Jumat, 13 April 2012

Kemitraan Zakat


Kemitraan Zakat
Amir Mu’allim, Guru Besar, Direktur Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Pascasarjana FIAI-UII, Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 13 April 2012


Pro dan kontra seakan sudah menjadi bumbu setiap lahirnya UU baru di negeri ini. Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Sebagian pihak sangat kecewa dan memandang UU ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya. Pihak lainnya memandang UU ini sebagai jawaban atas evaluasi terhadap sistem perzakatan di di Indonesia, termasuk kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 38 Tahun 1999.

Apa pun itu, suka tidak suka, UU ini telah lahir. Perdebatan seharusnya dimulai sejak UU masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU). Kita berharap, jangan sampai ada yang ngambek dengan kelahiran UU ini sehingga dakwah yang mulia ini harus terhenti. Saat ini, yang paling arif menyikapinya adalah selalu berbaik sangka (husnuzhan) dan terus berkarya untuk umat.

Saya yakin, kehadiran pemerintah untuk ikut berperan pada wilayah yang selama ini milik masyarakat, akan disambut gembira bila pemerintah telah sangat meyakinkan ikut berperan aktif. Tetapi, yang terdengar justru sebaliknya, pemerintah memiliki track record yang buruk dalam mengelola pundipundi keuangan negara. Contohnya pengelolaan pajak.

Di sisi lain, dalam sejarah peradaban Islam, kesuksesan zakat justru dikelola oleh institusi negara. Karena, negara sangat berperan penting terhadap stabilitas ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah. Sebagaimana juga pendapat alFara dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, menyebutkan, zakat merupakan ibadah yang harus dikelola negara. Keberadaan UU Zakat ini harus dimaknai sebagai upaya mengembalikan zakat pada tempatnya, sebagaimana dikehendaki syariat Islam.

Merumuskan Sistem Kemitraan

Mengutip pendapat Sahri Muhammad (2012), kolaborasi antara masyara kat dan negara merupakan pandekatan jalan tengah yang menyakini bahwa negara memiliki otoritas untuk mengop timalkan pengelolaan. Sedangkan, masya rakat dinilai banyak mengetahui apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat. Model ini disebut dengan Co-Management. Model ini sangat populer untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi ajang pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat miskin.

CoManagement dapat dikelom pokkan secara sederhana menjadi lima ke adaan. Pertama, peran pemerintah 100 per sen (Co-Management Instructive). Semua gerak operasional lembaga sepenuhnya atas dasar instruksi pemerintah. Masyarakat tidak punya peran apa pun.

Kedua, peran pemerintah 75 persen dan masyarakat 25 persen (Co-Management Consultative). Ketiga, antara pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang sama (Co-Management Cooperative). Model ini disebut dengan model kemitraan.

Keempat, peran pemerintah 25 per sen dan masyarakat 75 persen (Co-Management Advocating). Model ini semakin memberi peluang pada masyarakat untuk mandiri. Kelima, pemerintah berperan sesuai otoritas, dan masyarakat sepenuhnya berperan aktif (100 persen). Model ini dikenal dengan Co-Management Informative.

Dengan dasar pengelompokan pendekatan Co-Management tersebut maka operasionalisasi Baznas/LAZ sangat ber gantung pada tingkat kemandirian orang-orang yang terlibat di dalam ope rasionalisasi pengelolaan zakat.

Bell dan Watkins (1996) menyebut kan, partnership atau kemitraan berada dalam ruang pembatasan empat tipologi hubungan interorganisasi, yakni kompetisi, kooperasi, koordinasi, dan kolaborasi. Prinsip kerja sama yang di tawarkan Sahri Muhammad di atas lebih pada pendekatan kooperasi, tetapi saya lebih condong pada kerjasama kolaborasi.

Menurut Jamal dan Getz (1995 d lam William, 2005) yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi (kerja sama) dalam jangka pendek. Substansi kolaborasi dalam kemitraan (partnership) ini tidak sepenuhnya mudah dijelaskan batasannya. Kolaborasi sudah mencakup jejaring hubungan antara pemerintah, private (perusahaan), dan NGO yang mempunyai perbedaan tipe kegiatan kolaborasi dengan kegiatan interorganisasional lain yang didorong oleh pasar dan mekanisme kontrol hirarki. (Law rence et al, 2002; Powell, 1990; Imperial, 2005).

Dalam kaitannya dengan UU No 23/2011 ini, ide kemitraan antara Baznas dan LAZ dan mungkin dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran yang sama. Pertama, Pasal 8 tentang ke anggotaan Baznas, terdiri atas 11 orang anggota; delapan dari unsur ma syarakat dan tiga dari pemerintah.

Kedua, sebaiknya unsur masyarakat be nar-benar diisi oleh mereka yang berpengalaman. Misalnya, dari wakil LAZ yang sudah sukses mengelola zakat, selain akademisi dan tokoh masyarakat. Kemudian salah satu dari dua pimpinan adalah wakil daril LAZ sehingga keanggotaan Baznas benar-benar mencerminkan lembaga yang profesional dan “direstui” masyarakat.

Ketiga, pembentukan Unit Pengum pul Zakat (UPZ) sebagaimana diatur pada Pasal 16, Baznas dapat melibat kan lembaga-lembaga amil yang sudah ada. Keempat, Baznas dan LAZ secara teknis dapat melakukan link manajement dan informasi.

Kelima, LAZ yang berdiri secara mandiri sebelum UU No 23/2011, harus melakukan perencanaan strategis berkaitan dengan positioning, apakah menginduk dengan ormas tertentu atau membentuk ormas sendiri. Kalaupun terpaksa harus menginduk dengan ormas tertentu maka lebih baik dijalin kerja sama kemitraaan yang jauh hari telah dikomunikasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar