Rabu, 11 April 2012

Suu Kyi dan Politik Bunglon


Suu Kyi dan Politik Bunglon
Harmada Sibuea, Mahasiswa Magister Studi Kebijakan UGM, tinggal di Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 11 April 2012


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) boleh jadi disebut telah “berjasa“ menunda rencana pe merintah menaikkan bahan bakar minyak (BBM) per 1 April kemarin. Dengan keputusan menambahkan Pasal 7 Ayat 6a, DPR hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM jika ICP naik/turun sebesar 15 persen dalam kurun enam bulan.

Keputusan ini tak bisa dimungkiri telah “meredakan“ situasi Tanah Air yang tengah memanas akibat rencana kenaikan harga BBM tersebut. Meski cuma sesaat, pilihan mayoritas anggota DPR itu tak bisa dinafikan telah memulihkan situasi dalam negeri sehingga relatif aman dan terhindar dari aksiaksi protes yang menjurus anarkis.

Tetapi, bukan berarti kemudian masyarakat memberikan respek dan penghargaan yang luar biasa kepada DPR. Sebaliknya, mayoritas masyarakat malah mengecam tindakan DPR yang dinilai telah mempermainkan perasaan publik. DPR yang memutuskan opsi dua tersebut dengan lobi-lobi panjang nan melelahkan dinilai telah mengedepankan politik palsu alias politik tipu-tipu.

Kendati mengatasnamakan kepentingan rakyat, publik sadar benar bahwa DPR lebih mengedepankan kepentingan sempit ketimbang kepentingan masyarakat. Aksi massa besar-besaran yang turun ke jalan dan tidak sedikit yang harus bentrok dengan aparat keamanan, ternyata tak juga membuat DPR berpihak kepada masyarakat.

Politik Bunglon

DPR dituding telah memainkan politik bunglon atau politik ular berkepala dua. Di satu sisi, tak ingin berpisah dengan koalisi bersama pemerintah, tapi disi lain tak ingin disebut sebagai partai yang tak prorakyat.

Akibatnya, DPR lebih memilih “jalan tengah“ yang walaupun orang awam sekalipun pasti tahu bahwa DPR sebenarnya lebih pro (setuju untuk) menaikkan harga BBM ketimbang membela kepentingan rakyat. Tetapi, biar dianggap prorakyat, DPR membungkus ke ingin an tersebut dengan peraturan fleksibel sehingga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM.

Mendominasinya kepentingan sesaat membuat para elite politik di DPR tak punya pendirian yang jelas dan teguh. Publik tidak melihat kejelasan sikap DPR—apakah propenaikan harga BBM atau prorakyat. Politik yang diperankan adalah politik dua kaki. DPR tidak berani dengan tegas memosisikan diri berada di pihak mana karena tak ingin mendapat sanksi dari salah satu pihak.

Selain maniak citra, sikap bunglon DPR ini menunjukkan bahwa para politisi DPR kehilangan karakter yang sejatinya merupakan pilar utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin/wakil rakyat.

Belajar dari Suu Kyi

Dalam hal inilah, kita--terutama para elite--sejenak perlu berguru kepada pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Akhir-akhir ini, mata dunia kembali tertuju kepada tokoh oposisi Myanmar itu. Keteguhannya, baik dalam sikap maupun pendirian, mendapat pengakuan warga dunia.

Kendati tak lagi muda, Suu Kyi masih teguh di garis perjuangan. Suu Kyi tak pernah mundur apalagi bersikap prag matis. Misalnya, dengan “berdamai” dengan pemerintah berkuasa meskipun dia dan pendukung fanatiknya selalu menjadi sasaran kekejaman pemerintah berkuasa. Bagi Suu Kyi, kepentingan rakyat di atas segala-galanya.

Lebih dari separuh hidup Suu Kyi— setelah kembali ke Myanmar—diha biskan dengan status sebagai tahanan meskipun di rumahnya sendiri. Sikap represif dan otoritarian junta militer membuat Suu Kyi tak pernah lama meng hirup udara bebas dan berbaur dengan masyarakat yang dibelanya. Suu Kyi pun diisolasi dari dunia luar, termasuk dari keluarganya sendiri.

Tapi, hal itu tak lantas membuat Suu Kyi menyerah apalagi menjadi pragmatis. Bukan sekali dua kali pemerintah menawarkan “klausul perdamaian” kepada Suu Kyi asal perempuan peraih nobel perdamaian itu mau berkompromi dan bekerja sama dengan pe merintah, tetapi Suu Kyi tetap menolaknya.

Bagi Suu Kyi, jabatan bukanlah tujuan utamanya. Karena itu, dia selalu mengelak meski peluang sebenarnya cukup terbuka. Suu Kyi tak mau ber kompromi, apalagi menggadaikan kepercayaan rakyatnya demi kepentingan di rinya. Baginya, perjuangan rakyat ada lah segala-galanya. Memilih di parlemen dalam pemilu sela kali ini pun bukan karena Suu Kyi haus jabatan, melainkan demi semata-mata untuk membela rak yat yang selama ini terkooptasi otoritarianisme junta militer.

Di tengah situasi minus keteladanan saat ini, ada baiknya para politisi Tanah Air berkaca kepada perempuan yang se ring dijadikan sebagai ikon demokrasi itu. Keteguhan bersikap dan berpendirian meskipun risiko tidak kecil, membuat Suu Kyi selalu dipuja rakyat Myanmar.

Politik pragmatis, oportunis, dan berdiri di dua kaki, amatlah jauh dari sikap politik Suu Kyi. Publik dalam negeri amat merindukan keteladanan seperti ini. Publik sudah bosan dan je nuh dengan politik pragmatis dan politik bunglon DPR yang cuma menjadikan kepentingan publik sebagai bargaining politics semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar