Diplomasi Nuklir
Abdillah Toha, Pemerhati Politik Luar Negeri
SUMBER : REPUBLIKA, 02 April 2012
Presiden
SBY baru saja kembali dari pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nuklir di
Seoul. Dihadiri oleh 53 negara (sebagiannya kepala negara atau perdana menteri)
plus empat lembaga dunia selama dua hari (26 dan 27 Maret), KTT telah ditutup
dengan sebuah komunike. Tidak banyak yang baru dalam komunike itu kecuali,
antara lain, tekad untuk memperkuat Ba an Tenaga Atom Internasional, IAEA, dan
memperbarui komitmen dalam the Convention
on the Physical Protection of Nuclear Material (CNPPNM) serta International Convention for the Suppression
of Acts of Nuclear Terrorism (ICSANT).
Nuclear security/NS (keamanan nuklir) berbeda dari nuclear non-proliferation/NN (penyebaran
senjata nuklir). NS adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk mencegah
jatuhnya bahan-bahan nuklir dan radioaktif ke tangan aktor-aktor nonnegara.
Sedangkan NN bertujuan mencegah pengembangan dan kepemilikan senjata nuklir
oleh negara. NS adalah sisi ancaman lain yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir
seperti yang belum lama ini terjadi di Fukushima.
Seperti
diperkirakan sebelumnya, konferensi kedua yang awalnya di prakarsai oleh
Amerika ini ternyata didominasi oleh agenda-agenda Ame rika. Konferensi
dibayangi oleh rencana Korea Utara untuk meluncurkan roket bagi keperluan
satelit cuaca. Peserta dari negara-negara Barat dan Jepang meminta Korea Utara
memba tal kan rencana tersebut karena mereka curiga, sebenarnya yang akan
diluncurkan itu adalah peluru kendali jarak jauh berkepala nuklir.
Konferensi
juga diawali dengan suasana tidak sehat ketika panitia me nyebarkan
pamflet-pamflet dan paket media tentang serangan 11 September serta pamflet
ancaman Al qaidah. Sebagian peserta menyesalkan hal itu karena mereka
menganggap konferensi sedang dikondisikan menuju hegemoni agenda Amerika dalam
soal nuklir. Tawaran Amerika untuk memberi bantuan kemanusiaan kepada rakyat
Korea Utara dengan syarat Korut meninggalkan ambisi nuklirnya juga mendapat
tanggapan kritis, karena bantuan kemanusiaan tidak sewajar nya dikait kan
dengan syarat apa pun juga.
KTT
lebih menekankan kepada per dagangan gelap bahan-bahan nuklir, tetapi agak
melupakan isu keselamatan sarana nuklir karena keceroboh an desain atau salah
kelola. Orang menduga karena tuan rumah Korea Selatan menghindar dari sorotan
terhadap industri nuklirnya yang belakangan banyak mengalami masalah sehingga
sebagian harus ditutup.
Mestinya,
kita bertanya mengapa sebuah konferensi raksasa seperti ini diperlukan?
Bukankah semua masalah keamanan dan keselamatan nuklir ini sumbernya adalah
karena sudah me nyebarnya kemampuan dan kepemilikan nuklir di dunia? Apakah
tidak lebih tepat mendahulukan pertemuan yang membahas perlucutan nuklir?
Saat
ini dunia memiliki sekitar 1.600 ton highly
enriched uranium (HEU) atau uranium yang sudah diperkaya dan 500 ton plutonium (Pu), sebagian besarnya ada di
tangan negara-negara Barat dan Rusia. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk
memproduksi 126.500 bom nuklir. Menurut catatan IAEA, pemilik dan jumlah bom
nuklir dunia saat ini adalah Rusia 10 ribu, Amerika Serikat 8.500, Prancis 300,
Cina 240, Inggris 225, Pakistan 90110, India 80-100, Israel 80, dan Korea Utara
kurang dari 10.
Memang
benar sudah ada upaya perlucutan senjata nuklir melalui perjanjian New Strategic Arms Reduction Treaty (New
START) antara Amerika dan Rusia, yang menyepakati penurunan jumlah senjata
nuklir sampai tingkat masing-masing 1.550. Namun, tidak jelas sampai sejauh
mana pelaksanaannya. Amerika pun telah berkalikali menolak tim PBB yang berniat
memeriksa dan melakukan verifikasi fasilitas nuklir Amerika.
Presiden
Cina Hu Jianto mengatakan dalam bahasa yang halus bahwa diperlukan suasana yang
kondusif bagi mendorong keamanan dan mencegah perlombaan nuklir. Maksudnya ba
rangkali bahwa melihat agresivitas dan kecenderungan negara-negara Barat dalam
menyelesaikan masalah dan menjalankan agendanya menggunakan kekuatan
bersenjata, maka negara seperti Korea Utara dan negara lain yang merasa
terancam terdorong untuk mengembangkan kemampuan persenjataan nuklir sebagai
asuransi atau ja minan agar tidak diserang.
Kepercayaan
kepada ketulusan Amerika dan sekutunya dalam memprakarsai konferensi-konferensi
sema cam ini pun sirna ketika sebuah negara seperti Iran —yang berkali-kali
membantah dan belum ada satu bukti kon kret pun yang menunjuk kepada ke nyataan
bahwa mereka sedang me ngembangkan senjata nuklir— terusmenerus ditekan dengan
berbagai sanksi dan tuduhan bahkan ancaman militer. Padahal, Israel yang sudah
jelas memiliki persenjataan nuklir dan menolak menjadi penanda tangan Nuclear
Non-Proliferation Treaty (NNPT) dibiarkan tanpa kritik sedikit pun.
Indonesia
sebagai salah satu penanda tangan NNPT dan peserta KTT tersebut seharusnya
menyampaikan posisi dan sikap yang jelas. Konstitusi kita mengamanatkan
keikutsertaan kita dalam menciptakan perdamaian yang adil dan abadi. Bukan
perdamaian semu atas dasar hegemoni dan hipo krasi negara-negara adidaya.
Indonesia
harus berani menyatakan secara terbuka. Masalah nuklir dunia hanya bisa diatasi
dengan contoh konkret dari raksasa pemilik senjata nuklir untuk melucuti diri.
Bukan dengan berlagak menjadi polisi dunia, tetapi melanggar prinsip dan aturan
main yang disepakati. Apalagi, sering tidak konsisten dan berstandar ganda
dalam politik luar negerinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar