Harga BBM Tidak Jadi Naik
Umar Juoro, Ekonom
SUMBER : REPUBLIKA, 02 April 2012
Setelah
melalui perdebatan yang sangat emosional, pan jang, dan melelahkan, diiringi
oleh demonstrasi yang bernuansa kekerasan, DPR akhirnya memutuskan tidak
menaikkan harga BBM. Keputusan yang diambil melalui pemungutan suara adalah
pemerintah hanya dapat menaikkan harga BBM jika harga minyak 15 persen lebih
tinggi dari asumsi APBN sebesar 105 dolar per barel dalam jangka waktu enam
bulan. Ini berarti jika harga minyak mencapai sekitar 121 dolar AS per barel,
baru pemerintah dapat menaikkan harga BBM. Dengan kecenderungan yang ada
sekarang, harga ini mungkin saja tercapai. konsumsi yang terus meningkat. Pada
2011 saja realisasi subsidi BBM mencapai sekitar RP 168 triliun, jauh melampaui
anggaran yang disediakan karena realisasi konsumsi BBM mencapai sekitar 47 juta
kiloliter lebih tinggi dari yang diperkirakan semula sebesar 40 juta kiloliter.
Jika
harga BBM mencapai batas di mana pemerintah dapat menaikkan harga BBM, kenaikannya
akan terlalu tinggi mencapai lebih dari 70 persen untuk menyesuaikannya dengan
anggaran subsidi yang tersedia. Jika ini terjadi, kemungkinan penentangan dari
masyarakat akan lebih besar lagi.
Dalam
keadaan seperti ini, APBNP 2012 menjadi anggaran yang tidak rasional secara
ekonomi. Dengan defisit mencapai Rp 190 triliun atau 2,3 persen dari PDB,
merupakan defisit terbesar secara absolut dan secara relatif terhadap PDB juga
terbesar sejak krisis tahun 1999. Anggaran menjadi tersandera oleh subsidi, dengan
kemungkinan besar subsidi BBM akan terlampaui, pada saat pemerintah belum dapat
menyesuaikan harga BBM.
Subsidi
listrik juga besar, yaitu Rp 65 triliun. Angka yang disepakati ini lebih rendah
daripada yang diusulkan pemerintah sebesar Rp 93 triliun. Pembangkit listrik
masih banyak yang mempergunakan BBM. Upaya untuk mendiversifikasikan bahan
bakar pembangkit listrik berjalan sangat lambat.
Begitu
pula anggaran bantuan langsung sudah dianggarkan sebesar Rp 30 triliun.
Bantuan
tunai tersebut tidak akan direalisasikan jika harga BBM tidak dinaikkan
sehingga menjadi dana cadangan. Bantuan ini hanya direalisasikan pada saat
harga BBM dinaikkan.
Namun
celakanya, hargaharga kebutuhan pokok sudah naik terlebih dahulu mengantisipasi
kenaikan harga BBM. Mereka yang miskin akan semakin tertekan dengan kenaikan
harga ini, sementara bantuan tunai tidak jadi dilaksanakan.
Dengan
postur anggaran yang lemah ini, jika terjadi kejutan besar ekonomi, akan sangat
sulit untuk menghadapinya. Karena jika krisis melanda perekonomian Indonesia,
tidak lagi terdapat ruang fiskal yang memadai untuk menanggulanginya karena,
menurut UU, defisit tidak boleh melampaui 3 persen dari PDB. Tentu saja,
persyaratan ini dapat diubah, tetapi untuk mengubah UU proses politiknya
panjang.
Pilihan
bagi pemerintah adalah kembali pada rencana semula untuk membatasi konsumsi BBM
bersubsidi. Pelaksanaannya secara regional dan bertahap akan sangat sulit
mengawasinya. Pilihannya bisa saja harga BBM untuk mobil tidak lagi disubsidi.
Hanya kendaraan umum dan sepeda motor yang mempunyai akses pada BBM bersubsidi.
Cara ini lebih mudah untuk diawasi.
Pembatasan
penggunaan BBM bersubsidi sangat sulit pelaksanaannya dibandingkan dengan
meningkatkan harga. Pengawasan untuk tidak disalahgunakan sulit dilakukan di lapangan.
Karena itu, klasifikasinya harus sejelas mungkin dan sulit untuk dipertukarkan.
Dalam hal ini, pemisahan mobil dengan sepeda motor dan kendaraan umum sangat
jelas.
Tentu
saja, upaya untuk konversi BBM dengan gas juga harus terus dilakukan. Demikian
pula upaya untuk meningkatkan produksi migas harus dilakukan dengan memperbaiki
lingkungan investasi. Ironis pada saat harga minyak naik, produksinya mengalami
penurunan. Tampaknya permasalahan subsidi BBM ini masih akan tetap di permukaan
sepanjang 2012 ini, sementara kemampuan pemerintah untuk mengatasinya lemah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar