Pahlawan dan
Pecundang
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 11 April 2012
DALAM
pemahaman awam, pahlawan lazimnya sosok yang berani mengorbankan apa saja yang
dimiliki demi membela kebenaran dan kepentingan kaum tertindas. Sikap dan
perbuatan para patriot atau kesatria sering memicu kebencian dan kerugian bagi
pihak yang menjadi rival mereka, tetapi bertabur sanjung, kagum, dan
penghormatan dari kelompok lainnya.
Namun,
dalam lintasan dinamika hukum dan politik kita dewasa ini, konsep tersebut
sering mengalami paradoks kalau bukan pembiasan makna. Sosok yang dilekati
ornamen tentang kepahlawanan, karena berani menegakkan kebenaran dan keadilan,
justru dicap dengan label pecundang atau pengkhianat. Penyingkiran, pemecatan,
pendepakan, isolasi, hingga pemenjaraan adalah kondisi yang lazim menghiasi
panggung risiko dari atraksi perjuangan para pahlawan.
Fenomena
itu, misalnya, tercatat dalam lembaran hitam sejarah Indonesia, terutama di era
Soekarno dan Soeharto. Sejumlah partai dan organisasi, yang berkedudukan
sebagai pahlawan di mata para konstituennya, harus menerima penyingkiran dan
pembubaran dari penguasa hanya karena mereka dianggap sebagai pecundang
lantaran berani mengambil jalan berbeda dengan garis kepentingan politik rezim
penguasa. Para pemimpin, aktivis, dan simpatisannya diintimidasi, ditangkap,
dan meringkuk dalam sel tahanan. Bahkan tidak sedikit yang menemui ajal melalui
eksekusi tanpa putusan pengadilan yang fair, independen, dan objektif.
Era
reformasi pun, yang semula terdesain sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi berdasarkan hukum, rupanya
tak mau kalah dengan rezim sebelumnya. Bahkan dalam rezim yang berkuasa saat
ini, muncul tokoh seperti Agus Chondro, Susno Duadji, dan Waode Nurhayati, yang
pernah dinobatkan sebagai pahlawan keadilan, terpaksa harus mengalami
antiklimaks dari kecemerlangan prestasi karier mereka karena meringkuk dalam
penjara, lagi-lagi karena berani menjadi whistle blower dalam mengungkap
sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan elite kekuasaan.
Lily Wahid dan Effendy Choirie dapat juga disejajar kan sebagai pahlawan yang
bernasib menjadi pecundang sehingga terancam recalling karena membangkang ter
hadap kebijakan fraksi demi membela aspirasi mayoritas konstituen.
Dalam
pemberitaan teranyar saat ini, terkuak misi pembongkaran jaringan pengedar
narkoba yang dilakukan Denny Indrayana (Wamenkum dan HAM) dan sejumlah pejabat
Badan Narkotika Nasional melalui inspeksi mendadak pada sebuah LP di Pekanbaru,
Riau. Namun apes, misi kepahlawanan Wamen tersebut justru berubah sebagai
pecundang karena lebih terdistorsi isu penganiayaan dan arogansi kekuasaan
daripada pengungkapan kasus kejahatan. Sampai di sini, terlihat bahwa makna
pahlawan dan pecundang sulit sekali dibeda kan. Pada hal mak na kedua kosakata
tersebut justru saling berlawanan (antonim). Status pahlawan menurut kelompok,
ruang, dan waktu tertentu bisa menjadi pecundang menurut penilaian kelompok
lain. Singkatnya, label pahlawan atau pecundang sangat bergantung pada aspek
kepentingan sebagaimana yang menjadi dogma suci politik: `Tidak ada kawan abadi dan tak pula ada musuh abadi, karena yang abadi
hanyalah kepentingan'.
Kisah
panjang tentang pembiasan makna pahlawan dan pecundang, sebagaimana telah
dikemukakan, terpotret secara sempurna dalam drama pengambilan keputusan
politik di DPR mengenai BBM tanggal 30-31 Maret lalu. Ketika parlemen jalanan
mengekspresikan secara masif suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentang
rencana penaikan harga BBM oleh penguasa, PKS satusatunya ang gota koalisi yang
dengan mantap menyalurkan aspirasi rakyat meno lak rancangan Pasal 7 ayat (6)
huruf a perubahan UU No 22/2011. Tak ayal, PKS langsung mendapat sanjung an
bertu bi-tubi dari kaum proletar sebagai pahlawan. Akan tetapi, pada saat yang
sama, PKS justru dihujat bahkan terancam didepak dari kabinet karena sikap
politik yang bernada populis tersebut justru dinilai sebagai pecundang oleh
penguasa dan mitra koalisinya.
Begitulah
karakter dan kualitas DPR kita yang penuh intrik antagonis. Betapa tidak?
Sebab, partai politik yang secara konsepsional seharusnya mengemban fungsi
untuk menjaring dan menyalurkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan,
justru bermetamorfosis menjadi komparador penguasa. DPR, yang harusnya membela
kepedihan rakyat oleh ancaman kesulitan hidup akibat penaikan harga BBM,
ternyata sebagian besar fraksinya lebih memilih menjadi pecundang daripada
menjadi pahlawan kaum proletar. Subsidi pun terdistorsi bahasa politik sebagai
ajang konfrontasi elite yang memperjualbelikan populisme.
Pragmatisme
politik seperti itu melahirkan petualang politik yang tega melacurkan
kehormatan dan idealisme dengan memihak kalkulasi kepentingan penguasa berbalut
argumen yang memutarbalikkan kebenaran intrinsik daripada menjadi pahlawan
rakyat. Mereka lupa bahwa strategi penguasa saat ini, dalam meraih dominasi di
balik posisi minoritas, kental sekali dengan polesan kesantunan sebagai
kosmetik politik pencitraan dalam mengemas kepentingan politik mereka. Meski,
itu harus mengorbankan kepentingan pemegang kedaulatan dengan setumpuk
kebohongan.
Manuver
koalisi partai yang dibentuk demi memenuhi hasrat kepentingan politik jangka
pendek merupakan tabiat politik praktis kita yang kian melembaga dengan budaya
oportunisme. Penguasa semakin termiskinkan dari nilai sensitivitas publik
karena terobsesi kedigdayaan dalam perhelatan politik 2014. Tragisnya, jasa PKS
yang dulu ikut berdarah-darah mendukung calon pasangan SBY-Boediono dalam
Pilpres 2009 semuanya musnah ditelan pragmatisme politik penguasa.
Koalisi
partai yang mendaulat PKS dan lima partai yang lain sebagai anggotanya diikat
dengan kontrak politik, yang menempatkan kekuatan penyambung aspirasi rakyat
tersebut harus menghamba kepada penguasa. Alhasil pemilu yang mengejawantahkan
kedaulatan rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen ternyata hanya melahirkan
kumpulan badut yang tak memiliki independensi dan otoritas untuk menyuarakan
kepentingan rakyat.
Politik
praktis dengan koalisi partai seperti ini, selain makin melembagakan pengaburan
makna pahlawan dan pecundang dengan pertanyaan kunci siap untung-siapa buntung,
juga berbanding nonsimetris dengan jiwa dan semangat konstitusi kita. Sebab,
bagaimanapun parlemen dalam triaspolitika Montesque, sejak lahir memang
mengambil posisi sebagai instrumen kontrol terhadap penguasa. Jika parlemen
dikooptasi dengan koalisi partai agar mendukung secara total kebijakan
penguasa, checks and balances yang
diemban parlemen menjadi rancu. Mekanisme voting
dan lembaga musyawarah dalam pengambilan keputusan semakin bias dan penuh
sandiwara, karena para aktor parlemen yang didominasi koalisi partai akan
cenderung mengikuti skenario penguasa daripada jeritan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar