Suu Kyi dan
Politik Bunglon
Harmada Sibuea, Mahasiswa Magister Studi Kebijakan
UGM, tinggal di Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 11 April 2012
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) boleh jadi disebut telah “berjasa“ menunda rencana pe
merintah menaikkan bahan bakar minyak (BBM) per 1 April kemarin. Dengan
keputusan menambahkan Pasal 7 Ayat 6a, DPR hanya memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM jika ICP naik/turun sebesar 15 persen
dalam kurun enam bulan.
Keputusan
ini tak bisa dimungkiri telah “meredakan“ situasi Tanah Air yang tengah memanas
akibat rencana kenaikan harga BBM tersebut. Meski cuma sesaat, pilihan
mayoritas anggota DPR itu tak bisa dinafikan telah memulihkan situasi dalam
negeri sehingga relatif aman dan terhindar dari aksiaksi protes yang menjurus
anarkis.
Tetapi,
bukan berarti kemudian masyarakat memberikan respek dan penghargaan yang luar
biasa kepada DPR. Sebaliknya, mayoritas masyarakat malah mengecam tindakan DPR
yang dinilai telah mempermainkan perasaan publik. DPR yang memutuskan opsi dua
tersebut dengan lobi-lobi panjang nan melelahkan dinilai telah mengedepankan
politik palsu alias politik tipu-tipu.
Kendati
mengatasnamakan kepentingan rakyat, publik sadar benar bahwa DPR lebih
mengedepankan kepentingan sempit ketimbang kepentingan masyarakat. Aksi massa
besar-besaran yang turun ke jalan dan tidak sedikit yang harus bentrok dengan
aparat keamanan, ternyata tak juga membuat DPR berpihak kepada masyarakat.
Politik Bunglon
DPR
dituding telah memainkan politik bunglon atau politik ular berkepala dua. Di
satu sisi, tak ingin berpisah dengan koalisi bersama pemerintah, tapi disi lain
tak ingin disebut sebagai partai yang tak prorakyat.
Akibatnya,
DPR lebih memilih “jalan tengah“ yang walaupun orang awam sekalipun pasti tahu
bahwa DPR sebenarnya lebih pro (setuju untuk) menaikkan harga BBM ketimbang
membela kepentingan rakyat. Tetapi, biar dianggap prorakyat, DPR membungkus ke
ingin an tersebut dengan peraturan fleksibel sehingga memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Mendominasinya
kepentingan sesaat membuat para elite politik di DPR tak punya pendirian yang
jelas dan teguh. Publik tidak melihat kejelasan sikap DPR—apakah propenaikan
harga BBM atau prorakyat. Politik yang diperankan adalah politik dua kaki. DPR
tidak berani dengan tegas memosisikan diri berada di pihak mana karena tak
ingin mendapat sanksi dari salah satu pihak.
Selain
maniak citra, sikap bunglon DPR ini menunjukkan bahwa para politisi DPR
kehilangan karakter yang sejatinya merupakan pilar utama yang seharusnya
dimiliki oleh seorang pemimpin/wakil rakyat.
Belajar dari Suu Kyi
Dalam
hal inilah, kita--terutama para elite--sejenak perlu berguru kepada pejuang
demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Akhir-akhir ini, mata dunia kembali
tertuju kepada tokoh oposisi Myanmar itu. Keteguhannya, baik dalam sikap maupun
pendirian, mendapat pengakuan warga dunia.
Kendati
tak lagi muda, Suu Kyi masih teguh di garis perjuangan. Suu Kyi tak pernah
mundur apalagi bersikap prag matis. Misalnya, dengan “berdamai” dengan
pemerintah berkuasa meskipun dia dan pendukung fanatiknya selalu menjadi
sasaran kekejaman pemerintah berkuasa. Bagi Suu Kyi, kepentingan rakyat di atas
segala-galanya.
Lebih
dari separuh hidup Suu Kyi— setelah kembali ke Myanmar—diha biskan dengan
status sebagai tahanan meskipun di rumahnya sendiri. Sikap represif dan
otoritarian junta militer membuat Suu Kyi tak pernah lama meng hirup udara
bebas dan berbaur dengan masyarakat yang dibelanya. Suu Kyi pun diisolasi dari
dunia luar, termasuk dari keluarganya sendiri.
Tapi,
hal itu tak lantas membuat Suu Kyi menyerah apalagi menjadi pragmatis. Bukan
sekali dua kali pemerintah menawarkan “klausul perdamaian” kepada Suu Kyi asal
perempuan peraih nobel perdamaian itu mau berkompromi dan bekerja sama dengan
pe merintah, tetapi Suu Kyi tetap menolaknya.
Bagi
Suu Kyi, jabatan bukanlah tujuan utamanya. Karena itu, dia selalu mengelak
meski peluang sebenarnya cukup terbuka. Suu Kyi tak mau ber kompromi, apalagi
menggadaikan kepercayaan rakyatnya demi kepentingan di rinya. Baginya,
perjuangan rakyat ada lah segala-galanya. Memilih di parlemen dalam pemilu sela
kali ini pun bukan karena Suu Kyi haus jabatan, melainkan demi semata-mata
untuk membela rak yat yang selama ini terkooptasi otoritarianisme junta
militer.
Di
tengah situasi minus keteladanan saat ini, ada baiknya para politisi Tanah Air
berkaca kepada perempuan yang se ring dijadikan sebagai ikon demokrasi itu.
Keteguhan bersikap dan berpendirian meskipun risiko tidak kecil, membuat Suu
Kyi selalu dipuja rakyat Myanmar.
Politik
pragmatis, oportunis, dan berdiri di dua kaki, amatlah jauh dari sikap politik
Suu Kyi. Publik dalam negeri amat merindukan keteladanan seperti ini. Publik
sudah bosan dan je nuh dengan politik pragmatis dan politik bunglon DPR yang
cuma menjadikan kepentingan publik sebagai bargaining
politics semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar