Rabu, 11 April 2012

Pahlawan dan Pecundang


Pahlawan dan Pecundang
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 11 April 2012


DALAM pemahaman awam, pahlawan lazimnya sosok yang berani mengorbankan apa saja yang dimiliki demi membela kebenaran dan kepentingan kaum tertindas. Sikap dan perbuatan para patriot atau kesatria sering memicu kebencian dan kerugian bagi pihak yang menjadi rival mereka, tetapi bertabur sanjung, kagum, dan penghormatan dari kelompok lainnya.

Namun, dalam lintasan dinamika hukum dan politik kita dewasa ini, konsep tersebut sering mengalami paradoks kalau bukan pembiasan makna. Sosok yang dilekati ornamen tentang kepahlawanan, karena berani menegakkan kebenaran dan keadilan, justru dicap dengan label pecundang atau pengkhianat. Penyingkiran, pemecatan, pendepakan, isolasi, hingga pemenjaraan adalah kondisi yang lazim menghiasi panggung risiko dari atraksi perjuangan para pahlawan.

Fenomena itu, misalnya, tercatat dalam lembaran hitam sejarah Indonesia, terutama di era Soekarno dan Soeharto. Sejumlah partai dan organisasi, yang berkedudukan sebagai pahlawan di mata para konstituennya, harus menerima penyingkiran dan pembubaran dari penguasa hanya karena mereka dianggap sebagai pecundang lantaran berani mengambil jalan berbeda dengan garis kepentingan politik rezim penguasa. Para pemimpin, aktivis, dan simpatisannya diintimidasi, ditangkap, dan meringkuk dalam sel tahanan. Bahkan tidak sedikit yang menemui ajal melalui eksekusi tanpa putusan pengadilan yang fair, independen, dan objektif.

Era reformasi pun, yang semula terdesain sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi berdasarkan hukum, rupanya tak mau kalah dengan rezim sebelumnya. Bahkan dalam rezim yang berkuasa saat ini, muncul tokoh seperti Agus Chondro, Susno Duadji, dan Waode Nurhayati, yang pernah dinobatkan sebagai pahlawan keadilan, terpaksa harus mengalami antiklimaks dari kecemerlangan prestasi karier mereka karena meringkuk dalam penjara, lagi-lagi karena berani menjadi whistle blower dalam mengungkap sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan elite kekuasaan.
 
Lily Wahid dan Effendy Choirie dapat juga disejajar kan sebagai pahlawan yang bernasib menjadi pecundang sehingga terancam recalling karena membangkang ter hadap kebijakan fraksi demi membela aspirasi mayoritas konstituen.

Dalam pemberitaan teranyar saat ini, terkuak misi pembongkaran jaringan pengedar narkoba yang dilakukan Denny Indrayana (Wamenkum dan HAM) dan sejumlah pejabat Badan Narkotika Nasional melalui inspeksi mendadak pada sebuah LP di Pekanbaru, Riau. Namun apes, misi kepahlawanan Wamen tersebut justru berubah sebagai pecundang karena lebih terdistorsi isu penganiayaan dan arogansi kekuasaan daripada pengungkapan kasus kejahatan. Sampai di sini, terlihat bahwa makna pahlawan dan pecundang sulit sekali dibeda kan. Pada hal mak na kedua kosakata tersebut justru saling berlawanan (antonim). Status pahlawan menurut kelompok, ruang, dan waktu tertentu bisa menjadi pecundang menurut penilaian kelompok lain. Singkatnya, label pahlawan atau pecundang sangat bergantung pada aspek kepentingan sebagaimana yang menjadi dogma suci politik: `Tidak ada kawan abadi dan tak pula ada musuh abadi, karena yang abadi hanyalah kepentingan'.

Kisah panjang tentang pembiasan makna pahlawan dan pecundang, sebagaimana telah dikemukakan, terpotret secara sempurna dalam drama pengambilan keputusan politik di DPR mengenai BBM tanggal 30-31 Maret lalu. Ketika parlemen jalanan mengekspresikan secara masif suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentang rencana penaikan harga BBM oleh penguasa, PKS satusatunya ang gota koalisi yang dengan mantap menyalurkan aspirasi rakyat meno lak rancangan Pasal 7 ayat (6) huruf a perubahan UU No 22/2011. Tak ayal, PKS langsung mendapat sanjung an bertu bi-tubi dari kaum proletar sebagai pahlawan. Akan tetapi, pada saat yang sama, PKS justru dihujat bahkan terancam didepak dari kabinet karena sikap politik yang bernada populis tersebut justru dinilai sebagai pecundang oleh penguasa dan mitra koalisinya.

Begitulah karakter dan kualitas DPR kita yang penuh intrik antagonis. Betapa tidak? Sebab, partai politik yang secara konsepsional seharusnya mengemban fungsi untuk menjaring dan menyalurkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, justru bermetamorfosis menjadi komparador penguasa. DPR, yang harusnya membela kepedihan rakyat oleh ancaman kesulitan hidup akibat penaikan harga BBM, ternyata sebagian besar fraksinya lebih memilih menjadi pecundang daripada menjadi pahlawan kaum proletar. Subsidi pun terdistorsi bahasa politik sebagai ajang konfrontasi elite yang memperjualbelikan populisme.

Pragmatisme politik seperti itu melahirkan petualang politik yang tega melacurkan kehormatan dan idealisme dengan memihak kalkulasi kepentingan penguasa berbalut argumen yang memutarbalikkan kebenaran intrinsik daripada menjadi pahlawan rakyat. Mereka lupa bahwa strategi penguasa saat ini, dalam meraih dominasi di balik posisi minoritas, kental sekali dengan polesan kesantunan sebagai kosmetik politik pencitraan dalam mengemas kepentingan politik mereka. Meski, itu harus mengorbankan kepentingan pemegang kedaulatan dengan setumpuk kebohongan.

Manuver koalisi partai yang dibentuk demi memenuhi hasrat kepentingan politik jangka pendek merupakan tabiat politik praktis kita yang kian melembaga dengan budaya oportunisme. Penguasa semakin termiskinkan dari nilai sensitivitas publik karena terobsesi kedigdayaan dalam perhelatan politik 2014. Tragisnya, jasa PKS yang dulu ikut berdarah-darah mendukung calon pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 semuanya musnah ditelan pragmatisme politik penguasa.

Koalisi partai yang mendaulat PKS dan lima partai yang lain sebagai anggotanya diikat dengan kontrak politik, yang menempatkan kekuatan penyambung aspirasi rakyat tersebut harus menghamba kepada penguasa. Alhasil pemilu yang mengejawantahkan kedaulatan rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen ternyata hanya melahirkan kumpulan badut yang tak memiliki independensi dan otoritas untuk menyuarakan kepentingan rakyat.

Politik praktis dengan koalisi partai seperti ini, selain makin melembagakan pengaburan makna pahlawan dan pecundang dengan pertanyaan kunci siap untung-siapa buntung, juga berbanding nonsimetris dengan jiwa dan semangat konstitusi kita. Sebab, bagaimanapun parlemen dalam triaspolitika Montesque, sejak lahir memang mengambil posisi sebagai instrumen kontrol terhadap penguasa. Jika parlemen dikooptasi dengan koalisi partai agar mendukung secara total kebijakan penguasa, checks and balances yang diemban parlemen menjadi rancu. Mekanisme voting dan lembaga musyawarah dalam pengambilan keputusan semakin bias dan penuh sandiwara, karena para aktor parlemen yang didominasi koalisi partai akan cenderung mengikuti skenario penguasa daripada jeritan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar