Kamis, 19 April 2012

Adil Versus Sejahtera


Adil Versus Sejahtera
Gunarto, Guru Besar Fakultas Hukum, Wakil Rektor 2 Unissula Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 19 April 2012



JAUH sebelum ini, gegap-gempita dunia hukum hanya disuguhi berbagai cerita tentang penegakan hukum yang cenderung dipandang miring akibat jauhnya praktik dari nilai-nilai keadilan. Tetapi kita menjadi terhenyak ketika sang pengadil mengancam mogok sidang menuntut hak kesejahteraan mereka yang dipandang jauh lebih layak. Para hakim tidak menuntut kenaikan gaji, tetapi secara diplomatis menuntut hak-haknya untuk menjadi lebih sejahtera sebagai pemukul palu keadilan.

Sayangnya, ketika mereka menyampaikan kondisi itu, justru para legislator menunjukkan sinisme berlebihan. Benny K Harman, Ketua Komisi III yang membidangi hukum secara kontraproduktif mengatakan,” jika gaji kecil berhentilah menjadi hakim”. Respons ini menunjukkan betapa wakil rakyat tidak sensitif terhadap persoalan hukum, yang di dalamnya terkait masalah kesejahteraan hakim.

Meski tidak bisa disimpulkan kesejahteraan hakim memiliki korelasi mutlak dengan kualitas keadilan yang diputuskannya, secara instrumental kondisi hakim yang penuh keterbatasan akan memengaruhi kualitas kerja dan kinerja mereka. Bahkan, rendahnya kesejahteraan ini, sangat mungkin membuka ruang terjadinya negosiasi perkara.

Peranan Hakim

 Bagi kalangan akademis, kondisi ini merupakan berkah yang dapat membuka mata kajian hukum. Jika selama ini kajian hukum lebih difokuskan pada aspek material (teori-teori ilmu hukum), setidaknya ancaman mogok hakim ini dapat menginspirasi perlunya perhatian secara khusus terutama kepada hakim sebagai pemutus perkara.

Perhatian terhadap hakim, sebagaimana diakui begawan ilmu hukum, Satjipto Rahardjo, sangat lemah. Padahal, negara-negara yang memiliki sistem hukum yang sangat mapan, perhatian dan kajian mengenai hakim telah begitu marak sebagai proyeksi pengembangan hukum dinamis.

Dengan demikian, mengutip Pakar Hukum Lawrance M Friedmann, meskipun secara pokok tugas hakim adalah memutus perkara, ada semacam pola birokrasi yang mengatur tentang perilaku hakim yang diinstitusionalisasi dalam lembaga peradilan. Di sinilah tindakan dan pendapat hukum seorang hakim berada di dua titik subjektif; personal dan kelembagaan.

Teddy Asmara meneliti lebih konkret terhadap budaya ekonomi dalam putusan hukum hakim. Dia mengategorisasi perilaku hakim dalam tiga bagian. Pertama; hakim lurus (idealistis). Mereka menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan integritas moralnya sehingga tidak terpengaruh oleh iming-iming ekonomis. Baginya, kehormatan hukum terletak pada kualitas putusan yang benar-benar mampu memberi rasa keadilan.

Kedua; hakim rakus (materialistis). Menurut Teddy, mereka lebih dikenal sebagai hakim KKO (kanan kiri oke) karena tindakannya dalam berhukum tidak mampu membendung angannya untuk selalu berorientasi pada kepentingan material. Watak itu mendorong untuk menerima upeti dari kedua belah pihak.

Ketiga; hakim toleran atau idealis-pragmatis. Mereka sebenarnya hakim idealis tetapi mau menerima imbalan setelah selesainya perkara yang ditangani atau mau menerima imbalan dalam kondisi keterdesakan ekonomi.

Hakim toleran, lanjut Teddy, masih memegang teguh prinsip moral dan etika sehingga seringkali terbebani oleh imbalan yang diterimanya.

Soal Kesejehteraan

Melalui penelusuran panjang, Teddy menyimpulkan bahwa perilaku penyimpangan hakim bisa dilatari dua hal. Pertama; faktor moralitas dan integritas yang rendah sehingga hakim mengkomersialkan putusan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Kedua; kondisi kesejahteraan yang tak bisa dipenuhi oleh negara sehingga dalam keterdesakan ekonomis, hakim  bisa melakukan transaksi perkara meski bertentangan dengan keyakinan moralnya.

Terkait kondisi hakim maka perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan sebanding dengan beban dan tugasnya sehingga paling tidak mampu memberikan kemandirian ekonomis untuk menghindari terjadinya jual-beli perkara. Kedua; pentingnya promosi jabatan yang diadaptasikan pada kualitas keputusan seorang hakim sehingga mampu memacu lahirnya prestasi.

Ketiga; memaksimalkan fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengkaji dan pemeriksa kualitas putusan perkara hukum untuk mempersempit peluang terjadinya komersialisasi putusan di pengadilan. Dengan demikian, korps kehakiman dan lembaga peradilan dapat benar-benar berfungsi sebagai pembela keadilan masyarakat dan penegak kebenaran hukum yang tepercaya di tengah masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar