Kemitraan
Zakat
Amir Mu’allim, Guru Besar, Direktur Pusat Studi
Hukum Islam (PSHI) Pascasarjana FIAI-UII, Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 13 April 2012
Pro
dan kontra seakan sudah menjadi bumbu setiap lahirnya UU baru di negeri ini.
Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat.
Sebagian
pihak sangat kecewa dan memandang UU ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya.
Pihak lainnya memandang UU ini sebagai jawaban atas evaluasi terhadap sistem
perzakatan di di Indonesia, termasuk kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 38
Tahun 1999.
Apa
pun itu, suka tidak suka, UU ini telah lahir. Perdebatan seharusnya dimulai
sejak UU masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU). Kita berharap, jangan
sampai ada yang ngambek dengan kelahiran UU ini sehingga dakwah yang mulia ini
harus terhenti. Saat ini, yang paling arif menyikapinya adalah selalu berbaik
sangka (husnuzhan) dan terus berkarya untuk umat.
Saya
yakin, kehadiran pemerintah untuk ikut berperan pada wilayah yang selama ini
milik masyarakat, akan disambut gembira bila pemerintah telah sangat meyakinkan
ikut berperan aktif. Tetapi, yang terdengar justru sebaliknya, pemerintah
memiliki track record yang buruk dalam mengelola pundipundi keuangan negara.
Contohnya pengelolaan pajak.
Di
sisi lain, dalam sejarah peradaban Islam, kesuksesan zakat justru dikelola oleh
institusi negara. Karena, negara sangat berperan penting terhadap stabilitas
ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah. Sebagaimana
juga pendapat alFara dalam kitab al-Ahkam
al-Sulthaniyah, menyebutkan, zakat merupakan ibadah yang harus dikelola
negara. Keberadaan UU Zakat ini harus dimaknai sebagai upaya mengembalikan
zakat pada tempatnya, sebagaimana dikehendaki syariat Islam.
Merumuskan Sistem Kemitraan
Mengutip
pendapat Sahri Muhammad (2012), kolaborasi antara masyara kat dan negara
merupakan pandekatan jalan tengah yang menyakini bahwa negara memiliki otoritas
untuk mengop timalkan pengelolaan. Sedangkan, masya rakat dinilai banyak
mengetahui apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat. Model ini disebut
dengan Co-Management. Model ini sangat populer untuk pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan yang menjadi ajang pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat
miskin.
CoManagement
dapat dikelom pokkan secara sederhana menjadi lima ke adaan. Pertama, peran
pemerintah 100 per sen (Co-Management
Instructive). Semua gerak operasional lembaga sepenuhnya atas dasar
instruksi pemerintah. Masyarakat tidak punya peran apa pun.
Kedua,
peran pemerintah 75 persen dan masyarakat 25 persen (Co-Management Consultative). Ketiga, antara pemerintah dan
masyarakat memiliki peran yang sama (Co-Management
Cooperative). Model ini disebut dengan model kemitraan.
Keempat,
peran pemerintah 25 per sen dan masyarakat 75 persen (Co-Management
Advocating). Model ini semakin memberi peluang pada masyarakat untuk mandiri.
Kelima, pemerintah berperan sesuai otoritas, dan masyarakat sepenuhnya berperan
aktif (100 persen). Model ini dikenal dengan Co-Management Informative.
Dengan
dasar pengelompokan pendekatan Co-Management
tersebut maka operasionalisasi Baznas/LAZ sangat ber gantung pada tingkat
kemandirian orang-orang yang terlibat di dalam ope rasionalisasi pengelolaan
zakat.
Bell
dan Watkins (1996) menyebut kan, partnership atau kemitraan berada dalam ruang
pembatasan empat tipologi hubungan interorganisasi, yakni kompetisi, kooperasi,
koordinasi, dan kolaborasi. Prinsip kerja sama yang di tawarkan Sahri Muhammad
di atas lebih pada pendekatan kooperasi, tetapi saya lebih condong pada kerjasama
kolaborasi.
Menurut
Jamal dan Getz (1995 d lam William, 2005) yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi
(kerja sama) dalam jangka pendek. Substansi kolaborasi dalam kemitraan (partnership) ini tidak sepenuhnya mudah
dijelaskan batasannya. Kolaborasi sudah mencakup jejaring hubungan antara pemerintah,
private (perusahaan), dan NGO yang
mempunyai perbedaan tipe kegiatan kolaborasi dengan kegiatan
interorganisasional lain yang didorong oleh pasar dan mekanisme kontrol hirarki.
(Law rence et al, 2002; Powell, 1990; Imperial, 2005).
Dalam
kaitannya dengan UU No 23/2011 ini, ide kemitraan antara Baznas dan LAZ dan
mungkin dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran yang sama. Pertama,
Pasal 8 tentang ke anggotaan Baznas, terdiri atas 11 orang anggota; delapan
dari unsur ma syarakat dan tiga dari pemerintah.
Kedua,
sebaiknya unsur masyarakat be nar-benar diisi oleh mereka yang berpengalaman.
Misalnya, dari wakil LAZ yang sudah sukses mengelola zakat, selain akademisi dan
tokoh masyarakat. Kemudian salah satu dari dua pimpinan adalah wakil daril LAZ
sehingga keanggotaan Baznas benar-benar mencerminkan lembaga yang profesional
dan “direstui” masyarakat.
Ketiga,
pembentukan Unit Pengum pul Zakat (UPZ) sebagaimana diatur pada Pasal 16,
Baznas dapat melibat kan lembaga-lembaga amil yang sudah ada. Keempat, Baznas
dan LAZ secara teknis dapat melakukan link manajement dan informasi.
Kelima,
LAZ yang berdiri secara mandiri sebelum UU No 23/2011, harus melakukan
perencanaan strategis berkaitan dengan positioning,
apakah menginduk dengan ormas tertentu atau membentuk ormas sendiri. Kalaupun
terpaksa harus menginduk dengan ormas tertentu maka lebih baik dijalin kerja
sama kemitraaan yang jauh hari telah dikomunikasikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar