Jumat, 13 April 2012

Optimalisasi Pembinaan Keluarga


Optimalisasi Pembinaan Keluarga
Ani Soetjipto, Pengajar FISIP UI, Board Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP)
SUMBER : REPUBLIKA, 13 April 2012


Kardinah Soepardjo Rustam atau yang akrab disapa Bu Pardjo wafat pekan lalu, 27 Maret 2012 dalam usia 80 tahun. Namanya lekat dengan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) yang sebelumnya dinamakan pembinaan keluarga sejahtera, pada dekade 1970-an. Lembaga ini menjadi gerakan nasional di Indonesia sejak 1983.

PKK oleh kebanyakan pihak saat ini sering dianggap bukan lagi organisasi perempuan yang strategis dan progresif. PKK dikritik sebagai organisasi yang melanggengkan ideologi ibuisme negara. PKK dianggap tidak memiliki kemandirian karena kepemimpinan yang mengikuti jabatan suami. Sebagai organisasi yang merupakan bentukan negara Orde Baru, PKK dianggap karakternya bersifat a-politis, tidak bisa kritis serta otonom pada politik kekuasaan negara dan sering dijadikan alat bagi politik kekuasaan dari kekuatan politik tertentu (dulu Golkar).

Kini PKK juga masih dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung dalam kampanye pemilu dan pilkada oleh kekuatan politik yang beragam seiring dengan perkembangan demokrasi multipartai di tingkat lokal di Indonesia. Kritik yang lain, PKK juga dianggap kurang mengerti isu perempuan dan kurang mempunyai ideologi gender yang progresif. Program kerja yang dilakukannya masih dianggap tradisional dan melanggengkan peran domestik perempuan di lingkup privat.

Bagaimana seharusnya kita melihat dengan jernih peran strategis yang dimainkan PKK saat ini di tengah perubahan politik nasional berupa demokratisasi dan transformasi politik yang luar biasa di tingkat lokal dengan otonomi daerah/desentralisasi?

Di zaman Orde Baru, PKK dirancang oleh negara untuk pembangunan masyarakat dari bawah sampai tingkat desa, bahkan RT/RW melalui 10 program utama (dasawisma). Program PKK dirancang sangat komprehensif menyasar mulai dari aspek mental, spiritual, fisik, dan material. Dalam konteks itu, di masa lalu kita sudah menyaksikan capaian signifikan dari kerja PKK yang di akui secara luas, baik secara nasional maupun internasional.

Program PKK pada saat ini sebetulnya juga masih sama. Selain bekerja untuk program dasawisma (10 program pokok PKK), kini muncul isu baru seperti trafficking, buruh migran, HIV/ AIDS, narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam isu baru ini, PKK terlihat gagap merespons isu baru yang lebih kompleks dan bersinergi dengan organisasi perempuan lainnya hingga ke tingkat akar rumput. Penanganan masalah itu membutuhkan strategi baru yang komprehensif dengan kecerdasan dan tidak cukup hanya dibunyikan lewat jargon, pidato, atau seminar.

Di tengah otonomi daerah, sebetulnya PKK merupakan ujung tombak yang strategis untuk bekerja mengatasi isu tersebut saat ini. Sebab, PKK ada di seluruh wilayah Indonesia dan berakar sampai tingkat terbawah, yang tidak se mua organisasi perempuan mempu nyai jangkauan yang sama.

Masalah terberat untuk PKK sekarang, mereka bekerja dengan dana terbatas (diambil dari persentase kecil ADD desa) untuk bekerja menjalankan program tanpa batas. Politik anggaran pemerintah belum efektif untuk secara paralel mendukung kerja PKK dalam mengentaskan kemiskinan dengan pola distribusi bagi rata di level desa.

Model bantuan langsung kepada masyarakat dan marjinal di desa yang bersifat populis, sebetulnya bertabrakan dengan karakter kerja Tim Penggerak PKK. Tim ini bekerja untuk menumbuhkan emansipasi lokal dan sifat gotong royong di level mikro pedesaan. Dalam kerangka model pembangunan partisipatoris, PKK seca ra formalitas terlibat dalam irama teknokratis dalam program perencanaan pembangunan, memperjuangkannya lewat forum musrembang, sampai implementasi program/proyek pembangunan.

Kondisi tersebut kini diperburuk dengan fenomena “elite capture budget”, di mana dana untuk kesejahteraan sudah ‘diserobot” dari hulu sampai hilir untuk kepentingan politik populis dengan program yang sering tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat di akar rumput.

Ketika cengkraman negara pada PKK tidak sekuat seperti masa lalu dengan alokasi budget kegiatan yang terbatas, memungkinkan PKK untuk menjadi lebih otonom. Saat ini PKK di mungkinkan punya akses untuk membuka relasi dengan pihak-pihak di luar pemerintah termasuk bekerja sama dengan donor asing.

PKK juga tidak diharamkan mencari sumber pendanaan di luar APBD/ ADD. Namun, kendala terbesar adalah mindset ideologi yang belum berubah. Ideologi gender PKK menyulitkan untuk bekerja lebih progresif dan menangkap ruang otonomi yang hadir bersamaan dengan keterbukaan dan demokratisasi.

PKK hingga hari ini masih memosisikan peran mereka sebagai pelaksana dari kebijakan pemerintah dan kepanjangan/agen negara di lingkup mikro. PKK di dalam dirinya belum melihat dirinya memiliki kemandirian sebagai ujung tombak dari organisasi perempuan yang di dalamnya melekat peran dan fungsi untuk bekerja mengatasi masalah-masalah perempuan, baik yang sifatnya praktis maupun strategis.

Dalam kondisi seperti sekarang, sulit bagi PKK untuk bisa berperan optimal melakukan transformasi untuk mengatasi masalah-masalah riil yang ada di lapangan dan melakukan perubahan strategis untuk mengatasi kemiskinan, keterbelakangan yang masih menjadi wajah di pedesaan Indonesia hingga hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar