Senin, 02 April 2012

Negeri Unjuk Rasa


Negeri Unjuk Rasa
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER : REPUBLIKA, 02 April 2012



Maraknya aksi unjuk rasa di berbagai kota belakangan ini yang menentang ren cana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), memosisikan unjuk rasa kini nyaris menjadi sebuah tren gaya hidup masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan aspirasinya. Tidak jarang unjuk rasa kini menjadi objek wisata. Jika demikian halnya, mungkin pranata unjuk rasa ini kelak menjadi agenda kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Begitu seringnya unjuk rasa digelar secara sporadis oleh berbagai elemen bangsa, sejumlah kalangan menjuluki Indonesia sebagai ‘negeri unjuk rasa’. Julukan seperti ini memang tidak perlu membuat kita malu, tetapi harus bangga karena itu berarti Indonesia telah menjadi barometer kepekaan dan responsibilitas publik terhadap agenda reformasi yang semakin redup dan kehilangan arah.

Kebijakan negara yang timpang, pejabat publik yang korup dan arogan, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan adalah virus penting yang kerap memicu resistensi publik terhadap penguasa melalui unjuk rasa. Dalam negara demokrasi, unjuk rasa merupakan bagian dari sarana kontrol terhadap penguasa. Jika tidak ada kontrol secara saksama, kekuasaan itu akan semakin korup sebagaimana warning Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang nyata.”

Sinyalemen Acton tersebut memang telah terfragmentasi dalam tradisi penyelenggaraan negara dan bermasya rakat kita sejak lama. Partai politik, yang secara konsepsional seharusnya mengemban fungsi untuk menjaring dan menyalurkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, justru ber metamorfosis menjadi komprador pe nguasa. Parlemen yang harusnya mengejawantahkan kepedihan rakyat oleh ancaman kesulitan hidup akibat kenaikan harga BBM ternyata sebagian besar fraksi, lebih memilih menjadi pecundang. Subsidi terdistorsi bahasa politik sebagai ajang konfrontasi elite yang memperjualbelikan populisme.

Tengoklah petualang politik kita yang kini sedang memegang otoritas sebagai dalang pengendalian atraksi perbenturan pro-kontra kenaikan harga BBM. Mereka tega mengkhianati ama nat konstituennya dengan melacurkan kehormatan dan idealismenya, mendu kung kalkulasi kepentingan penguasa dengan argumen yang memu tar balik kan kebenaran intrinsik. Padahal, mereka tahu strategi penguasa saat ini kental sekali dengan politik pencitraan.

Persandingan partai koalisi yang dibentuk demi memenuhi hasrat kepentingan politik jangka pendek, merupakan tabiat politik praktis kita yang kian melembaga dengan budaya oportunisme. Tak ayal penguasa semakin termiskinkan dari nilai sensitivitas publik karena termangu dengan kenik matan sanjungan dan fasilitas mewah, yang melahirkan gaya kepemimpinan protokularistik.

Rezim seperti inilah dalam rentetan sejarah peradaban yang perlu segera ditegur, diingatkan, atau yang paling krusial adalah dijatuhkan sebagaimana dialami Ferdinand Marcos dan Josep Estrada di Filiphina, Zine Abidine Beni Ali di Tunisia, Husni Mubaraq di Mesir, Muammar Qadafi di Libya, Soeharto di Indonesia. Apalagi, ketika semua saluran dan metode alternatif mengalami jalan buntu, unjuk rasa memang menjadi instrumen penting.

Betapa tidak karena dalam sejarah negara demokrasi ataupun totaliter, unjuk rasa telah menjadi instrumen pen ting reformasi dan revolusi. Sebenarnya, unjuk rasa adalah proses yang wajar, bahkan kontributif bagi restorasi bangsa dari kungkungan ke kuasaan yang memarjinalkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Pada sisi lain, unjuk rasa kerap juga terkooptasi kekuatan barbar yang ber baju populisme. Celaka, jika unjuk rasa ditunggangi kepentingan politik tertentu yang membelokkan arah dan agenda unjuk rasa dari tujuan orisinalnya. Padahal, unjuk rasa ti dak boleh tercerabut dari akar esensialnya.

Meluasnya aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh dan anarkis, merupakan kegagalan besar aparat keamanan dan penguasa dalam mengelola aksi unjuk rasa secara damai dan bermartabat. Pa dahal, sejak negeri ini sukses me nge nyahkan penjajah dari bumi pertiwi, anak-anak bangsa sudah kenyang pengalaman dengan unjuk rasa sebagai fenomena rutin. Faktanya pelajaran tentang unjuk rasa yang damai dan bermartabat, sampai kini belum pernah menjadi prestasi yang membanggakan.

Hal tersebut terjadi selain karena ketidakmampuan aparat keamanan mengontrol temperamentasi sehingga ikut larut dengan ritme permainan para pengunjuk rasa, pemangku kekuasaan juga turut berkontribusi besar lantaran melihat unjuk rasa sebagai predator. Memang sebagian besar pejabat publik kita dewasa ini, terinfeksi virus alergi terhadap budaya kritik, apalagi jika kritik dilakukan dalam bentuk demo.

Hal ini sangat kontras dengan lembaga sambung rasa, lobi, hingga serangan fajar yang kerap dilakukan pada masa kampanye pemilu.Setelah pesta demokrasi usai dan pemenang telah ditetapkan sebagai pejabat, perlahan-lahan saluran komunikasi dengan rakyat dipersempit.

Untuk mewujudkan agenda reformasi di atas visi sejati, penggerak unjuk rasa sudah saatnya mereposisi strategi aksi dengan pola yang lebih cerdas, arif, dan mencerahkan. Betapa tidak karena unjuk rasa yang digelar selama ini cenderung anarkis. Unjuk rasa semakin kontraproduktif untuk dinilai sebagai alat perjuangan rakyat. Unjuk rasa seperti ini bukan bagian dari HAM dan kebebasan melainkan pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran HAM.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar