yesus untuk didakwa bersalah menghujat Allah.
Selanjutnya, Pontius Pilatus, penguasa Romawi
untuk daerah jajahan Palestina, bersama pemegang otoritas Yahudi bersekongkol
menjatuhkan hukuman untuk dakwaan tadi. Yesus pun dihukum mati dengan
disalibkan seperti umumnya penjahat.
Namun, peristiwa Paskah adalah juga ikhtiar
mengatasi korupsi. Apa yang terjadi pada Yesus setelah penyalibannya mirip
dengan peristiwa ketika orang ramai, crowded multitude, dari berbagai bangsa
(demikian catatan Kitab Keluaran 12: 38) bebas dan menempuh eksodus keluar dari
perbudakan di Mesir.
Peristiwa eksodus tadi dinamai pesakh,
artinya Allah melewati rumah umat-Nya dan membebaskan mereka. Paskah berutang
pada peristiwa dan makna pesakh ini. Kini, kematian Yesus akibat korupsi itu
diatasi dengan kebangkitannya dan pesannya ialah bahwa kehidupan baru kini
melewati rumah-rumah kita agar semua manusia bisa mengalami kebebasan.
Maka, ada yang ajek dalam pesan Paskah:
kehidupan yang baru dan bebas itu selalu sebagai kehidupan yang mengutamakan
orang ramai, di mana kepentingan pribadi ataupun kelompok tak boleh seenaknya
dimenangkan. Dengan demikian, dalih yang dipakai membenarkan korupsi turut di
gangsir: pemanfaatan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok adalah
jalan kematian itu sendiri.
Korupsi dan Agama
PGI menetapkan Paskah 2012 sebagai waktu
melawan korupsi. Paskah adalah momen keluar dari kejahatan luar biasa, yang
kini di Indonesia mengambil bentuk sebagai tindak korupsi. Ada mamon atau
berhala yang sesungguhnya sedang dipuja para koruptor dan itu adalah uang dan
kekuasaan yang didatangkannya. Pemujaan atas mamon itu sekaligus menunjukkan
dimensi rohani dari korupsi.
Dan, agama bisa diam-diam mendukung korupsi
jika ia mendedahkan percakapan rohani atau teologi yang mengagungkan uang atau
sukses material. Dalam kisah Alkitab, teologi ini tampak dari niat seorang bernama
Simon, mantan penyihir yang dibaptis menjadi Kristen (Kisah Para Rasul 8:
9-24). Simon memperhatikan suasana rohani yang bergairah dalam komunitas
Kristiani di Samaria, khususnya karena Petrus dan Yohanes dianugerahi kemampuan
membuat mukjizat. Simon berniat membeli anugerah atau kemampuan rohani itu,
melengkapi kekayaannya, tetapi segera ia ditegur karena niat tadi adalah
sebentuk kejahatan.
Agama-agama bisa terjebak menjajakan teologi
sukses tadi dengan mengkhotbahkan bahwa anugerah Allah akan melimpah secara
material bagi orang yang memberi persembahan melimpah kepada-Nya. Ini seperti
niat Simon: membeli anugerah Allah dan melakukan suap rohani.
Pada ujungnya, hidup beragama seperti ini
akan mendukung keyakinan bahwa sukses material dan kelimpahan uang adalah bukti
utama hidup rohani atau ketaatan beragama. Secara perlahan teologi ini akan
juga menyelubungi dan membiarkan korupsi terjadi selama kekayaan material dan
uang bisa ditampakkan oleh umat beragama itu.
Semangat Paskah menunjuk teologi yang lain:
teologi orang ramai, di mana penatalayanan anugerah memunculkan kehadiran
struktur baru mendukung kemaslahatan hidup bersama. Dalam Ajaran Sosial Gereja
Katolik ditengarai bahwa ”struktur dosa”
bekerja di tengah keadaan hidup yang serba korup itu. Untuk itu diperlukan ”struktur rahmat” untuk mengatasinya.
Dengan demikian, diperlukan mekanisme berkesinambungan menata hidup bersama
agar rahmat sungguh berdampak nyata. Maka, hidup beragama kini perlu
bersendikan solidaritas ekonomi, partisipasi akar rumput, dan akuntabilitas
kepemimpinannya.
Gerakan Menduduki
Occupy Movement
atau Gerakan Menduduki yang menyebar akhir-akhir ini adalah globalisasi dari
antikorupsi tadi, yang hendak membalik sejarah kematian menjadi kebangkitan
orang ramai. Kematian Mohamad Bouazizi, seorang pedagang sayur keliling di kota
Sidi Bouzid, Tunisia, adalah kematian akibat korupsi. Namun, kebebasan justru
terjadi melalui dirinya, lalu itu membangkitkan martabat orang ramai dalam
seruan di Mesir: Roti, Keadilan, dan Kebebasan. Musim Semi Arab adalah saksi
bahwa kebangkitan bisa terjadi di atas riwayat kematian yang ditulis para
diktator korup itu.
Maka, memang segera terkuak bahwa
struktur-struktur dunia telah pula sedemikian korupnya, bekerja demi uang dan
kekuasaan tak terbatas. Pasar uang, semisal yang ada di Wall Street, Amerika,
segera dilihat sebagai mezbah tempat
korupsi dan spekulasi dimainkan seenaknya, yang antara lain berakibat pada
harga-harga pangan yang tak terjangkau. Ada korupsi dan pemujaan pada uang yang
dilakukan oleh 1 persen orang yang mencelakakan 99 persen warga dunia.
Dengan itu semua secara global telah terpatri
ke mana arah kebangkitan orang ramai hendak diusung. Kita kini sepakat bahwa
pesan lintas-iman ataupun pemikiran sosialnya tak akan menurut pada teologi
sukses itu. Namun, pada penetapan etik antaragama yang mengupayakan
kemaslahatan bersama. Etik antaragama ini bertolak dari prinsip ”lakukanlah pada sesamamu apa yang kau
kehendaki ia akan perbuat padamu” (UNESCO,
Our Creative Diversity, 1995). Dan, pertukaran karya yang mengupayakan
kemaslahatan sesama ini akan menunjukkan bahwa kita, orang ramai, sungguh
bangkit dari kematian akibat korupsi itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar